“Jangan bengong, tuh kamu dipanggil.” Tepukan Lana di pundakku menyadarkan ku dari lamunan ku.
Mengikuti arah jarinya, aku melihat salah satu teman organisasi ku dulu berdiri di depan pintu. Sambil sedikit menaikkan alis, aku bangkit dari kursiku dan menemuinya.
“Kenapa??” Tanyaku tanpa basa-basi setelah berdiri di hadapannya.
Seorang gadis dengan kacamata berbingkai hitam dengan kaca yang agak gelap itu tersenyum sambil menyodorkan sesuatu ke arah ku, selembar kertas berisikan poster promosi sebuah perlombaan debat.
“Aku sama Adel mau ngikut lomba debat ini, cuma kita butuh satu orang lagi. Denger denger dari Reza kamu jago debat dan dia nyaranin buat ngajakin kamu soalnya kata Lana semester ini kamu juga belum ada kesibukan apa-apa.”
Gadis itu menjelaskan panjang kali lebar, tidak memberi celah untuk ku menolak ajakannya dengan alasan tidak bisa atau tidak ada waktu.
Aku tidak bohong saat sebelumnya aku bilang bahwa aku bukan termasuk anak berprestasi, saat itu aku hanya membantu Reza, salah satu teman se-divisi dari kepanitiaan yang aku ikuti karena saat itu salah satu anggota tim nya mengalami kecelakaan dan tidak bisa mengikuti kompetisi debat.
Reza yang akhirnya kebingungan mencari pengganti itu akhirnya beberapa kali membuat kesalahan pada pengerjaan tugas yang membuat tugasku menjadi semakin banyak dan suasana kepanitiaan menjadi tidak nyaman.
Tugas menjadi lebih banyak = waktu yang dihabiskan semakin banyak. Akhirnya daripada menghabiskan lebih banyak waktu mendengarkan gosip dan pertengkaran pihak sana dan sini, aku pun menghubungi Reza dan mengiyakan tawarannya untuk bergabung. Sepertinya ia mengajakku karena beberapa kali mendengarku berbicara saat rapat dan merasa kemampuan bicara ku cukup baik.
“Em…” Aku bergumam panjang sambil melihat poster di tanganku itu.
Sebenarnya saat ini aku sedang sibuk, ingat benang merah yang kemarin kulihat di jariku saat mengalami lucid dream? Ya, sampai saat ini aku masih belum berhasil melihat ujung dari benang itu dan rasa penasaran hanya semakin menumpuk selama beberapa hari belakangan ini.
Aku sudah pernah mencoba menarik benang itu. Namun bahkan setelah beberapa saat aku masih belum merasakan beban apapun pada benang yang aku tarik, seolah olah benang itu hanyalah benang kosong tanpa apapun di ujung sana.
Aku juga pernah mencoba mengikuti benang itu. Namun setiap aku mencoba mengangkat kepala dan melihat ada apa disana, kegelapan akan segera menyapa dan aku terbangun dari tidurku. Dengan berbagai alasan berbeda, seperti alarm, rasa ingin buang air kecil, kedinginan, dan lain sebagainya.
‘Tapi aku enggak bisa bilang kalau aku lagi repot ngejar benang merah di mimpi kan.’ Pikirku.
“Ini pendaftarannya sampai kapan? Trus selain aku, kalian udah ngajak yang lain belum?” Tanyaku. Mencari lebih banyak informasi untuk kemudian mencari alasan penolakan yang lebih halus dan baik.
“Belum nyoba ke yang lain sih. Ini masih lama kok tenggat pendaftarannya. Jadi kalo kamu mau mikir dulu gapapa. Nanti kita juga mau coba ngajak yang lain.” Gadis itu menjawab sambil menunjuk tanggal akhir registrasi yang masih berjarak sekitar 2 minggu dari hari ini.
“Ini aku pikir-pikir dulu ya. Sambil nunggu kalian bisa coba cari anggota lain.” Jawabku sambil menyodorkan kertas poster berukuran A5 itu kembali ketangannya. Gadis itu mengangguk.
“Oke deh. Oiya, chat aku jawab dong. Ini sebenarnya aku datengin kelas kamu kebetulan doang. Tadi lewat trus ngeliat kamu.” Gadis itu berkata sambil sedikit mengerutkan bibir, merajuk.
“Eh sorry sorry, kayaknya nomer mu belum aku save deh. Aku kebiasaan enggak read chat orang yang nomornya enggak aku save soalnya.” Jelasku sambil merogoh ponsel di saku ku dan dengan segera membuka aplikasi pesan. Mencari pesan yang berhubungan dengan ajakan lomba dari begitu banyak pesan yang belum aku baca.
“Oh ini. Sorry banget ya. Entar kalau udah nemu bisa infoin aja ke aku lewat chat.” Kataku sambil menunjukkan layar ponsel yang menunjukkan room chat dengan nama ‘Sesil Hima’ diatasnya.
“Oke aman. Yaudah makasih ya. Aku masih ditungguin dibawah. Duluan, bye bye.” Sesil melambaikan tangan kemudian berbalik dan berjalan menuju tangga.
Aku ikut melambaikan tangan dan mengucapkan kata perpisahan sebelum ikut berbalik dan kembali ke bangku ku.
Lana masih duduk di bangkunya sambil berbicara dengan orang-orang disekitarnya. Melihat aku kembali duduk Lana mengangkat kedua alisnya seolah bertanya, kenapa?
“Nawarin gabung lomba.”
“Gak Ikut?” Lanjut Lana dengan nada tanya. Aku hanya menggeleng lalu melanjutkan.
“Belum aku iyain, mereka masih mau nyari yang lain.”