Lucid In You

Maurice Shafina Hanum Hadi Elfahmi
Chapter #6

Hanyut

“Mereka sudah datang?” Aku bertanya pada Emi dengan nada malas. Emi yang baru saja berdiri secara tiba-tiba hanya bisa meringis ke arah ku sambil mengangguk.

“M..ma-af.” Emi bersuara dengan tangan yang disatukan di depan bibirnya, memberikan pose meminta maaf ke arahku sambil tersenyum lemah, merasa bersalah. Aku menghembuskan nafas pelan dan menjawab. 

“Enggak usah minta maaf, bukan salah kamu. Aku enggak maksud nyalahin kamu. Cuma kesel aja tiap kebangun harus ngelihat mereka dateng ngejar kamu.” Ucapku sambil menurunkan kedua tangan yang Emi angkat di depan bibirnya itu. Emi membalasnya dengan senyum manis dengan tawa pelan yang terputus. 

Seperti suara tv dengan sambungan kabel yang terlalu longgar. Meskipun ada kemajuan dari sejak pertama kami bertemu, yaitu sekarang aku sudah dapat mendengar suara Emi tapi suara Emi masih dengan volume yang terlampau kecil dan suara yang terputus-putus. 

Suara Emi tidak jauh dari pikiran ku. Suaranya sedikit lebih berat dari gadis pada umumnya dengan suara yang khas yang mudah untuk dibedakan. Suara yang cocok dengan kepribadian Emi yang sangat menyukai berpetualang dan memiliki pendirian yang kuat.

Kembali pada rutinitas yang pasti akan terjadi setiap aku bertemu dengan Emi. Derap langkah yang sama yang sudah lebih dari familiar untuk ku dan Emi terdengar tidak lama setelah Emi tiba - tiba bangkit tadi. Seperti sebelum - sebelumnya, setelah aku dapat melihat gerombolan bertudung yang muncul disertai dengan lolongan itu lalu warna abu mozaik akan menyapa penglihatan ku dan aku akan terbangun dari mimpi ku. 

Terbiasa dengan runtutan kejadian itu, aku dan Emi hanya saling melambaikan tangan dan mengucapkan kalimat perpisahan. 

Sejak kami pertama kali bertemu yang mungkin sudah mencapai 4 bulan lalu, aku dan Emi jadi sering bermain bersama didalam mimpi. Walau dimana kami bertemu tidaklah setiap hari, namun setidaknya dalam 1 minggu pasti ada 1 hari dimana aku bertemu dengan Emi di dalam mimpi ku. 

Pernah aku bertanya pada Emi soal frekuensi pertemuan kami. Apakah ia mengetahui sesuatu soal alasan bagaimana kami bisa bertemu atau apakah Emi mengetahui cara untuk masuk ke dalam mimpi ku. 

Sayangnya, Emi dengan ‘ke-emiannya’ tidak membalas pertanyaan ku dengan terus terang. Emi hanya memberikan senyum lebar miringnya dan menuliskan, [“Kita akan bertemu jika memang kita ditakdirkan bertemu.”]

Aku hanya tertawa kecil dan menatap tulisan itu dengan senyum lembut. 

“Tapi aku ingin lebih sering ketemu.” Ucap ku. Sebagai jawaban, Emi hanya memberikan senyum lebar khas miliknya dan mengangguk sambil menunjuk dirinya sendiri. 

[“Aku juga.”]

Dengan kedipan mata lamban aku membuka mata. Sekali lagi menyambut hari baru dengan kesibukan baru yang tidak ada habisnya di dunia nyata ini. Tangan ku meraba ponsel yang seharusnya berada tidak jauh dari lokasi ku tertidur. 

Setelah mendapatkan ponsel yang sudah menemaniku lebih dari 4 tahun itu, aku membuka aplikasi pesan untuk melihat informasi apa yang masuk hari ini dan kira - kira kelas apa saja yang mungkin sudah aku lewatkan. 

Tidak mengejutkan bagiku saat ruang pesan milik Lana yang berada di posisi paling atas memiliki balon notifikasi dengan angka yang cukup mengkhawatirkan. 

Aku hanya menarik ujung bibirku tipis dan memberikan pandangan nanar sebelum meletakkan ponsel ku dengan ruang pesan yang masih belum dibuka itu ke atas kasur. 

“Hahhh..” Ku hembuskan nafas dalam sambil menarik lengan kanan ku dan membawanya ke atas wajah. Menikmati beberapa detik penuh keheningan sebelum akhirnya aku memutuskan untuk bangkit dan mengambil handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk menyegarkan diri. 

Lihat selengkapnya