"Sederhana namun romantis adalah ketika kamu dan dia berada dalam satu ruang yang sama dan menghadap kiblat yang sama dengan doa yang sama, dalam satu ikatan halal."
🕊️🕊️🕊️
Pagi-pagi sekali, Lara sudah selesai membersihkan rumah serta memasak dengan dibantu Bi Mira. Perempuan itu begitu semangat karena hari ini ia akan mengunjungi rumah orang tuanya. Pandangannya tertuju pada meja makan yang telah dipenuhi dengan beberapa menu sarapan. Ada bubur ayam, sandwich, susu hangat, serta buah-buahan sebagai pencuci mulut.
"Huft, akhirnya selesai." Lara langsung mencuci tangannya dan beranjak ke kamar untuk membersihkan diri.
Lara sudah selesai membersihkan diri. Saat sedang menuruni tangga, Lara dibuat terkejut ketika berpapasan dengan Imran yang hendak menuju ke kamarnya. Bagaimana tidak? Laki-laki itu baru saja pulang setelah sejam lalu berpamitan untuk joging. Dengan santainya, laki-laki itu berjalan dengan kaus yang ia tanggalkan di pundak. Perutnya sixpack, belum lagi, buih-buih keringat yang mengalir di pelipisnya membuat Imran terlihat semakin tampan.
Astaghfirullah, Lara. Apa yang kamu pikirkan? rutuknya dalam hati.
Sebenarnya, Imran menyadari tingkah Lara yang gugup. Namun, ia hanya diam dan meneruskan langkahnya tanpa melirik sedikit pun. Sedangkan Lara cepat-cepat membuang pandangannya.
Beberapa saat kemudian, Imran muncul dengan baju santainya. Ia langsung duduk di depan Lara tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Perempuan itu tidak masalah, karena menurutnya itu lebih baik daripada harus berdebat di pagi hari.
"Mas, nanti siang aku izin mau ke rumah ayah," ungkap Lara setelah mengumpulkan keberaniannya.
Respon Imran hanya sebuah dehaman singkat membuat Lara sedikit kecewa. Padahal, ia sangat berharap Imran ikut bersamanya. Apalagi, sudah sangat lama mereka tidak berkunjung ke sana.
"Mas, em... Mas Imran enggak mau nemenin Lara ke sana?" cicitnya pelan. Ia takut membangkitkan amarah Imran.
"Aku sibuk," Imran menyahut dengan singkat.
"Oh, ya udah. Lara berangkat sendiri." Lara tersenyum kecut. Untuk apa juga ia menanyakan sesuatu yang ia sudah tahu jawabannya? Dirinya terlalu berharap sampai lupa bahwa hal itu tidak mungkin terjadi.
🕊️🕊️🕊️
Sayang. Jadi ke rumah, kan?
Sudut bibir Lara tertarik ke atas saat layar ponselnya menyala dan menampilkan sederet pesan dari Ayu. Ia sudah tak sabar untuk bertemu dengannya. Usai mengetik balasan untuk bundanya, Lara menoleh ke jendela sebentar. Beberapa menit lagi, ia akan sampai di rumah sederhana bergaya klasik yang menjadi saksi kehidupannya sejak kecil.
Sepintas, ia melihat sebuah warung makan sederhana yang terletak di pinggir jalan. Lara tersenyum masam, ingatannya berputar pada awal pacarannya dengan Irza. Dulu, mereka sangat sering mampir ke warung makan itu untuk mengisi perut usai pulang dari sekolah.
"Sudah sampai, Neng," kata supir taksi itu, menyadarkan Lara dari lamunannya.
"Astaghfirullah," gumam Lara seraya mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih, Lara segera turun dari taksi dan berjalan cepat ke arah gerbang. Ia menautkan alis sebelahnya saat melihat pintu gerbang yang terbuka lebar. Tumben sekali, pikirnya.
"Loh, Neng Lara?" Pak Norman—satpam rumah—berjalan cepat menghampiri Lara. Ia terlihat begitu senang dengan kedatangan Lara di rumah itu.
Perempuan itu menghentikan langkahnya sebentar dan tersenyum lebar. "Pak Norman? Bapak gimana kabarnya?" tanyanya.
"Alhamdulillah, baik. Neng ke sini sama siapa?”
"Sendiri, Pak. Ya, udah. Lara ke dalam dulu ya, Pak?" ucap Lara.
Lara kembali melanjutkan langkahnya. Sesampainya di depan pintu, ia terus mengetuk pintu berkali-kali dengan mengucap salam. Namun, tidak ada sahutan sama sekali. Akhirnya, Lara memutuskan untuk langsung masuk. Sepi. Itulah suasana yang menggambarkan rumah orang tuanya.
Saat sampai di ruang keluarga, ia dikejutkan dengan keberadaan Irza di rumahnya. "Irza? Kamu ngapain di sini?"
Ayu muncul dari tangga dan menyahut, "Tadi Bunda kecopetan, terus ada Irza yang nolong Bunda."
Lara semakin terkejut. "Astagfirullah. Tapi, Bunda enggak apa-apa, kan?"