ADA satu kesalahan yang tak ingin kuulangi untuk kedua kalinya. Menaruh kepercayaan seutuhnya pada seseorang yang salah. Entah takdir macam apa yang mempertemukanku kembali dengan orang ini. Tapi yang pasti, jelas ini tidak lucu.
Saat ini saja rasanya wajahku kaku seketika. Berbanding terbalik dengan pria di hadapanku yang masih memasang senyum lebarnya.
"Apa kabar, Far? Udah lama banget, ya? Hm ... sembilan tahun?" tanyanya sok akrab seraya mengeluarkan tart kecil dari kotak dan menyendok satu suapan dengan garpu plastik yang memang kusertakan di dalamnya.
Aku masih terdiam. Sebagian dari diriku berharap sosok di hadapanku ini bukanlah Rayhan Rahandika yang pernah kukenal dulu. Tapi, kini bahkan hanya dengan melihat caranya mengunyah kue saja aku langsung dapat mengenalinya. Dia benar-benar si brengsek itu.
"Kok diam?"
"Aku mau pulang," ujarku pelan seraya bangkit dari duduk dan meraih tas tangan yang tersampir di sandaran kursi—berniat pergi dari hadapannya secepat mungkin.
"Kamu masih sama seperti dulu ya. Childish."
Childish dia bilang?
Langkahku terhenti di tempat dan dengan emosi tersulut kembali melangkah ke hadapannya. "Lebih kekanakan mana sama Kakak yang terus pura-pura jadi orang asing selama beberapa minggu ini, kemudian sok-sokan mengejutkan aku seperti ini?"
Dia hanya tersenyum dan mengangkat kedua bahunya tak acuh. "Memangnya salah aku, kalau kamu gak bisa mengenaliku yang sekarang? Dan lagi, aku gak berpura-pura jadi orang asing. Saat kita bertemu lagi di kecelakaan waktu itu aku gak menyamarkan namaku, kan? Bahkan aku yang memberitahu namaku lebih dulu tanpa kamu minta."
Aku benci mengakuinya. Tapi, sama seperti dulu, perkataannya selalu benar. Aku tidak pernah bisa menang dalam mendebatnya.
"Seharusnya aku yang kecewa dan kesal karena butuh waktu lama untuk kamu mengenali aku. Ternyata aku memang gak pernah jadi orang penting, ya, dalam hidup kamu."
Untuk beberapa saat, aku terdiam hanya karena sorot kecewa yang tersirat dari sepasang mata abu tua di hadapanku. Dia salah. Dia pernah menjadi seseorang yang berarti bagiku. Bahkan dia hampir sama pentingnya dengan Rayyan. Andai saja dulu dia tidak melakukan kesalahan 'itu' padaku, saat ini kami pasti bisa melepas rindu layaknya sahabat pada umumnya. Sayangnya tidak bisa.
Kak Rayhan menghembuskan napas kasar dan kembali mengambil garpu. "Setidaknya selesaikan dulu urusan kita kalau kamu gak mau dikatai kekanakan. Itu yang biasanya dilakukan orang dewasa, kan?"
"Kakak tahu sendiri gimana perasaan aku ke Kakak saat ini. Masih sama dengan sembilan tahun lalu. Saat Kakak tiba-tiba pergi tanpa pemberitahuan setelah melakukan itu ke aku. Aku marah."
Kak Rayhan kembali meletakkan garpunya. Menengadah membalas tatapan mataku dan melipat kedua tangan di depan dada, sementara punggungnya bersandar pada kursi yang didudukinya. Gesturnya tampak santai, namun tidak dengan tatapannya.
"Bahkan meskipun sebesar itu kemarahanmu padaku. Bertahanlah untuk sebentar saja. Kita masih punya urusan. Kamu tahu jelas betapa perhitungannya aku, kan? Aku gak akan melepaskan uuang puluhan juta rupiah hanya karena kita teman lama atau aku punya salah sama kamu di masa lalu. Jadi, duduk."
Meskipun enggan, dengan patuh akupun kembali duduk. Berharap urusan kami segera selesai. Meskipun rasanya mustahil mengingat aku berniat menyicil hutangku padanya. Tak disangka, topik pertama yang dibicarakannya malah benar-benar melenceng jauh soal utang piutang kami.
"Gimana hubungan kamu dengan Rayyan sekarang?"
"Kenapa jadi bahas itu?"
"Jawab aja."
"Kami baik-baik aja. Kami sepakat untuk melupakan kejadian sembilan tahun lalu." jawabku dingin. Berharap ia mengerti kalau apa yang dilakukannya dulu nyaris merusak hubunganku dan Rayyan.
"Syukurlah. Tapi, sepertinya kalian gak berjodoh ya."
"Maksud Kakak apa?" tanyaku ketus.
Kenyataannya memang benar begitu. Cintaku tak berbalas. Bahkan ironisnya kami akan segera menjadi saudara. Tapi tetap saja jika diucapkan dengan jelas aku semakin merasa cintaku hanya angan-angan saja selama ini. Sakit.
Tidak dulu, tidak sekarang, Kak Rayhan selalu saja memiliki cara untuk mengucapkan kebenaran dengan cara yang paling menyakitkan juga menyebalkan. Kesan baiknya hampir luruh dari ingatanku selama sembilan tahun terakhir. Padahal sepertinya ada banyak hal pada dirinya yang berhasil membuatku membuka hati dan mempercayainya dulu.
"Kamu gak kasih kalimat penjelas. Baik-baik aja itu kalian udah pacaran atau menikah. Padahal dulu kamu selalu mengatakan segala sesuatu dengan lengkap. Terkesan cerewet dan berisik," tambahnya membuatku kian gondok dan diam-diam melotot ke arahnya yang terus saja fokus makan
Bahkan setelah hampir sepuluh menit berlalu sejak kalimat terakhirnya, Kak Rayhan masih saja menyuap tart buatanku dengan tenang sementara ekor matanya sesekali melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya dan ke arah lain. Entah dia sedang ada janji lain atau memperhatikan apa di sela-sela kegiatan makannya.
Aku jadi bertanya-tanya, apa dia sengaja membuang-buang waktuku hanya untuk menungguinya makan kue? Aku semakin jengah saja dibuatnya.