Rintik hujan makin terasa sedih terus turun basahi bumi, malam seraya makin mencekam beselimut kabut gelap. Pepohonan terasa bahagia terus termandikan rintik hujan malam, pasti dia kian terasa bahagia sekujur seriang relung nadi sampai akarnya.
Angin makin bertiup kencang terasa basah bercampur dingin menggerakan dedaunan terusik tidurnya. Jalanan sudah basah tergenang air bermain dengan rumput kecil terasa riang bahagia mendapatkan siraman air surgawai membasahi sekujur lekukan relung daunnya.
Malam panjang terasa tidak akan pernah tergantikan siang, sinar cahaya bulan seraya tertutup segumpalan awan hitam. Tidak adanya pijaran miliran bintang dilangit malam, jalan terasa gelap berselimut kabut pekat malam. Tidak ada yang berani siapapun, apalagi suara binatang malam bersautan sekedar memberitahukan keberadaannya sebagai binatang penghuni malam.
Sorotan wajah seram tersirat dari dua mata, seraya tidak sama sekali terpejam. Wajahnya kian basah dan sekujur bajunya juga lepek basah karena rintik air hujan. Dua kaki bertelanjang terus menapaki jalan setapak, yang kian tergenang rintik air hujan.
Makin tajam dan seram sorot dua matanya, seraya tidak pedulikan terpaan kencang angin dan hembusan angin basah dingin. Dia terus berjalan, tidak tahu kemana dan seraya sedang mengejar seseorang di depan sana hanya kelihatan gelap, tampak silau ujung pisau seraya mengulik mencekam ingin menusukan pada siapa dalam genggaman.
"Gua, harus selematkan boneka ini. Tapi kemana?"
Terjatuh gadis, sekujurnya basah lepek. Dia seakan ketakutan raut wajahnya, sekujur tubuhnya terbalut kaos putih dan celana hitam pendek juga sudah basah kuyup rintik air hujan. Sambil memeluk boneka, tapi wajah boneka tetap tersenyum dalam kehangatn pelukan gadis yang malam itu seperti sedang ketakutan dan terancam.
Sekali dua kakinya akan beranjak bangun, dia terjatuh lagi karena jalanan makin licin. Tidak ada siapa, tidak bakalan ada yang menolong dia. Semakin tercekam ingin menjerit minta tolong juga percuma, pelan dan pelan dua kakinya merangkak untuk berdiri. Dia kini bisa berdiri sambil perhatikan sekitar hanya ada gelap mencekam basah berselimut kabut pekat malam.
Rintik air hujan makin turun deras, makin bikin dingin berselimut ketakutan. Celana pendek hitam dan kaos putih sudah kian basah, tidak lagi bisa menghangatkan pemilik tubuh langsing itu. Lantas dia kembali berlari, tidak akan pernah di lepaskan boneka dalam pelukan hangatnya.
Makin cepat derap langkah kaki berjalan, sekujur daster merah tua sudah basah kuyup, tetap saja genggaman erat gagang pisau tidak pernah akan terlepas dari jemari tangan kanannya. Wajah makin basah tidak tampak jelas siapa dia, hanya tergurat rasa amarah pada wajahnya dan ingin sekali ujung tajam pisau itu, yang dia bawanya cepat terhunus.
"Uahhhhhh ..." teriak ketakutan tidak jadi berjalan kedepan.
Mundur dan makin ketakutan, karena dia hanya sendirian saja seraya tercekam mengundang kematian ketika ujung pisau makin mendekatinya.
"Gletarrrr ..." suara kilat menyambar.
"Lioni, berikan boneka itu pada Ibu!" maju melangkah seraya memaksa.
Makin mundur makin terdesak tidak tahu harus kemana lagi gadis terancam itu bernama Lioni, melangkah, di belakangnya hanya ada jurang yang curam sekali. Tidak mungkin dia melompat hanya demi menyelamatkan boneka kesayanganya itu, dari wanita yang mengaku bila dia adalah Ibunya.
"Cepat berikan boneka itu pada, Ibu!" pinta paksa berapa kali mengarahkan ujung pisau.
Terlihat tatapan seram basah wajah wanita yang berkali-kali mencoba menghujamkan ujung pisau pada Lioni berapa kali juga dia menghindar.