Lucid In You

Maurice Shafina Hanum Hadi Elfahmi
Chapter #3

Nightland

5 detik berlalu dan posisi kami masih belum berubah. Gadis itu masih menatapku dengan mata hitam legamnya dan aku yang masih terdiam dengan canggung. 

Meskipun aku bukan orang yang memiliki kemampuan bersosialisasi yang minus, namun di keadaan seperti ini tetap saja aku dibuat tidak bisa berkata-kata. 

Aku menunduk, melihat bajuku yang tidak berbentuk. Rasa malu semakin membuatku kikuk dan bingung harus berkata apa. Apa lagi ini pertamakalinya aku bertemu dengan ‘seseorang’ di mimpiku. Apakah baik-baik saja jika aku mengajaknya bicara? Entahlah. 

“Emm…” Akhirnya setelah hening mengikis rasa canggung ku dan lelah mulai menyapa aku membuka mulut. 

Setelah mendengar suara ku, mata sang gadis membesar beberapa saat, diikuti dengan mulutnya yang sedikit terbuka. Menggemaskan harus aku akui. 

“Jadi.. sedang apa kamu disini?” Tanyaku sedikit tidak yakin. Setengahnya karena aku tidak tahu apakah pertanyaan ini pantas ditanyakan dan setengahnya karena aku bingung harus memulai pembicaraan dengan seorang gadis ‘di mimpiku’ dengan kalimat seperti apa.

Bola matanya seolah mengkilap dengan cahaya yang tidak dapat aku pahami apa artinya. Mendengar pertanyaanku gadis itu membuka mulut, namun beberapa saat berlalu dan indra ku tidak dapat mendengar suara apapun keluar dari bibirnya itu. 

Menyadari kebingunganku dan keganjilan yang terjadi pada dirinya. Gadis itu memegang lehernya dan beberapa kali membuka mulut, seperti mengetes apakah suara keluar dari mulutnya setiap ia mencoba berbicara ataukah tidak. 

Kerutan muncul di dahi sang gadis, semakin dalam bersamaan dengan percobaan demi percobaan yang dilakukannya untuk mengeluarkan suara. Sepertinya bukan hanya aku yang tidak bisa mendengar suaranya dan sepertinya sebelum ini sang gadis dapat mengeluarkan suara seperti manusia pada umumnya. 

“Apa kamu bisa mendengar suara ku?” Melihat wajahnya yang terlihat semakin kesal, aku akhirnya mencoba mengambil perhatiannya dan meluruskan keadaan kami saat ini. 

Bersamaan dengan lambaian tanganku, akhirnya sang gadis menoleh ke arah ku. Setelah mendengar pertanyaan ku, kerutan di dahi sang gadis sedikit berkurang. Dengan anggukan, gadis itu akhirnya berhenti mencoba untuk mengeluarkan suaranya. 

“Siapa namamu?” Tanya ku perlahan. Menanyakan hal paling umum yang manusia pada umumnya tidak keberatan untuk memberitahukan kepada orang lain. 

Gadis itu membuka mulut, namun saat teringat bahwa saat ini ia tidak dapat mengeluarkan suara gadis itu lalu terlihat melihat ke kanan dan kiri seolah mencari sesuatu. 

Saat sang gadis berjalan ke arah pohon berkayu yang tidak jauh dari posisi kami, aku menyadari apa yang gadis ini ingin lakukan. Saat tidak dapat berkomunikasi dengan suara, orang-orang akan berkomunikasi dengan tulisan. 

Mataku mengikuti gerak tangan sang gadis di atas tanah dengan kayu di tangannya. Sedikit demi sedikit sebuah kata terbentuk. 

“Emi?” Ucapku perlahan. Emi menoleh ke arahku lalu mengangguk. Ujung jarinya lalu mengarah ke arah ku dengan pandangan bertanya. 

“Nama ku?” Emi membalas dengan anggukan sekali lagi. “Shei.” Ucapku menjawab pertanyaannya sebelumnya. Emi menggerakkan bibirnya, sepertinya ia mencoba mengulang pelafalan nama ku. Setelah mengangguk paham, Emi menuliskan sesuatu di atas tanah.

“Orang asing?” Bisikku membaca tulisan yang Emi tulis selanjutnya. Aku menaikkan alis. 

“Aku? Orang asing?” Tanyaku memastikan sambil menunjuk ke arah diriku sendiri. Emi mengangguk. 

Apa maksudnya? Apakah karena aku bukan berasal dari mimpi dia sebagai penghuni mimpi ini berfikir kalau aku orang asing? Atau ada maksud lain yang tersirat dari pertanyaannya ini? Apakah tidak masalah jika aku menjawabnya dengan sesuatu yang berhubungan dengan dunia nyata? Sejauh pengalaman ku, makhluk dalam dunia mimpi ini tidak menyukai apapun yang berhubungan dengan dunia nyata. Mereka akan langsung mengamuk dan aku akan terbangun dari tidur tidak lama kemudian.

“Memangnya dari mana asal mu?” Emi sempat mengerutkan dahinya pelan lalu gadis itu menulis.

“Jauh dari sini..” Bisik ku membaca apa yang Emi tulis. Aku terdiam. Balasan itu memberikan kesan seolah-olah kami sama-sama sedang mengetes satu sama lain saat ini. 

“Dunia dengan hewan tanpa tanduk?” Tanya ku dengan hati-hati. Kilatan cahaya kembali menghampiri wajah cantik nya. Senyum lebar muncul dan Emi mengangguk. 

“Dimana?” Tanya ku lagi. Dengan senyum lebar dibibir ia kembali menulis. Namun saat 3 huruf baru sempat dituliskan diatas tanah, Emi menoleh ke belakang dengan cepat dan kerutan didahinya muncul dengan drastis. 

Sebelum aku dapat bertanya apa dan kenapa, penglihatanku membuyar dan pemandangan abu mozaik yang familiar menyapa penglihatan ku. 

Pemandangan terakhir yang dapat aku ingat adalah Emi yang bangkit dari posisi awalnya yang membungkuk sambil menulis dan tangannya yang melambai ke arah ku. Di sana aku baru menyadari, benang yang sama seperti benang merah yang terhubung di tanganku. Emi juga memiliki benang yang sama di tangannya. 

Lihat selengkapnya