Lucky I Met You

Raihana Rihil M
Chapter #1

Prolog (Fara)


ADA banyak cerita untuk mengawali sebuah pertemuan. Begitu pun untuk perpisahan. Selama ini aku tak begitu memedulikannya. Pertemuan dan perpisahan adalah bagian dari siklus kehidupan. Tidak ada yang spesial dengan itu. Atau lebih tepatnya, aku berusaha keras untuk tidak terlalu antusias oleh ratusan pertemuan dan perpisahan yang terjadi dalam hidupku? Entahlah. Mungkin karena aku tahu, semakin berarti suatu pertemuan, maka perpisahan akan menjadi penutup paling menyakitkan. Seperti pada hari itu. Saat aku harus berpisah dengan pria nomor satu dalam hidupku, Papaku.

Sejak membuka mata untuk pertama kalinya di dunia, Papa selalu jadi sosok pelindung juga pahlawanku. Rasanya segalanya akan baik-baik saja selama Papa ada di sampingku. Papa pernah bilang, sewaktu bayi dulu, aku lebih sering tersenyum padanya ketimbang pada Mama, entah kenapa. Tapi mungkin memang ikatan batinku dan Papa lebih kuat daripada dengan Mama. Aku selalu jadi orang pertama yang menyadari perubahan suasana hati Papa, mulai dari senang, sedih, kesal, marah dan gugup. Itu jugalah yang menjadi alasan mengapa aku lebih dekat dengan Papa daripada Mama. Tak jarang Mama dibuat kesal karena kedekatan kami sering membuatnya merasa terasingkan dan tidak memiliki sekutu untuk berdebat. Tapi cukup dengan rangkulan Papa, Mama akan luluh lagi dan lagi. Pertemuan pertama paling berharga dalam hidupku adalah bertemu dengan Papa. Siapa sangka jika pertemuan kami hanya bertahan selama dua belas tahun.

Kupikir, ikatan batinku dengan Papa sudah cukup kuat untuk memprediksi kapan kami akan segera berpisah. Rupanya aku salah.

Hari itu sangatlah cerah. Kami sekeluarga berniat pergi berlibur ke rumah Nenek di Bekasi karena aku memaksa ingin bertemu Nenek setelah berbulan-bulan lamanya tidak jumpa. Tidak ada firasat sedikit pun bahwa kami akan mengalami kecelakaan beruntun dan Papa menggunakan tubuhnya sendiri untuk melindungiku dan Mama setelah membanting stir menghindari mobil lain yang melaju tak terkendali menuju bagian depan mobil kami. Hari itu, sekali lagi Papa menjadi pahlawanku. Namun, untuk yang terakhir kali.

Seminggu penuh aku menangisi kepergian Papa dan mungkin seumur hidup akan selalu merasa bersalah padanya. Berulang kali Mama menegaskan bahwa itu semua bukan salahku dan sudah menjadi takdir Tuhan. Tapi, aku tak mau mendengarkan. Seharusnya hari itu aku tidak merajuk ingin liburan ke rumah nenek. Seharusnya aku diam saja. Seharusnya kecelakaan itu tidak terjadi.

Itu adalah kali pertama aku merasakan perpisahan paling menyakitkan dalam hidup. Setelahnya dengan kesadaran penuh aku mendoktrin diriku sendiri untuk tidak lagi merasakan sakit sehebat itu. Dan satu-satunya cara adalah dengan menutup hati dari segala pertemuan yang terjadi dalam hidupku. Karena tidak akan ada perpisahan yang menyakitkan tanpa pertemuan yang berarti.

Namun, sekali lagi takdir mempermainkanku. Perpisahan dengan Papa justru mengantarkanku pada sosok berarti lainnya yang mungkin takkan dengan mudah kulepaskan.

"Kenapa kamu menangis?"

Lihat selengkapnya