Lucky I Met You

Raihana Rihil M
Chapter #2

The Feeling (Fara)


JIKA satu pertemuan singkat saja tak patut untuk diingat, barangkali pertemuan-pertemuan tak terduga berikutnya akan benar-benar mengubah segalanya. Pertemuanku dan Rayyan tidak benar-benar terputus di sore itu. Perpisahan kami hanyalah jeda sesaat sebelum akhirnya kami benar-benar terhubung oleh pertemuan-pertemuan berikutnya.

Aku selalu berharap bahwa pertemuanku dengan Rayyan akan menjadi pertemuan berharga terakhir dalam hidupku yang takkan berakhir menyedihkan. Namun, lagi-lagi aku salah. Karena terkadang, pertemuan yang terus menerus terjadi dan diam-diam menumbuhkan rasa, akan menjadi akhir dari hubungan yang terjalin selama pertemuan itu berlangsung.

Secara tak terduga, saat aku dan Mama memutuskan untuk pindah rumah karena tak sanggup lagi menahan pilu oleh berjuta kenangan Papa yang tertinggal di rumah lama kami, keluarga Rayyan menjadi tetangga yang pertama kali akrab dengan kami begitu kami bertempat tinggal di lingkungan yang baru.

Sejak saat itu aku selalu dibuat takjub oleh keajaiban dari sebuah pertemuan singkat yang dapat menuntunku pada sebuah persahabatan tak berujung. Di saat aku tak acuh dan menutup hati atas nyaris semua pertemuan tak berarti lainnya dalam hidupku, Rayyan memiliki caranya sendiri untuk membuatku tak dapat mengabaikan pertemuan kami begitu saja—dengan menjadi sahabat dan pelindungku.

Seharusnya aku berhenti di titik itu. Ketika Rayyan cukup berharga untuk menjadi sahabatku, seharusnya aku tak berharap lebih. Sayangnya sudah terlambat untuk menyesali rasa yang telah hadir. Aku pada akhirnya menyayangi Rayyan melebihi rasa sayang seorang sahabat. Aku mencintainya. Dan sayangnya lagi, aku bahkan tidak memiliki kesempatan untuk mengungkapkan perasaanku padanya karena ada cinta lain yang tumbuh di antara kami berdua. Aku sadar bahwa baik aku maupun Rayyan takkan mampu mengabaikannya.

"Yang ini gimana, Ra?"

Aku mengamati kebaya pengantin berwarna putih yang tengah Mama coba. Sangat cantik. Teramat cantik malah hingga aku juga ingin memakainya.

"Bagus, Ma. Cantik," jawabku yang langsung disambut senyuman sumringah Mama.

Setelah beberapa tahun terakhir, baru kali ini aku Kembali melihat senyum itu lagi. Dulu hanya Papa yang mampu membuat Mama tersenyum lebar sekaligus tersipu seperti itu. Kini, ada orang lain yang mampu melakukannya sebaik Papa.

"Kamu gak coba kebaya-kebaya lainnya?" tanya Mama.

"Hm. Aku ... coba yang ini deh." Aku meraih kebaya modern berwarna peach yang telah disediakan oleh perancang busana butik yang kami datangi.

Berkali-kali aku memutar tubuh ke kiri dan ke kanan, tapi tak ada yang special. Seburuk itu kah penampilanku hingga kebaya secantik ini saja tidak berpengaruh padaku?

Dengan gusar aku pun keluar dari fitting room untuk menanyai pendapat Mama. Tapi, yang pertama kutemui saat keluar malah seseorang yang paling enggan kutemui saat ini.

"Cantik," pujinya dengan tatapan takjub yang tak ditutup-tutupi. Namun tak lantas mengusir kegusaranku.

"Menurutku enggak, tuh," ucapku tidak setuju dengan pendapatnya.

Rayyan menyunggingkan senyum manisnya dan memutar tubuhku, lalu mendorong bahuku pelan menuju cermin besar di sudut ruangan.

"Lihat ulang," pintanya yang kuturuti setengah hati.

Tak ada yang berbeda. Wanita dalam pantulan cermin itu masihlah tampak biasa-biasa saja. Bahkan tampak mendung. Aku tidak ingin Rayyan melihatnya dan berusaha menepis kedua tangan pria itu yang masih setia bertengger di kedua bahuku. Namun tak berhasil.

"Ck, gak ada bedanya, Ray. Gak usah menghibur," ketusku balas menatap matanya lewat pantulan cermin.

Sial, menatap matanya langsung tidaklah membantu. Yang ada hatiku makin perih dan ingin menangis saja rasanya.

"Kamu cantik, Ra. Cuma satu yang kurang," katanya seraya menunduk dan mensejajarkan wajahnya tepat di samping wajahku.

"Senyum," ucapnya lembut.

"Senyum?"

Rayyan bergumam dalam senyumnya dan setengah menyandarkan dagunya di atas bahuku. Kedekatan ini malah menambah perih di hatiku. "Coba senyum," pintanya lagi.

Aku memaksakan seulas senyum di cermin yang dibalas Rayyan tak kalah lebarnya. Andai dia tahu betapa beratnya dan perihnya hatiku saat ini. Tersenyum pun rasanya begitu menyakitkan. Tapi aku tak akan menunjukkannya pada Rayyan. Biarlah aku memendam perih ini seorang diri.

"Rayyan?"

"Hm?"

