Lucky I Met You

Raihana Rihil M
Chapter #3

Endless Messy Days (Fara)

KU rasa, hari burukku akan berlanjut bahkan sampai Mama menikah. Atau mungkin sampai aku benar-benar bisa mengikhlaskan Rayyan. Entah kapan saat itu akan tiba. Padahal Rayyan masihlah menjadi sahabatku, tapi aku sudah merasa kehilangan. Sejauh ini aku tidak tahu apa lagi yang hilang selain kesempatanku mengungkapkan perasaan padanya dan waktu kebersamaan kami yang perlahan harus terbagi-bagi karena sekarang ada seseorang yang harus Rayyan kawal kemana pun ia pergi.

Kurasa, kehilangan itu semua membuat gairah hidupku turut menyusut. Yah, barangkali aku tidak kehilangan apa-apa lagi. Karena sekarang rasanya tak ada lagi yang kumiliki selain Mama dan status persahabatanku dengan Rayyan yang sebentar lagi berubah. Hanya aku seorang yang menyadari sepenuhnya bahwa aku tengah tidak baik-baik saja saat ini dan aku tidak ada niatan untuk mencurahkannya pada siapa pun selain buku harianku. Aku tidak heran kenapa rasanya masih menyesakkan meksipun sudah kutulis secara rinci dan mendalam tentang kegundahan hatiku dalam buku harian. Mungkin karena buku bukanlah manusia yang dapat memberimu dukungan dan pelukan hangat.

Selama ini aku selalu merasa cukup hanya dengan Mama, Rayyan dan buku diary sebagai sahabatku. Tidak pernah merasa begitu sendirian seperti saat ini ketika tak ada satu pun dari keduanya yang dapat kuajak bicara. Akankah keadaannya berbeda jika aku memiliki seseorang lagi dalam hidupku untuk menjadi sahabatku?

Yah, mungkin keadaannya akan berbeda, dan aku harus siap untuk segala kemungkinan perpisahan yang terjadi di masa depan. Mungkin aku terlalu ekstrem dalam membatasi pergaulan dan memiliki krisis kepercayaan. Tapi tak semua orang menyadarinya. Bahwa semakin banyak orang yang kamu biarkan masuk ke dalam hidupmu, maka semakin banyak juga yang bisa pergi meninggalkanmu. Pada dasarnya, aku hanya ingin melindungi diriku sendiri meskipun caraku terlalu ekstrem.

Seperti yang selalu kupercayai, itu lah pertemuan dan perpisahan. Bagian dari siklus kehidupan yang tidak pernah berani aku hadapi selama ini. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku dibuat patah hati oleh sebuah perpisahan. Sekarang aku harus merasakannya lagi meskipun penyebabnya bukanlah kemarian. Tapi sakitnya cukup untuk membuatku terlihat seperti orang putus asa

Well, hatiku memang sedang hancur berantakan saat ini, tapi hidupku haruslah tetap tertata rapi. Sudah ku putuskan untuk tidak memaksakan diri dan berusaha perlahan-lahan menganggap Rayyan sebagaimana mestinya. Aku tahu itu sulit, tapi tidak ada yang tidak mungkin jika aku mau berusaha, kan?

Kembali ke realita, Fara! Itu lah yang langsung terlintas dalam benakku begitu membuka mata di pagi hari. Aku harus menyelesaikan kekacauan yang sudah kubuat kemarin. Tentunya dengan menghubungi Mas Rayhan yang sudah menolongku dan ku buat repot seharian kemarin.

Butuh sekitar tiga menit lamanya menunggu teleponku dijawab.

"Halo? Dengan Mas Rayhan?"

"Ya, saya sendiri."

"Selamat pagi. Mas. Saya Fara, orang yang menabrak mobil Mas kemarin."

"Ya."

"Saya mau ganti rugi untuk tabrakan kemarin, Mas. Kalau Mas ada waktu, tolong kirimkan nomor rekeningnya ke kontak WhatsApp saya, ya," pintaku.

"..." Tidak ada jawaban.

Apa dia baru bangun tidur, ya? Terkaku dalam hati karena tak kunjung mendapat respon, juga suara pria itu yang terdengar lebih serak dari yang kuingat. Saat kulirik jam yang bertengger manis di nakas samping tempat tidurku, ternyata baru jam empat pagi!

Ya Tuhan! Aku ini kenapa sih?! Apa aku terlalu bersemangat mengawali hari ini atau apa?! Sampai lupa memeriksa jam saat bangun tadi. Aku pasti baru saja mengganggu tidurnya.

