“SHEI!!” Teriakan Lana memasuki gendang telinga ku bahkan sebelum aku bisa membuka mata ku dengan baik.
Seluruh ingatan tentang Emi dan mimpi ku sebelumnya memasuki kepalaku. Membuatku yang belum sepenuhnya sadar langsung terbangun dan melihat keadaan di sekitarku.
Aku terbangun, di dunia nyata dengan Lana dan Sella yang hadir di sekitar tempat tidurku saat ini. Kamar dengan dinding putih masuk ke dalam penglihatan ku. Gorden hijau dan bau khas rumah sakit tanpa permisi menyusup ke dalam seluruh indra ku. Rumah sakit, apa aku tidak sadarkan diri lagi?
Aku melihat jemari ku, mereka terlihat jelas. Tidak ada benang merah disana, pada dasarnya saat aku terbangun memang tidak pernah ada benang merah di jemari ku. Namun setelah apa yang terjadi, kenyataan itu hanya membuat kesedihan yang belum sempat aku salurkan dengan baik itu meledak dan tumpah begitu saja.
Emi meninggalkan ku. Ia memilih untuk memutus benang merah kami dan pergi begitu saja. Apakah dia pikir aku akan melupakannya? Setelah apa yang terjadi? Setelah apa yang dia katakan? Setelah apa yang sudah kami lalui bersama? Apakah di matamu aku sedingin itu?
Tidak ada yang dapat menjawab pertanyaan ku, bahkan walaupun aku ingin menanyakannya aku tidak tau apakah aku masih memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Emi.
Tapi aku belum mencobanya, tidak ada yang tau apakah aku masih bisa bertemu dengan Emi atau tidak. Mungkin saja jika aku terus tidur untuk waktu yang lebih lama aku dapat bertemu kembali dengan Emi.
Pikiran itu membuatku langsung membalikkan badan, bersiap untuk tidur dan mencoba teori penuh dengan celah yang baru saja aku pikirkan.
Namun tangan seseorang menahan ku. Suara - suara dari luar yang sebelumnya belum sempat masuk dan terproses di dalam kepalaku akhirnya terdengar. Suara Lana dan Sella terdengar memenuhi ruangan silih berganti.
Tangan Lana yang menahanku untuk tidak berbalik dengan asal dan Sella yang berdiri di samping kasur dengan wajah khawatir sambil merapikan selang infus yang berada di sisi kasur.
Tunggu, selang infus? Mataku mengikuti arah selang yang ternyata tersambung dengan jarum yang sudah terpasang di balik telapak tangan ku. Warna merah yang sedikit demi sedikit merembes dari putihnya plester obat dan rasa berdenyut di tanganku membawaku pada kenyataan dan fakta bahwa aku sudah kembali di dunia nyata.
“Shei, jangan langsung gerak gitu. Diem dulu, kamu baru bangun.” Suara khawatir dan tegas yang terdengar dari Lana yang membantu ku kembali berbaring diatas kasur membawa ku pada kenyataan lain. Kenyataan yang mungkin tidak dapat aku ubah.
“L..a.na?” Panggil ku pelan. Laki - laki di sebelahku menatapku dengan pandangan marah dan sedih yang bercampur aduk.
Pandangannya mengingatkanku pada wajah sedih Emi dan ucapan maaf nya. Perkataan terimakasih dan aku mencintaimu yang ia katakan sesaat sebelum Emi dengan teganya memotong penghubung di antara kami.
Emi, aku tidak berbohong saat aku mengatakan bahwa aku akan menemani mu di sana. Aku tidak berbohong saat berkata aku mencintaimu dan aku tidak berbohong saat aku bilang itu tidak mungkin membencimu apapun yang kamu lakukan.
Aku memang bodoh dan aku dengan senang hati akan menerima gelar itu jika itu diperlukan untuk menjagamu tetap ada di sisi ku. Bahkan setelah mendengar alasan mu aku sama sekali tidak merasa marah, aku malah merasa senang karena dengan keberadaan ku setidaknya rasa sakit mu bisa berkurang meski hanya sedikit. Aku akan dengan senang hati membagi nyawa ku jika itu bisa membuat ku bersama mu untuk lebih lama.
Tapi kenapa kamu memilih untuk memutusnya begitu saja tanpa mendengarkan apa yang ingin aku katakan? Jika kamu melakukannya untukku bukankah pendapatku penting? Kamu bilang kamu ingin untuk berhenti menjadi egois, namun melakukan ini bukankah itu sama egoisnya?
Emi apakah kita benar - benar tidak akan bisa bertemu lagi? Apakah ini perpisahan? Aku tidak menginginkannya, jangan pergi meninggalkan ku. Apa kamu juga tidak menginginkan ku lagi seperti mereka?
“Shei. Kamu enggak papa? Gimana keadaanmu sekarang? Ada yang masih sakit?” Lana mencoba untuk bertanya selembut mungkin dari tepi kasur.
Melihatnya membuatku tidak dapat menahan rasa panas yang mulai menggumpal di mata dan hati ku.
Tanpa dapat ditahan air mata ku akhirnya turun. Dapat aku lihat wajah terkejut Lana bahkan Sella dengan air mata yang tanpa aba - aba keluar dari kedua mata ku.
Isak tangis dapat terdengar jelas di kesunyian ruangan. Lana dan Sella yang terdiam, keduanya menatapku dengan pandangan yang tidak dapat aku artikan. Dapat aku lihat ujung mata Lana memerah. Aku pasti terlihat semenyedihkan itu hingga Lana menunjukkan wajah seperti itu.
“Sstt.. Shei, gak papa. Semua aman. Aku ada di sini. Apapun yang kamu lakuin aku pasti bakalan ada buat bantuin kamu. Jangan khawatir, semua bakalan baik - baik saja.” Lana berucap pelan namun penuh dengan tekad dan keyakinan.