"Kamu ... bahagia orang tua kita menikah?" tanyaku tak tertahankan.

"Aku? Aku ... selama kamu bahagia, aku pun bahagia, Ra," jawabnya seraya melingkarkan kedua tangannya di depan leherku. Merengkuhku lembut dari belakang. Menarik tubuhku agar bersandar padanya.

Aku tidak bahagia, Rayyan, ruang batinku.

"Tapi aku cukup senang sih punya adik secantik kamu," lanjutnya yang justru memancing setitik air mata mengalir tanpa dapat kucegah.

Kenapa kamu harus mengatakan sesuatu yang paling tidak ingin kudengar, Rayyan?

Hanya tinggal menghitung minggu dan Rayyan akan resmi menjadi saudaraku. Bagaimana bisa aku menganggapnya sebagai saudara sementara hati ini menginginkannya sebagai seorang pria yang mencintaiku sebagai wanita?

"Ra? Kamu kenapa nangis?" Rayyan memutar bahuku khawatir dan langsung mengusap bawah mataku dengan ibu jarinya.

Aku hanya bisa menggeleng seiring derasnya air mataku yang berjatuhan membasahi pipi. Aku tidak ingin menangis sebelum momen bahagia Mama berlalu, namun tak berhasil. Pada akhirnya justru Rayyanlah yang pertama kali melihatku menangis dan Kembali menjadi sandaranku.

"Aku ... juga bahagia kalau kamu bahagia, Ray."

***

Pernah sekali aku berharap dapat membaca perasaan Rayyan padaku. Aku penasaran pernahkan dia sekali saja menganggapku lebih dari seorang sahabat, dan bagaimana perasaannya jika aku memiliki seseorang yang dapat diandalkan selain dirinya.

Munafik jika aku tidak berharap lebih. Sering aku berharap ia juga memiliki perasaan yang sama padaku. Bahwa alasannya tidak pernah berpacaran selama ini adalah karena dengan adanya aku di sisinya pun sudah cukup.

Namun, kini aku sudah tak ingin tahu lagi. Percuma. Segalanya telah terlambat untukku. Memikirkannya pun sekarang membuatku merasa amat bersalah pada Mama dan Om Bayu. Mungkin memang sudah saatnya aku mengubur perasaan itu. Tapi bagaimana caranya? Segalanya butuh proses, termasuk menghapuskan perasaan yang telah berakar dalam hati selama bertahun-tahun.

Dan kurasa, kini aku masihlah dalam fase patah hati. Rasanya amat berat, terlebih karena tak ada seorang pun yang dapat kupercaya untuk berbagi keluh kesah. Lebih tepatnya, aku menutup hatiku untuk menerima orang lain selain Mama dan Rayyan. Dan keduanya jelas tak akan aku jadikan teman curhat untuk kegalauanku saat ini. Aku tidak ingin menghancurkan segalanya, apalagi kebahagiaan yang tengah Mama rasakan saat ini.

Bisa dibilang, hari-hariku benar-benar berantakan belakangan ini. Aku mendadak mengalami gangguan sulit tidur dan beberapa kali salah memasukkan bahan kue sehingga beberapa kali juga mendapat teguran penuh kekhawatiran dari rekan kerjaku di cafe. Bukannya aku sombong. Tapi, sebagai owner Bakery Garden, aku tidak pernah melakukan kesalahan, baik itu dalam memanggang roti atau bahkan membuat kue sekali pun. Makanya tidak heran kalau pekerjaku khawatir dengan keadaanku belakangan ini.

Insomnia yang kualami selama seminggu ini pun benar-benar membuatku seperti bunga layu. Kalau saat malam hari aku kesulitan tidur karena teringat hari pernikahan Mama yang tinggal sebulan lagi, maka di siang hari aku bisa mengantuk di mana dan kapan saja tidak peduli situasi dan kondisi. Yang pasti, mataku bisa tiba-tiba saja terasa berat dan ...,

BRAK!

"Hah! Ya Tuhan!"

Apa yang baru saja terjadi?!

Seraya memegangi kepalaku yang pusing dan nyeri setelah terantuk setir mobil, aku keluar dari mobil dan langsung dihadiahi omelan seorang pria yang sepertinya baru saja kutabrak bagian belakang mobilnya.

"Gimana, sih, anda ini?! Bisa nyetir tidak?!" bentaknya marah.

Aku hanya bisa membungkukkan badan dan menundukkan kepala berkali-kali seraya meminta maaf karena tidak tahu harus berbuat apa lagi. "Ma-maaf, Mas. Saya tidak sengaja. Saya akan ganti rugi kerusakan mobilnya. Saya ... saya ...."

Ditengah menahan pusing yang membuat duniaku seolah berputar-putar, aku mencari kartu pengenalku di saku kemeja dan blazer, tapi tidak ada. Saat aku teringat menaruhnya di tas dan hendak berbalik untuk mengambilnya di dalam mobil, tiba-tiba saja aku merasakan bahuku ditarik cukup kuat sehingga kembali menghadap laki-laki tinggi tadi.

"Jangan kabur. Urusan kita belum selesai," kata pria itu tegas namun dengan sorot khawatir begitu mataku mulai menyipit hanya untuk berusaha tetap fokus menatap lawan bicara. Kepalaku benar-benar pusing dan berat. Aku bahkan tidak bisa melihat pria dihadapanku dengan jelas karena sosoknya yang berubah jadi tiga dan kabur.

Lihat selengkapnya