“Shei, kamu kenapa? Plis jujur ke aku. Kamu enggak sadarkan diri di kamar sendirian barusan. Kamu sadar enggak sih seberapa bahaya nya itu? Aku sahabat kamu Shei. Aku pasti bakalan bantu kamu. Aku cuma butuh kamu jelasin apa yang terjadi biar aku bisa bantu.” Lana berbicara sepelan dan sehalus mungkin.
Shei terdiam dengan tatapan nanar ke arah kasur. Tidak melihat Lana di hadapannya atau Sella yang duduk disebelahnya.
“Shei… Ayolah…” Lana kembali bersuara, sedikit memohon.
Saat ini Lana benar - benar merasa sangat putus asa. Shei tidak pernah seperti ini. Melihat Shei dalam keadaan tidak sadar dan pucat membuat Lana kehilangan semua egonya dan hanya ingin untuk Shei menjadi lebih baik.
Shei masih terdiam. Melihat keberadaan Sella bersama Lana barusan, dalam pikirannya Shei tanpa sadar mulai berpikir bahwa dibandingkan dunia ini, Emi terasa lebih penting. Waktunya didalam mimpi terasa lebih menyenangkan dan menyegarkan, memberinya tempat dimana ia hanya perlu bersenang - senang tanpa harus memikirkan masa depan atau konsekuensi dari apa yang dilakukannya. Ia bebas dan ia memiliki seseorang yang bisa menemaninya menjalani waktu yang menyenangkan itu.
“Shei!” Guncangan pada bahunya Shei dapatkan. Membuat Shei akhirnya mengangkat kepalanya. Ia melihat Lana yang memberikannya wajah putus asa dan tatapan memohon.
Untuk sesaat Shei mengingat seluruh kisah hidupnya bersama dengan sahabat di depannya ini. Lana yang selalu khawatir padanya, yang selalu membantunya di saat ia diterpa masalah, yang selalu menemaninya dan memprioritaskan dirinya dibanding dengan orang - orang lainnya.
Di dunia ini Shei memiliki Lana, seseorang yang menemaninya hampir setengah hidupnya dan memiliki peran besar dalam kehidupannya. Di sana ia memiliki Emi, gadis yang juga sebatang kara dan hanya memilikinya.
Pada akhirnya Emi menceritakan tentang hidupnya. Meskipun tidak bisa dibilang menceritakan hidupnya secara gamblang, tapi entah mengapa Shei yakin yang Emi ceritakan saat itu adalah tentang dirinya sendiri.
“Aku akan menceritakan kepada mu kisah tentang seorang gadis.” Emi berbisik pelan.
Aku sudah bisa mendengar suara Emi, aku tidak tau apakah perkembangan ini ada hubungannya dengan kedekatan kami. Tapi dengan semakin bertambahnya hari dan semakin banyak pertemuan diantara kami, dapat aku rasakan perubahan pada suara dan cara bicara Emi.
Awalnya gadis itu hanya bisa mengeluarkan suara yang terbata, hanya sebatas gumaman yang kadang bahkan tidak dapat aku dengar jelas. Kemudian itu berkembang menjadi suara yang terputus. Seperti tv dengan antena yang bermasalah, suaranya cukup jelas namun kadang menghilang. Perkembangan pada suara Emi terus terjadi hingga akhirnya aku bisa mendengar suara Emi dengan baik.
Perkembangan itu terjadi sejalan dengan pemahamanku tentang gadis itu. Aku tau warna kesukaannya, yaitu setelah pengamatan lama aku menyadari Emi lebih menyukai warna kuning dan orange. Aku tau hewan kesukaannya, yaitu berbeda dengan ku, Emi lebih menyukai hewan yang besar dan dapat dipeluk seperti anjing atau kuda. Emi juga pernah berkata ia sangat ingin melihat dan memeluk panda suatu saat nanti.
Aku juga sudah mengetahui hobi Emi. Diluar sana Emi suka melakukan kerajinan seperti merajut dan membaca. Ia banyak mengerjakan kegiatan yang tidak memerlukan mobilisasi yang terlalu banyak seperti melukis atau menjahit. Emi juga bisa melakukan banyak hal, termasuk menggambar.
Emi juga bercerita bahwa ia tidak pernah pergi ke sekolah, itulah mengapa ia sangat senang mendapatkan ku sebagai teman dan sangat menghargai waktu kami bersama di dalam mimpi.
Emi mengetahui banyak hal. Ia bilang ia memiliki perpustakaan besar di rumahnya yang mana sering menjadi destinasi utama untuk nya menghabiskan waktu. Emi tau banyak hal soal tumbuhan, hewan, dan informasi menarik soal rasi bintang dan angkasa. Berbicara dengannya tidak pernah membosankan.
