Lucid In You

Maurice Shafina Hanum Hadi Elfahmi
Chapter #5

Taman Bermain

“Shei!!! Kok di kampus? Oiyaa minggu ini mau main bareng gak?” Lana yang baru selesai membeli batagor di salah satu kios di kampus berlari menghampiri ku yang saat itu hanya sedang melintas.

Hari ini aku tidak memiliki kelas sinkron yang harus dihadiri. Entah mengapa, 2 mata kuliah yang harusnya aku hadiri hari ini tiba-tiba dibatalkan dan kami dipersilahkan untuk hanya mengerjakan tugas sebagai bukti kehadiran. Alhasil, seharusnya hari ini kami tidak ada yang perlu pergi ke kampus dan dapat mengerjakan tugas di rumah masing-masing. 

Untuk ku yang memang lebih suka mengerjakan tugas dari pada menghadiri kelas ini adalah suatu hal yang patut disyukuri dan dirayakan. Oleh karena itu aku memutuskan untuk pergi ke kantin dan membeli camilan untuk aku nikmati nanti sambil mengerjakan tugas di perpustakaan. Kenapa perpustakaan? Karena jika aku tetap di kos yang ada aku akan langsung menghempaskan diri di kasur untuk tidur bukannya mengerjakan tugas yang diberikan.  

Entah kebetulan macam apa, aku bertemu dengan Lana. Sejujurnya tidak aneh untuk Lana ada di kampus, mempertimbangkan semua kesibukan dan kegiatan yang anak itu miliki. Sepertinya malah Lana yang harusnya terkejut karena bisa melihat wujud ku di kampus saat tidak ada kelas. 

“Ngapain?” Aku menghentikan langkahku dan menanggapi ajakan Lana yang muncul secara tiba-tiba itu. 

“Main ke rumah aku kayak biasa. Ps-an atau nonton gitu.” Balas Lana asal. 

Bukan hal baru untuk aku bermain ke rumah Lana yang terhitung sangat mewah dan lengkap fasilitasnya itu. Sejak dulu aku juga sudah sering bermain di rumah Lana yang tentunya berdasarkan ajakannya dan bukan berdasarkan inisiatif dari diriku sendiri. 

Aku masih menimbang-nimbang jadwal ku hari minggu nanti, yang mana sebenarnya tidak ada, namun aku mengingat janji ku dan Emi di mimpi ku 2 hari yang lalu. 

[“Besok saat kita bertemu ayo pergi ke taman bermain!!”] Tulisnya saat itu. 

Meskipun hampir setiap hari aku mengalami lucid dream, namun tidak setiap hari aku bisa bertemu dengan Emi. Aku masih belum bisa memahami cara kerja mimpiku atau syarat dari masuknya Emi kedalamnya. 

Aku pernah bertanya pada Emi, “Apakah untuk mu kita bertemu di setiap mimpi yang kamu alami?” dan sebagai balasan dari pertanyaan ku Emi menggeleng. 

[“Tidak selalu. Kadang aku hanya terus berlari hingga matahari terbit.”] Jawabnya. 

Dari situ aku menyimpulkan bahwa kami mengalami hal yang sama. Emi juga tidur untuk mengalami lucid dream dan pertemuan kami juga terjadi secara acak baginya. Ah ya, aku sudah memutuskan dengan pasti bahwa Emi merupakan manusia biasa yang sama sepertiku, namun karena suatu alasan mimpi kami terhubung dan Emi bisa masuk ke dalam mimpi ku. Jadi daripada bertanya soal kepastian asalnya kepada Emi aku lebih memilih untuk langsung berbicara seolah - olah dia memang sudah mengakui asal beberadaanya itu.

Kemungkinan besar hal yang menghubungkan kami adalah benang merah itu yang mungkin.. Ehem.. berfungsi untuk mempertemukan sepasang manusia yang seharusnya berjodoh. Ah, Mengatakannya membuatku malu.

“Eh, maaf Na. Minggu ini aku gabisa. Udah ada janji.” Karena ketidakpastian untuk pertemuan kami, sebisa mungkin aku ingin meluangkan lebih banyak waktu di dalam mimpi. Untuk memperbesar kemungkinan kami dapat bertemu dan menghabiskan waktu bersama. 

“Janji sama siapa? Tumben banget.” Lana membalas dengan heran. Meski perkataannya terdengar sedikit jahat dan seolah olah aku tidak memiliki teman selain dirinya, namun itu memang benar sehingga aku tidak bisa marah dan hanya bisa tertawa kaku. 

“Ada pokoknya.” Balas ku dengan senyum gugup. Jika dipikir-pikir lagi ini pertama kalinya aku dekat dengan perempuan. Dengan keadaan ku dan hubungan ku dengan Emi saat ini, apakah boleh aku berkata jika Emi adalah gebetan ku dan saat ini aku sedang mendekatinya? 

Jika kalian bertanya apakah aku menyukainya? Aku hanya bisa menjawab bahwa aku tidak membenci Emi dan aku tidak membenci bayangan masa depan dimana kami bersama. Jujur saja bahkan aku cukup menyukai masa depan yang seperti itu. 

Aku tidak pernah jatuh cinta, jadi aku tidak tau bagaimana rasanya. Tapi berdasarkan pencarian ku di internet dan pendapat dari netizen. Seseorang bisa dikatakan mencintai individu lainnya saat orang itu terus menerus memikirkan orang yang mungkin disukainya itu. Memikirkannya membuat orang itu senang dan merasa puas. Ia tidak ingin melihat orang yang disukainya bersedih atau kesakitan, ia ingin membuat orang yang disukainya itu bahagia dan rela memberikan apapun agar orang tersebut dapat tersenyum. 

Meskipun belum sampai ke tahap rela memberikan dan mengorbankan segalanya untuk Emi, namun tidak dapat kupungkiri jika setiap hari aku selalu memikirkan Emi. Menanti kapan kami dapat bertemu di dalam mimpi dan tanpa sadar tersenyum sangat melihat tingkahnya yang selalu mengejutkan dan menawan. 

“Dih apaan senyum-senyum kayak gitu.” Senyum dramatis penuh aroma jahil muncul di wajah Lana. “Shei, kamu gabung dating apps ya?!” Tuduhnya tiba - tiba. 

“Shustt… Makin hari makin asbun aja sih ini mulut.” Dengan gemas aku membuat pose mengepalkan tangan dan memukul bahu Lana pelan. 

“Ya makanya minggu ini kamu mau ketemuan sama siapa? Punya temen baru? Yaudah sih sini cerita.” Lana dengan sikapnya yang entah kenapa terdengar seperti orang tua ku itu lanjut berbicara. 

“Bukan ketemu siapa-siapa. Sejak kapan sih aku harus ngasih tau kalau mau ketemuan sama orang?” Balas ku mulai salah tingkah, mencari alasan dengan sedikit rasa tidak mau kalah.

“Sebenernya enggak perlu. Tapi gara-gara kamu gak mau bilang malah aku jadi makin penasaran!” Jawab Lana ikut tidak mau kalah. 

“Kalo kamunya maksa malah aku makin gak mau!!” Ucapku dengan keras kepala. Sambil memajukan bibirku untuk mencibir Lana yang terlihat semakin penasaran dengan janji yang aku buat minggu ini. 

 “Udah tuh dipanggil tuh. Kak Lana adek-adeknya nyariin.” Sindir ku dengan nada suara yang sengaja dinaik turunkan.

Lihat selengkapnya