"Ma-mas, sepertinya saya menelepon di waktu yang tidak tepat, ya? Maaf, Mas, saya tidak melihat jam. Akan saya hubungi lagi jam delapan pagi nanti, ya, Mas. Sekali lagi, saya minta maaf." Aku langsung mengakhiri panggilan.

Bagus, Fara. Di saat kamu telah meniati hati dengan niat baik memperbaiki kekacauan yang kamu buat, kamu justru memulainnya dengan langkah yang salah! Sepertinya jika aku terus begini, bisa-bisa aku akan membenci diriku sendiri

***

Pemandangan baru yang nyaris ku lihat setiap pagi dalam kurun waktu satu bulan ini—tapi tak kunjung membuatku terbiasa—adalah melihat Om Bayu dan Rayyan sudah stand by di meja makan rumah kami karena undangan Mama untuk sarapan bersama. Mama dan Om Bayu memang perlahan akrab seiring kuatnya ikatan persahabatanku dengan Rayyan. Apalagi saat SMA kami memutuskan untuk masuk ke satu sekolah yang sama. Om Bayu seolah jadi kerabatku sendiri karena sering menolong kami ketika keluargaku dilanda musibah dan sebagainya. Siapa sangka jika akan tumbuh rasa lain di hati pria itu untuk Mama begitu pun sebaliknya?

Sewaktu SMA dulu, Rayyan pernah bertanya padaku, bagaimana perasaanku jika suatu saat Mama jatuh cinta lagi pada pria lain? Jujur saat itu aku marah pada Rayyan karena berani menanyakan sesuatu yang bahkan tidak pernah ku bayangkan sebelumnya. Sepertinya itu adalah pertama kalinya aku marah besar pada seseorang hingga mengabaikan Rayyan yang memohon maaf padaku dengan secorong es krim tiap pulang sekolah selama beberapa hari lamanya.

Mungkin saat itu aku memang masih labil dan tidak mau Mama mencintai pria lain selain almarhum Papa. Tapi, saat suatu sore tanpa sengaja aku melihat Mama dan Om Bayu tertawa bersama entah tengah membicarakan apa, aku menyadari bahwa Mama telah lama kehilangan tawanya. Sama seperti aku yang telah berduka lama karena kehilangan figur pria paling sempurna dalam hidup, Mama bahkan kehilangan cinta dan belahan jiwanya. Jadi, punya hak apa aku melarang Mama mengembalikan senyumnya? Setidaknya dari foto-foto Papa yang masih amat sering Mama lap bersih dengan air matanya sendiri hingga kini, aku tahu Papa memang takkan tergantikan. Papa akan selalu menjadi cinta sejatinya. Saat ini, Mama hanya ingin merasakan kebahagiaan baru dan tersenyum bebas seperti dulu. Sebagai anak, aku akan selalu berdiri di belakangnya. Menjadi penyemangat dan pelengkap senyumnya.

Aku memang harus membiasakan diri dengan kehadiran Om Bayu dan Rayyan sebagai calon keluarga baruku, tapi sepertinya butuh waktu cukup lama, setidaknya bagiku.

Jreng!

Suara petikan gitar tiba-tiba saja mengalihkan perhatian semua orang di meja makan padaku. Membuatku yang semula melamun kebingungan.

"Kenapa, Ma?"

"Hp-mu bunyi tuh," ucap Rayyan.

Oh, benar juga. Itu, kan, suara notifikasi hp-ku.

"Halo?" sapaku cepat tanpa sempat melihat nama penelepon.

"Anda terlambat lima belas menit."

Hah? Apaan sih ini?

"Maaf, terlambat apa, ya?"

"Anda bilang akan menghubungi saya jam delapan pagi."

"O-oh, ya. Maaf, Mas. Saya lupa," kataku tak enak hati seraya mengangkat pergelangan tangan untuk melihat jam. Sekarang jam delapan lewat enam belas menit. Tepat waktu sekali orang ini. Padahal aku tidak bermaksud meneleponnya jam delapan tepat. Yah, aku bahkan nyaris melupakannya. Bisa-bisa aku meneleponnya sore nanti kalau pria itu tidak menelepon.

"Hm ... seperti yang saya katakana tadi, Mas. Saya mau ganti rugi kerusakan mobil Mas. Jadi, Mas tinggal kirimkan saja nomor rekeningnya ke kontak saya."

"Oke, kalau begitu akan saya kirimkan nomor rekening beserta nominal biaya perbaikannya."

