Jakarta menyambut mereka dengan langit biru yang sedikit mendung, seolah ikut meredam emosi Althea yang masih dalam proses menenangkan diri. Sepulang dari Paris, ia dan Luca langsung kembali ke kediaman pribadi mereka di kawasan Menteng. Rumah itu terasa asing dan familiar di saat bersamaan. Terlalu banyak yang telah terjadi dalam sebulan terakhir. Pernikahan, perpisahan, kecemasan, dan kabar tentang kehamilan.
Namun hari ini, untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, Althea merasa rumah ini benar-benar miliknya—milik mereka berdua.
Luca mengambil cuti panjang. Tidak hanya karena tubuhnya yang lelah setelah menghadapi badai krisis perusahaan di Eropa, tapi juga karena ia merasa sudah terlalu lama meninggalkan istrinya sendirian. Ia tidak mau lagi ada hari-hari seperti itu. Tidak sekarang, tidak setelah tahu bahwa dalam tubuh Althea, ada kehidupan lain yang sedang bertumbuh.
Dan ya, sejak tahu Althea hamil, Luca menjadi terlalu menempel. Melekat. Menempel terus seperti permen karet yang lengket dan manis. Di sofa, di dapur, bahkan saat Althea sedang mengganti baju.
"Mas, aku lagi ganti baju, loh. Jangan liatin gitu dong," keluh Althea sambil menatap tajam ke arah Luca yang berdiri di ambang pintu kamar ganti.
"Aku kan cuma ngejagain. Siapa tahu kamu pingsan lagi kayak waktu itu. Hamil muda tuh rawan," jawab Luca santai dengan tangan bersedekap, seolah berdiri di sana adalah tugas suci yang harus ia jalankan.
"Aku cuma ganti baju, Mas. Bukan maraton keliling rumah."
Luca tersenyum. "Kalau kamu pingsan karena kelamaan milih baju, siapa yang salah coba?"
Althea mendesah, tapi sudut bibirnya ikut terangkat. Di balik sikap cerewet dan lengketnya, Luca memang perhatian. Kadang berlebihan, tapi selalu tulus.
Mereka menjalani hari-hari di Jakarta dengan ritme yang lebih pelan. Althea yang dulu terbiasa bangun pagi untuk beraktivitas, kini memilih untuk bersantai lebih lama di tempat tidur. Luca pun sama. Cuti membuatnya tak perlu buru-buru ke kantor. Ia memilih menggantikan alarm pagi dengan kecupan di dahi istrinya.
"Pagi, istriku yang cantik se-NKRI," ucap Luca sambil menyelipkan rambut Althea yang menutupi wajahnya.
Althea membuka mata malas. "Mas, kita tidur lagi, ya?"
"Boleh. Tapi sebelumnya, aku mau minta jatah dulu."
"Mas...!"
Althea langsung memelototinya, tapi wajah Luca justru penuh senyum nakal. Sejak tahu istrinya hamil, hasrat Luca bukannya berkurang—justru meningkat. Tapi Althea belum selalu bisa memenuhi keinginan itu. Kadang mual datang mendadak. Kadang pusing menyerang. Namun Luca tak pernah memaksa. Ia hanya selalu mencoba.
Althea akhirnya menyerah pada godaan di mata Luca. Ia memutar tubuh menghadap suaminya, mengalungkan lengannya ke leher Luca, menariknya mendekat.
"Dasar mesum," bisiknya, suaranya serak karena baru bangun, namun penuh gairah yang tak terbendung.
Luca tertawa pelan, lalu mengecup kening Althea, turun ke hidung, lalu berhenti di bibir. Ciuman mereka berawal lembut, perlahan menjadi lebih dalam, lebih menuntut, seolah ada rasa haus yang tak pernah terpuaskan.
Tangan Luca mulai menjelajahi punggung Althea, mengusap lembut lekuk tubuh istrinya yang mulai berisi, menimbulkan getaran halus di setiap sentuhannya. Althea mendesah pelan saat sentuhan Luca membakar kulitnya, membangkitkan hasrat yang lama tertahan.
"Boleh, sayang?" tanya Luca, suaranya parau, hampir berbisik di telinga Althea, memastikan kenyamanan istrinya adalah prioritas utama.
Althea mengangguk, matanya menatap Luca dengan tatapan penuh cinta dan gairah membara. "Yakin, Mas. Aku juga kangen. Kangen banget..."
Senyum Luca mengembang, senyum penuh kemenangan dan kebahagiaan. Ia dengan hati-hati membalikkan tubuh Althea hingga mereka berbaring menyamping, saling berhadapan. Tangan Luca kini mulai mengusap perut Althea yang masih rata, seolah menyapa buah hati mereka sebelum melanjutkan penjelajahannya.