Meski begitu aku dapat merasakan jika Emi kesepian, dalam ceritanya aku tidak pernah mendengar Emi menceritakan keberadaan orang lain dalam hidupnya. Emi juga sering memandang kosong ke kejauhan tanpa alasan dan tersenyum kecil saat aku memanggil namanya.
Saat itu Emi bercerita. Soal gadis kecil yang dilahirkan dari keluarga yang spesial. Keluarga yang memiliki sejarah dan garis takdir yang tidak menyenangkan jika dilihat dari sisi manusia dengan pikiran yang normal.
“Gadis kecil itu besar di keluarga yang berbeda dengan keluarga lain pada umumnya. Dulu ia tidak menyadarinya, ia pikir itu wajar untuk semua gadis kecil tetap berada di rumah saat orang dewasa pergi dan melakukan aktivitas entah apa diluar rumah.”
“Ia pikir itu normal saat ia diminta untuk berdiri di tengah lingkaran dengan orang - orang dewasa yang mengelilingi dan melakukan ritual entah apa dengan tulisan dan gambaran itu.” Emi menatap kakinya yang terayun. Matanya berkedip dengan lambat, pikiran akan masa lalu memenuhi kepalanya.
“Ia pikir itu normal saat orang tua dan bahkan saudaranya mulai menjauhinya dan bersikap sopan dengannya. Ia pikir itu normal saat badannya mulai berhenti bekerja dengan baik dan ia selalu merasa lelah.” Emi tanpa sadar memberikan senyum miring, seolah mengejek sang gadis dalam cerita yang ia berikan.
“Saat gadis itu menyadari jika semua itu tidak normal, semua sudah terlambat. Ia sudah terlalu lama menghabiskan waktu di dalam rumah, di atas kasur, di kamar tanpa jendela itu.” Emi melihat ke sekeliling. Senyum kecil yang terasa lebih tulus akhirnya muncul di bibir nya.
“Ia akhirnya menyadari kesalahan dan kegilaan yang terjadi di sekitarnya. Alasan dibalik penyakitnya dan kesengsaraannya selama ini. Kutukan dan pengorbanan yang dia lakukan tanpa seizin dan sepengetahuan dirinya.” Tangannya yang awalnya berada di samping tubuhnya itu Emi gerakkan. Jemari tempat benang merah terhubung ia buka dan tutup. Seolah menikmati sensasi nyata yang diberikan oleh tarikan benang dan angin yang bergerak melewati jemarinya.
“Gadis itu marah. Ia mengutuk segalanya, dunia, takdirnya, orang - orang disekitarnya, begitu juga dirinya sendiri. Namun apapun yang ia lakukan tidak memberikan dampak apapun, semua sudah terlambat dan ia tidak bisa melakukan apa - apa. Gadis itu kehilangan harapan untuk hidup. Ia merasa sendirian, kesepian, menyedihkan, dan putus asa. Ia merasa hidupnya tidak ada artinya dan semua perjuangannya selama ini adalah lelucon.” Emi memberikan senyum tipisnya. Ia lalu menatapku dengan pandangan kosongnya.
“Menurutmu apa yang gadis itu harus lakukan?” Tanya nya dengan wajah sendu. Aku hanya terdiam, tidak tau harus mengatakan apa. Emi tertawa kecil dan mengucapkan kata, “Maaf menakutimu, kamu tidak perlu menjawabnya” sebelum melanjutkan ceritanya.
“Karena tidak ingin terus hidup hanya untuk dimanfaatkan dan hidup hanya sebagai alat, gadis itu akhirnya memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Ia mencoba mengakhiri hidup nya.” Emi menatapku dengan senyum kecil kemudian tertawa.
“Ia pikir itu akan selesai. Namun untuk beberapa alasan orang - orang disekitarnya tidak dapat membiarkannya mati. Tugasnya belum selesai, itu yang mereka katakan. Bukan kah orang - orang itu sangat parah?” Emi menarik alisnya dan memberikan senyum mengejek.
“Sejak saat itu sang gadis hidup di dalam kekangan dan pengawasan ketat. Ia bahkan tidak memiliki hak untuk mati dengan tangannya sendiri. Percobaan demi percobaan ia lakukan, namun semuanya digagalkan.” Emi mengepalkan tangannya kesal. Aku tidak tau harus merespon sepeerti apa, bayangan Emi yang mencoba bunuh diri lebih dari sekali membuat matanya panas.