Langit Paris mendung pagi itu, seolah turut berduka dengan kabar yang baru saja mengguncang dunia kecil milik Althea. Pesawat yang ditumpangi suaminya, Luca Alvarez Dwipantara, mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan dari Amsterdam menuju Paris. Belum ada kepastian mengenai kondisi penumpang. Media internasional berlomba-lomba memberitakan insiden itu, sementara hati Althea retak perlahan.
Tangannya gemetar ketika menekan tombol volume TV, mencoba memperbesar suara berita yang disiarkan langsung. Di layar, terpampang visual puing-puing pesawat yang ditemukan di wilayah pinggiran utara Paris, tak jauh dari Sungai Seine. Sisa-sisa logam pesawat berserakan, beberapa kursi terapung di air, dan petugas penyelamat berlarian dengan jaket pelampung merah mencolok.
Di tengah kekacauan emosinya, suara panggilan masuk terdengar. Nama ibunya—Nadine—tertera jelas di layar ponselnya.
“Ma...” suara Althea serak saat menjawab panggilan itu.
“Thea! Astaga, Nak... kamu udah lihat beritanya?” suara Nadine terdengar panik, dan di saat yang sama sangat lembut.
“Iya, Ma... itu... itu pesawat Mas Luca...”
Nadine menarik napas berat. “Mama masih di Paris, Thea. Luca minta Mama jangan pulang dulu. Kamu... kamu di hotel, kan? Mama ke sana sekarang juga!”
Althea hanya mengangguk, meski ibunya tak bisa melihat.
Suaranya bergetar. “Ma, aku... aku nggak tahu harus ngapain. Mas Luca baru kirim pesan semalam. Katanya dia pulang. Dia bilang dia rindu. Aku udah siapin makan malam. Aku udah... semua udah aku siapin... tapi kenapa malah kayak gini...”
Air matanya tumpah tanpa bisa dibendung. Di ujung sana, Nadine langsung beranjak dari kamarnya dan berlari menuruni lift hotel tempat ia tinggal.
“Thea, dengerin Mama, ya? Mama lagi di jalan. Tunggu Mama. Jangan ke mana-mana. Jangan sendirian.”
Namun sebelum Nadine mendengar respon putrinya itu, sambungan telepon tiba-tiba tergantung. Tidak ada suara Althea lagi di dalam sambungan telepon itu. Di ujung telinganya, Nadine hanya bisa mendengar suara kaki Althea yang berlari dan suara lemah putrinya itu yang sepertinya sedang muntah.
“Althea!” panggil Nadine panik. “Halo?! Thea?!”
Namun tak ada jawaban. Nadine segera menghentikan taksi, mengetikkan alamat hotel tempat Althea menginap di aplikasi maps-nya. Dalam waktu dua puluh menit, ia sudah berdiri di lobi hotel dan meminta bantuan staf hotel untuk membuka kamar putrinya.
Begitu pintu kamar terbuka, Nadine langsung berlari ke dalam. Ruangan tampak berantakan. Piring makan malam yang belum disentuh berada di meja, lilin aroma vanila telah padam separuh. Tapi tak ada tanda-tanda Althea.
Nadine bergegas menuju kamar mandi dan matanya langsung membelalak.
“Thea!” serunya.
Putrinya itu tergeletak di lantai kamar mandi, wajahnya pucat, bibirnya nyaris membiru. Tanpa berpikir panjang, Nadine langsung memanggil bantuan.
“Bantu saya! Anak saya pingsan! Cepat panggil ambulans!”
Beberapa menit kemudian, suara sirene ambulans menggema di jalanan Paris. Althea dibawa ke rumah sakit terdekat. Nadine duduk di sebelah ranjang ambulans, memegang tangan putrinya yang dingin.
“Bertahan, Thea. Tolong bertahan, Nak. Kamu harus kuat.”
***
Di rumah sakit, dokter langsung menangani Althea. Nadine menunggu di luar ruang observasi dengan wajah penuh kecemasan. Lima belas menit terasa seperti berjam-jam. Akhirnya, seorang dokter keluar dan menjelaskan kondisi Althea kepada Nadine dalam bahasa Inggris karena ia merasa kalau Nadine sepertinya bukan penduduk asli Prancis.
“Mrs. Nadine?" (Ibu Nadine?)