"Baik, Mas. Terima kasih."

"Ya." Kali ini panggilan diakhiri oleh pria itu.

"Siapa, Ra?" tanya Mama meja penasaran. Padahal Mama pasti sudah mendengarkan sejak tadi.

"Orang yang mobilnya Fara tabrak," jawabku setengah meringis karena malu.

"Cowok?" tanya Rayyan.

"Iya. Kemarin sore kan sudah ku bilang kalau yang kutabrak mobilnya Mas-Mas. Barusan juga aku panggil 'Mas', kan?"

"Lain kali hati-hati, dong, Ra," nasihat Mama.

"Iya, Ma."

"Orang yang kamu tabrak mobilnya itu kira-kira baik gak orangnya? Kalau kamu gak keberatan, biar Om yang bayarkan biaya perbaikannya," tawar Om Bayu.

"Eng-enggak usah, Om," tolakku cepat. Ini adalah masalahku. Aku tidak ingin menyusahkan orang lain, meskipun orang itu sebentar lagi akan menjadi Papa sambungku.

"Lagipula, Masnya baik banget kok. Buktinya kemarin Fara ditunggui selama pingsan di UGD dan diantar pulang," lanjutku sebelum situasi berubah tak enak karena penolakanku barusan.

Hanya saja, aku harus dibuat terbengong-bengong oleh pertanyaan Mama berikutnya.

"Orangnya ganteng, gak?"

Sementara alis Rayyan menukik tajam menunggu jawabanku, entah karena penasaran atau tidak suka. Aku tidak tahu. Dia memang cukup protektif terhadap pergaulanku terutama dengan lawan jenis.

"Ih, Mama nanya apaan, sih? Orangnya ganteng. Tapi, ya, kan urusan kita kelar setelah aku bayar ganti rugi aja."

"Oh ... Mama, kan, gak bilang apa-apa lagi. Siapa tahu gitu ... berjodoh," ucap Mama dengan nada bicara yang membuatku gemas bukan main.

Om Bayu hanya tersenyum tipis menanggapi keusilan Mama, sementara Rayyan masihlah berekspresi sama.

"U-udah, ah. Yuk, lanjut makan aja."

"Dih, ada yang gugup, nih."

"Please, deh, Maa ...." erangku mulai sebal membahas ini.


***


Selalu ada harapan yang ku panjatkan dalam setiap langkahku mengawali hari. Terutama saat cuaca cerah seperti hari ini. Aku berharap pelanggan yang datang ke Bakery Garden semakin banyak dan banyak ide-ide kue baru yang dapat ku buat. Harapanku sederhana, kan? Terlebih di masa-masa terberatku kurang satu bulan ke depan, aku berharap hariku berjalan dengan baik tanpa kendala berarti. Aku harus memiliki pengalih perhatian kalau tidak ingin terpuruk karena patah hati.

Untukku saat ini, mendapatkan hari-hari tenang menjelang pernikahan Mama saja sudah merupakan suatu kemewahan yang baru kali ini benar-benar aku harapkan selama eksistensi hidupku. Plus, dapat merelakan Rayyan bersama perempuan lain. Tapi, sepertinya semakin kita mengharapkan suatu kemewahan, semakin sulit pula kemewahan itu kita raih. Yang kuharapkan hanya lah hari-hari tenang, tidak lebih. Tapi, seolah itu masihlah terlalu mewah untuk aku dapatkan, yang kudapati saat membuka pintu Bakery Garden justru adalah awal kekacauan yang selalu kuhindari.

Toko tampak sepi padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Dan keenam pekerjaku tampak frustasi duduk mengelilingi meja pelanggan. Bahkan Bagas, pekerja part time yang rencananya akan bekerja full time selama liburan sekolahnya itu tampak menangis sembari ditenangkan oleh para pekerja yang lain.

"Ada apa ini?" tanyaku yang langsung membuat mereka semua berdiri dari duduknya.

"Kak Fara ...," rengek Ayu, Mita dan Sri bersamaan padaku. Ketiga gadis itu bahkan kini benar-benar menangis seraya berhambur memelukku.

"Loh, kalian kenapa, sih? Dit, Tom, ini Ayu, Mita, dan Sri kenapa? Kamu juga kenapa lagi, Gas? Ini toko kenapa sepi banget lagi? Tumben."

Adit dan Tomy yang masih bisa mengendalikan emosi tampak saling tatap dengan raut serba salah, hingga akhirnya Tomylah yang memberanikan diri menjawab seluruh pertanyaanku.

