Lucid In You

Maurice Shafina Hanum Hadi Elfahmi
Chapter #9

Persembahan

Aku duduk terdiam, merasakan hening yang menyapa setelah Lana dan Sella pergi meninggalkan kos ku. 

Suara perut tiba - tiba terdengar. Menyadarkan ku bahwa seharian ini aku belum memakan apapun. Mungkin itu alasan kenapa aku tidak sadarkan diri dan sulit untuk dibangunkan barusan. 

Aku berjalan menuju lemari untuk mencari makanan, di kos ku tidak ada kulkas sehingga aku sering kali menyetok makanan instan atau membeli makanan di warung sekitar. Melihat hanya tersisa 2 mie instan dan beberapa sosis tanpa pikir panjang aku menyeduh semua mie yang tersisa dan memakannya menggunakan sosis. 

Setelah mengisi kembali tenaga dan menyegarkan diri dengan minum air mineral dan mandi, akhirnya aku memiliki waktu untuk berpikir dan memproses semua yang baru terjadi dengan kepala yang lebih dingin. 

Sekarang aku mengenal Emi dengan lebih baik. Mengetahui masa lalunya, alasan kenapa dia sangat menyukai pengalaman - pengalaman baru yang kami alami di dalam mimpi atau mengapa dia tidak memiliki preferensi atau kesukaan khusus terhadap warna atau pakaian yang ia kenakan. 

Kenapa Emi sangat suka berlarian dan mengerjakan suatu kegiatan yang melibatkan mobilitas, aku mengetahui semuanya sekarang. 

Hidup Emi yang sangat mirip dengan hidup ku. Apa gunanya memiliki keluarga jika mereka hanya memanfaatkanmu? Apa gunanya memiliki keluarga jika mereka tidak menginginkan mu dan hanya menganggapmu beban? Di dunia yang luas ini, Emi berjuang sendiri sebelum akhirnya ia bertemu dengan ku, untuk pertama kalinya menemukan pertolongan dan tumpuan meski hanya sesaat. Meski hanya di dalam mimpi. 

Karena itu mana mungkin aku bisa mengabaikannya? mana mungkin aku bisa melupakannya begitu saja? aku tidak akan mungkin bisa mengorbankan Emi setelah semua yang kami lewati bersama. 

Aku tau, melanjutkan hal ini akan buruk untuk ku. Mungkin jadwal makan ku akan hancur tak karuan, jadwal tidurku apa lagi, kuliah ku mungkin akan terpengaruh, beasiswa ku? Bisa saja. 

Sepertinya aku terkena sihir atau racun entah apa, tapi saat ini di mata ku semua itu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan waktu yang aku habiskan bersama Emi di sana. Senyum yang Emi berikan setiap saat kita bertemu dan kebersamaan kami di sana tidak bisa dibandingkan dengan apapun.

Aku melihat jam, mengecek jadwal kelas ku untuk melihat apakah setelah ini aku memiliki kelas lain yang harus aku ikuti. Setelah melihat aku masih memiliki 1 jadwal kelas malam dan ada tugas yang harus aku kerjakan, akhirnya dengan langkah lamban aku menyiapkan diri dan berangkat ke kampus. 

Tidak sempat terpikirkan olehku tentang respon Lana dan kemarahannya tadi. Sampai akhirnya aku berdiri di kelas dengan Lana yang memalingkan wajah setelah mata kami bertemu. 

Kursi di sebelahnya masih kosong, hanya dengan sebotol air minum yang diletakkan di atas meja. Aku tidak tau apakah aku bisa menempatinya ataukah tidak. Beberapa detik yang terasa begitu lama berlalu, mungkin karena kedatangan ku yang sangat dekat dengan jam masuk, keberadaan dosen pengajar memasuki ruangan dapat aku lihat dari ujung mata ku. 

Aku melihat Lana menghembuskan nafas dalam sebelum memindahkan botol di atas meja, masih dengan muka yang di buang, ia mengosongkan barang apapun yang ada di atas meja seolah mempersilahkan ku untuk duduk di sana.

Sekali lagi aku menyadari betapa berpengaruhnya keberadaan Lana di hidupku. Aku duduk dengan perlahan di atas kursi, ikut terdiam. Lana mengabaikan ku, ia berbicara dengan teman di kursi sebelahnya tanpa menoleh ke arah ku sedikit pun. 

Masuk akal, jika aku di posisinya aku juga akan melakukan hal yang sama. Mungkin malah lebih parah. Lana masih menjagakan tempat untuk ku duduk di kelas, meskipun bisa jadi aku tidak masuk kelas hari ini apalagi setelah apa yang terjadi tadi. Lana terlalu baik, hatinya terlalu lembut. Semua pertengkaran dan kemarahannya hari ini dan beberapa hari lalu adalah salah ku. 

Kelas berjalan lambat seperti biasa. Pikiranku dipenuhi hal lain. Tentang Emi, tentang Lana, tentang masa depan ku, tentang pilihan ku, dan tentang diri ku sendiri. 

