Hari silih berganti, pertemuan ku dan Emi juga menjadi semakin intens. Kami mulai terbuka satu sama lain. Menceritakan hal - hal personal. Mengutarakan rasa sedih, jenggel, kesal, atau masalah kehidupan yang kami alami dan menyemangati satu sama lain.
Hubungan ku dan Lana masih buruk. Kami hanya saling bertukar percakapan dengan cara non verbal. Hadiah - hadiah kecil, kursi yang selalu terjaga, atau pesan singkat lewat orang ketiga. Namun aku masih pada pendirianku sebelumnya. Emi adalah masa depan ku.
Hari ini pula aku bermimpi dan untungnya Emi datang menemuiku. Aku sudah membulatkan tekad. Aku akan berada disini bersamanya, menemani Emi dan menyelamatkannya dari apapun yang membuatnya sedih dan kesepian.
“Ah.. sepertinya waktu kita sudah habis. Shei sampai- Eh?” Perkataan Emi dengan paksa terputus karena tarikan paksa yang aku berikan pada lengannya.
Seperti mimpi sebelumnya, saat aku akan terbangun makhluk - makhluk yang mengejar Emi akan datang, mengambil Emi dan mimpi ku pun akan berakhir. Namun kali ini aku tidak menginginkan itu. Aku akan menyelamatkannya, membawa Emi pergi bersama ku.
“Ayo lari.” Aku tidak ingin berpisah, aku tidak ingin Emi bangun dan harus menghadapi keadaan tubuhnya yang melemah dan keluarganya yang jahat itu.
Aku mengabaikan pandangan ku yang sempat membuyar. Berusaha lari dan menghindar dari kejaran makhluk aneh yang mengejar Emi.
Jika memang Emi tidak ingin kembali ke sana. Tidak masalah. Aku akan menemaninya di dunia ini selama apapun yang diperlukan.
Kami terus berlari meskipun di ujung mataku, aku sudah tidak dapat melihat makhluk - makhluk itu mengejar kami. Kami terus berlari meskipun baik aku maupun Emi tidak tau tujuan macam apa yang kami cari. Kami terus berlari meskipun baik aku ataupun Emi tidak ada yang tau hasil apa yang kami harapkan dari waktu singkat yang berusaha kami dapatkan saat ini.
Entah sudah berapa pemandangan dan medan yang berganti selama kami berlari. Baik aku maupun Emi, kami sama - sama terdiam. Tidak ada kata yang keluar meskipun durasi perjalanan kami bisa dibilang cukup untuk Emi mengulang kisah hidupnya.
Kapan harus berhenti? Aku tidak tau. Jika aku berhenti apakah Emi akan tetap bersama ku ataukah mereka akan datang dan membawa Emi pergi dari mimpi ku?
Aku ingin menyelamatkan Emi dari takdirnya, dari dunianya yang kejam, dari segalanya yang bisa membuat gadis itu merasa sedih. Tapi apakah aku bisa melakukannya? Di dunia nyata sana aku bahkan tidak bisa menyelamatkan diriku sendiri. Lalu bagaimana aku bisa menyelamatkan Emi?
Di mimpi lebih baik. Aku bisa melakukan banyak hal. Aku bisa mengalami dan menjadi apapun yang aku inginkan. Meskipun kami tidak dapat merasakan makanan atau mengonsumsi sesuatu dalam mimpi, namun aku dan Emi dapat menikmati hari kami dengan bermain dan berkelana bersama.
Ya, ini lebih baik. Bagaimana dengan dunia nyata dan apa yang terjadi pada tubuh ku? Persetan dengan itu. Aku hidup di saat ini dan saat ini aku ingin memberikan semua waktu ku untuk Emi dan membawanya pergi jauh dari semua hal yang membuatnya bersedih.
Di depan kami muncul sebuah rumah, rumah sederhana dengan balkon dan pot bunga anggrek berwarna ungu di samping pintu masuk. Rumah sederhana sebagaimana yang selalu aku inginkan dan aku bayangkan untuk dapat aku miliki di masa depan. Rumah sederhana yang bisa aku sebut sebagai rumah dan tempat untuk ku pulang.
Aku lihat Emi di sebelah ku. Satu hal yang selalu dibutuhkan dari tempat yang disebut rumah adalah kehangatan di dalamnya. Dulu aku tidak pernah memikirkannya, bagian paling penting dari sebuah rumah. Seseorang yang menyempurnakan bangunan sederhana untuk menjadi tempat berpulang yang seutuhnya. Sebelum bertemu Emi aku tidak berpikir aku akan membutuhkan hal itu, namun setelah bertemu dengannya, aku tau Emi adalah kunci terakhir dari masa depan yang aku harapkan.
Saat kami sudah semakin dekat, aku menurunkan kecepatan dan dengan perlahan menuntun Emi untuk masuk ke dalam rumah. Gadis yang awalnya menunduk dan membisu itu akhirnya mengangkat kepalanya dan melihat pemandangan di sekitarnya.
“Ini rumah mu?” Emi berbisik penuh tanya. Aku tertawa.
“Sayangnya bukan, namun aku berharap suatu saat ini bisa menjadi rumah ku.” Emi memandangku bingung. Tidak dapat mengartikan apa maksud dari jawaban yang aku berikan kepadanya.
“Karena kamu sudah menceritakan kisah tentang seorang gadis, sekarang gantian aku yang menceritakan tentang kisah seorang anak laki - laki.” Aku memberinya senyum. Emi menatapku dengan alis terangkat dan senyum tipis. Ia mengangguk dengan semangat, memberikan jawaban positif soal tawaran ku untuk menceritakan soal kisah hidup ku.
“Dahulu kala ada seorang anak laki - laki yang tinggal bersama Ibunya. Mereka hanya hidup berdua dikarenakan sang Ayah sudah pergi mengejar impian lain yang ingin diwujudkannya tanpa keberadaan Ibu dan anak laki - laki itu. Mereka berdua hidup dengan susah payah, berjuang untuk mendapatkan makanan dan membayar tagihan yang ada hari demi hari.” Sambil menceritakan kisah ku, Aku mengantarkan Emi duduk di sofa lebar yang ada tidak jauh dari pintu masuk. Memberikan tempat yang lebih nyaman untuk kami berbicara.
“Di dalam kesulitan itu, sang anak selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik. Namun sang Ibu menganggap anak lelaki itu sebagai beban dan menyalahkan takdir yang menimpanya pada sang anak. Suatu ketika harapan muncul, atau sesuatu yang anak lelaki itu pikir sebagai harapan.” Aku tersenyum kecil ke arah Emi. Kami duduk dengan kaki yang saling bersentuhan dan tangan yang masih tertaut.
“Sang Ibu menemukan kekasih dan kehidupan mereka menjadi lebih baik. Untuk sesaat anak laki - laki itu dapat makan saat ia ingin makan dan dapat membeli mainan jika ia menginginkannya. Namun hal itu tidak bertahan lama. Sang Ibu dan Ayah barunya mulai menghabiskan lebih banyak waktu diluar. Anak lelaki itu pergi ke sekolah tanpa ada makanan hangat atau ucapan selamat jalan dan pulang tanpa sambutan atau makan malam. Rumah yang selalu ia harapkan dan ia pikir akan ia dapatkan kehilangan kehangatannya.” Sambil mengatakan hal itu aku remas tangan Emi dan memijatnya pelan.