"Kak, sebenarmya ...."

Entah mengapa firasatku jadi tidak enak.


***


"Kak, sebenarnya, bertepatan setelah Kakak pulang lebih awal kemarin siang, Bambang Asik datang ke toko kita, terus dia pesan menu kue termahal kita sambil siaran langsung—"

"Tunggu dulu, Tom. Bambang Asik itu siapa?" tanyaku.

"Kakak gak kenal dia?" Tomy tampak terkejut aku tidak mengenal orang yang dipanggil Bambang asik itu

"Enggak," jawabku. Memangnya siapa orang itu?

"Dia itu selebgram yang sempat tenar karena video traveling dan tik toknya. Tapi sekarang udah gak tenar lagi, sih, sejak terjadi adu mulut sama selebgram lainnya kaena prihal konten," jawab Tomy.

"Terus?"

"Dia komentar jelek soal kue-kue kita di acara siaran live-nya. Dan videonya sekarang lagi viral, Kak. Sepertinya itu juga penyebab kenapa toko kita sepi sekarang," lanjut Tomy.

Penjelasan Tomy beberapa menit lalu masih membuatku termenung di ruangan kecilku di lantai dua toko. Aku masih bisa mendengar kasak-kusuk cemas dari balik pintu ruanganku, tapi tak tahu bagaimana harus bertindak untuk menenangkan mereka yang khawatir pekerjaan satu-satunya terancam bangkrut hanya karena ucapan asal seorang influencer desperate yang kehabisan ide untuk membuat konten.

Tenang, Fara ... memangnya seberapa lama berita tidak bermutu seperti itu akan diingat oleh masyarakat? Pertama-tama, ayo kita laporkan dulu influencer tidak bermutu itu atas pencemaran nama baik toko, lalu ... lalu ...lalu apa, ya?

Aku berharap bisa menghadapi semua ini tanpa air mata setetes pun. Tapi tak bisa. Bagaimana aku bisa meyakinkan para pekerjaku kalau ini semua hanya akan berlalu dalam beberapa hari saja dan toko tidak akan merugi? Suara bel pintu tanda pembeli datang saja belum terdengar lagi sampai sekarang sejak aku melangkahkan kaki memasuki toko. Bagaimana aku mengatasi semua kekacauan ini? Aku butuh saran dan arahan saat ini. Ku harap Rayyan bisa kumintai saran dan petunjuk.

"Halo, Ray?"

"Halo?"

Loh, ini kan suara Vanya?

"Ehm ... ini dengan Vanya, ya?" tanyaku berusaha tetap ramah meskipun pikiran tengah kalangkabut.

"Iya, Ra. Ada perlu, ya, sama Rayyan?"

Apa mereka sedang bersama saat ini? Apa aku baru saja mengganggu?

"Oh ... gak penting-penting amat, sih, Nya. Nnanti lagi aja, deh aku hubungi dia. Sorry kalau ganggu, ya, Nya."

"Santai aja, Ra. Gak ganggu, kok."

"Oke. Bye."

"Bye."

Oh, jadi begini ya rasanya kehilangan cinta pertama dan juga sahabat di saat yang bersamaan? Menyesakkan sekali. Sekarang aku harus bagaimana? Tidak mungkin aku memberi tahu Mama dan membuatnya cemas. Menghubungi Om Bayu pun bukan pilihan yang tepat. Bisa-bisa bukannya memberi petunjuk dan saran, pria baik hati itu malah memberikanku toko yang baru mengingat betapa royalnya Papa Rayyan itu. Lagipula, aku sangsi Om Bayu dapat menjaga rahasia ini dari Mama.

"Kak?" Suara Bagas yang menyembulkan kepala dari celah pintu ruangan mengalihkan perhatianku dari layar ponsel yang sudah mati sejak beberapa saat lalu.

"Masuk, Gas," titahku setalah menetralkan ekspresi. "Duduk."

"Kenapa, Gas?" tanyaku pura-pura tak tahu apa yang akan ditanyakan remaja tanggung itu.

Bagas tampak ragu untuk berbicara, tapi setelah beberapa kali melirik antara aku dan pintu ruanganku yang menyisakan celah, ia akhirnya bersuara.

"Be-begini, Kak. Saya diminta sama yang lain untuk mewakili bertanya ke Kak Fara. Bakery Garden gak akan bangkrut, kan, Kak, hanya karena video viral itu?"

Lihat selengkapnya