Semua hanya terus berputar di kepala ku. Apapun pilihan yang aku ambil, pasti akan ada yang ku korbankan. Jika aku memilih masa depan ku dan persahabatan ku dengan Lana, maka Emi harus aku korbankan. Jika aku memilih Emi, maka bisa jadi kehidupan ku yang stabil dan dinamis ini harus berubah menjadi tidak menyenangkan dan tidak teratur. 

Lana dan Emi memiliki tempat yang sama - sama penting di hidupku. Lana yang memang sudah ada sejak lama bersama ku, menemani dan mendampingi ku. Namun Lana memiliki banyak orang dan masa depan lain yang mana bisa jadi aku tidak akan berperan besar disana. Emi kebalikannya, kami hanya bertemu sebentar. Sekitar setengah tahun. 

Namun Emi hanya memiliki aku, di masa depan miliknya akan ada aku disana. Jika kami benar - benar memutuskan untuk bersama dengan serius maka masa depan yang akan kami habiskan bersama bisa jadi lebih lama dari waktu yang sudah aku habiskan bersama Lana selama ini. 

Dosen menutup kelas dengan salam dan absensi kehadiran. Selama semua itu berlangsung aku dan Lana masih belum bertukar kata sedikit pun. Bahkan saat Salah satu teman sekelas kami menanyakan soal tugas kelompok dan pembagian nya, kami masih mengabaikan satu sama lain namun tetap dengan menjawab pertanyaan dari orang yang bersangkutan tadi dengan tanpa kontak mata di antara kami. 

Aku masih diam di kursi ku saat Lana bangkit dan pergi meninggalkan kelas. Ku tatap punggungnya yang semakin lama semakin menjauh dengan tatapan sedih. Aku ingin bercerita, bertanya kepadanya tentang apa yang harus aku lakukan. Tapi jika Lana tau aku memilih mengorbankan dirinya dan hidupku hanya untuk seorang gadis yang ku kenal lewat mimpi, apa yang akan dia lakukan? Apakah dia akan berpikir aku gila? Bukankah dia akan jadi semakin sedih. 

Karena sekarang lebih banyak waktu kuhabiskan untuk tidur, ada banyak tugas yang harus aku kejar dan aku selesaikan. Masih di bangku yang sama aku mengeluarkan laptop ku dan mulai mengerjakan tugas yang menumpuk. 

Waktu berjalan cepat, satu demi satu tugas yang ada aku selesaikan. Tanpa sadar waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam waktunya kelas di tutup dan kampus di kunci. Setelah mendapatkan teguran dari satpam kampus aku segera membereskan barang ku dan bangkit dari kursi. 

“Apa ini?” Tanpa sengaja saat aku berdiri dari kursi ku, ku lihat sebuah kresek yang baru saja tersenggol oleh kaki ku dan terjatuh. 

Aku membungkuk untuk meraihnya. Melihat apakah seseorang meninggalkan barang mereka dan barangkali aku bisa mengembalikannya pada pemiliknya. 

Sebuah sticky note tertempel pada kresek putih itu. Berisikan sebuah pesan dari seseorang yang aku kenal dengan sangat baik. Meskipun tidak ada nama di sana namun aku sudah lebih dari familiar untuk mengenali tulisannya itu. 

[“Ini makanan, setidaknya makan. Aku tidak punya cukup waktu untuk mengurus pemakaman mu nanti.”]

Senyum tipis muncul di bibir ku. Lana dengan perhatiannya tidak pernah gagal untuk membuatku takjub. Hati laki - laki itu memang terbuat dari berlian. Padahal dulu Lana sempat di bully karena kebaikannya. Apa dia tidak pernah belajar untuk menjadi lebih tegaan?

“Dunia memang terlalu aneh dengan caranya memperlakukan orang baik.” Bisik ku pelan sambil membawa kantong kresek beserta semua bawaan ku untuk pulang. 

Malamnya aku kembali bermimpi. Mungkin kebaikan Lana dan usahanya untuk terus mencoba memahami ku membuat ku sedikit gentar. 

Di atas gunung es dengan salju yang tebal, aku dengan kaki yang terbalut kulit hewan yang berbulu dan hangat berjalan dengan perlahan mengitari pepohonan pinus yang tersebar asal. 

Apakah aku akan bertemu dengan Emi hari ini? Aku tak tau. Kecil kemungkinannya karena baru saja kemarin kami bertemu di dalam mimpi. Tapi untuk mempersiapkan segala kemungkinan yang ada aku tetap pergi untuk mencari kendaraan atau alat yang bisa kugunakan untuk menyelamatkan Emi.

Setelah mengumpulkan semua yang dibutuhkan aku memutuskan untuk duduk lalu merentangkan kedua tanganku di atas salju. Menghempaskan tubuh ku dan menikmati keindahan salju yang masih berjatuhan begitu juga kelinci dan rubah yang sesekali berlari melewatiku. 

Aku memejamkan mata dan menghembuskan nafas. Menikmati waktu sendiri yang menenangkan untuk mendinginkan kepala dan pikiran ku. 

Suara derap langkah dan lolongan yang terlampau familiar membuat ku tersentak dan segera bangkit. Dari arah benang merah berasal, Emi muncul dengan penampilannya yang masih sama. 

“Shei!!” Teriakan dan senyum lebar yang gadis itu berikan membuat ku melupakan segalanya. 

Lihat selengkapnya