Seiring bertambahnya usia kehamilan Althea, suasana di rumah tangga mereka berubah menjadi sesuatu yang berbeda—bukan menjadi tegang atau penuh tekanan, melainkan justru menjadi lebih penuh warna. Banyak momen manis dan lucu yang mulai mewarnai hari-hari mereka, terutama karena perubahan hormonal yang dialami Althea membuatnya menjadi lebih ekspresif dari sebelumnya.
Luca yang kini tengah menikmati masa cuti panjangnya benar-benar memanfaatkan waktu itu untuk mendampingi istrinya. Ia menjadi suami siaga dalam segala arti. Setiap pagi, Luca bangun lebih dulu untuk menyiapkan sarapan Althea. Ia dengan telaten memotong buah, menyeduh teh hangat, dan bahkan mengoleskan minyak aromaterapi di pergelangan tangan istrinya agar perasaan mualnya berkurang.
“Mas, kamu enggak bosen, ya, ngelayanin aku terus kayak gini?” tanya Althea sambil menyender manja di pundak Luca setelah sarapan.
Luca mencium puncak kepala istrinya pelan. “Enggak. Aku malah makin cinta sama kamu, Sayang. Sekarang kamu punya aura bumil yang bikin aku enggak bisa berhenti ngelihat kamu.”
Althea tertawa geli. “Aura bumil apaan coba.”
“Serius,” ucap Luca sambil memandangi wajah istrinya lekat-lekat. “Kamu sekarang beda. Cantik kamu tuh naik level. Beneran, aku enggak bohong.”
Dan memang benar. Ada yang berbeda dari Althea. Meski tubuhnya belum menunjukkan perubahan besar karena masih di awal trimester dua, namun wajahnya semakin bercahaya. Senyumnya lebih tulus, matanya lebih teduh. Dan bagi Luca, itu semua seperti magnet yang membuatnya tak bisa jauh dari Althea barang satu langkah.
Mereka banyak menghabiskan waktu di rumah, menonton film, membaca buku bersama, atau sekadar duduk berdua di balkon sambil minum cokelat panas. Sesekali mereka jalan-jalan ringan ke taman kota, atau makan di kafe kecil favorit mereka.
Namun, di balik semua momen manis itu, terselip satu hal baru yang mulai berkembang—Althea menjadi lebih mudah cemburu.
Awalnya Luca tidak terlalu menyadarinya. Tapi suatu pagi, saat mereka sedang duduk santai di ruang keluarga, ponsel Luca bergetar dan muncul notifikasi pesan dari seseorang bernama "Clara - Marketing". Althea yang kebetulan duduk di sebelah Luca langsung menoleh.
“Clara?” tanya Althea dengan nada datar.
Luca mengangkat alis. “Iya, salah satu manager marketing di Dwipantara. Dia nanya soal laporan presentasi bulan lalu. Kenapa?”
Althea memalingkan wajah, pura-pura fokus ke TV. “Enggak papa.”
Tapi ekspresinya tidak bisa menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Matanya jelas menunjukkan ketidaksukaan. Luca menatap Althea curiga, kemudian tersenyum geli.
“Kamu cemburu, ya?”
“Enggak.”
“Ah, kamu cemburu,” ujar Luca sambil menggoda. “Senyum kamu tuh enggak ikhlas banget.”
Althea langsung berdiri dan melenggang ke arah dapur, meninggalkan Luca yang terkekeh di sofa. Tapi kejadian itu tidak berhenti di situ. Malam harinya, saat Luca sedang duduk di kursi kerja kecil di kamar mereka dan membalas beberapa email kerja, Althea menghampirinya dengan hanya mengenakan daster tipis.
“Mas,” panggilnya dengan nada lembut.
Luca menoleh. “Hmm?”
Tanpa banyak bicara, Althea langsung duduk di pangkuannya, merangkul leher suaminya, lalu menempelkan bibirnya ke bibir Luca. Ciuman yang awalnya lembut itu, berubah menjadi lebih dalam dan panas. Luca nyaris lupa cara bernapas.
Ketika ciuman itu berakhir, Althea tersenyum manja dan berkata, “Udah jangan balesin email kerjaan mulu. Sekarang waktunya kamu fokus ke aku.”
Luca menatap istrinya dengan pandangan tak percaya. “Jadi... ini cara kamu rebut perhatian aku dari Clara?”