"Acap kali kita merasa bahwa Allah tidak adil pada hidup yang kita jalani. Menutup mata ketika Allah beri semua nikmatnya. Namun, membuka mata ketika Allah beri satu cobaan. Jadi, di mana letak rasa syukur itu?"
🕊️🕊️🕊️
Aku enggak mau tahu, pokoknya antar aku ke butik. Masa iya fitting baju sendirian, sih?
Imran menghela napas kasar ketika mendapati pesan dari Arini. Namun, mau bagaimana lagi? Arini benar, mana mungkin fitting baju sendirian?
Lara menyadari tingkah Imran yang seperti sedang kebingungan. Namun, ia tak berani bertanya. Sampai Imran memperlambat laju mobilnya, barulah Lara tersadar.
"Kamu bisa pulang sendiri, kan? Aku udah pesan taksi buat kamu. Aku ada urusan yang lebih penting," ucap Imran setelah menepikan mobilnya tepat di pinggir jalan sepi.
Tentu saja hal itu mengundang tatapan penuh tanda tanya dari Lara. Apakah laki-laki itu gila membiarkannya sendirian di jalan sepi tanpa ada satu pun kendaraan yang berlalulalang?
"Tapi, Mas—"
"Aku enggak ada waktu, La. Sepuluh menit lagi taksinya datang. Silakan turun," potong Imran tanpa mempedulikan raut wajah Lara yang kecewa.
Dengan terpaksa, Lara membuka kenop pintu mobil dan keluar dari sana tanpa mengatakan sepatah kata pun. Isak tangisnya mulai terdengar ketika mobil yang dikendarai Imran mulai melaju meninggalkannya. Sambil menunggu taksi yang dipesan oleh Imran, Lara mulai melangkah menyusuri jalan dengan pepohonan rimbun di setiap pinggirnya.
Lara mendongakkan kepalanya menghadap ke langit. Ya Tuhan, bahkan langit saja hampir tak terlihat saking rimbunnya pepohonan di sini. Embusan angin yang kencang cukup membuat tubuhnya kedinginan. Sudah sepuluh menit lebih ia berjalan tanpa ada satu pun orang yang lewat. Apakah Imran baru saja membohonginya? Mana taksi yang sudah Imran pesankan untuknya? Langkahnya seketika terhenti ketika dari depan sana muncul sebuah motor yang dinaiki oleh dua orang bertopeng, baju dan celana jins yang robek-robek dengan beberapa tatto di bagian lengan atasnya. Motor itu semakin mendekat ke arahnya membuat Lara berangsur mundur dari pijakannya.
Ya Allah, selamatkan aku, batinnya.
Dalam hitungan ketiga, Lara berlari sekencang-kencangnya. Sudut matanya mulai berair karena ketakutan. Dua orang itu tertawa lepas mengejar Lara. Salah satu dari mereka membawa celurit yang membuat Lara semakin ketakutan.
"Tolong...!" pekik Lara berharap ada seseorang yang datang membantunya.
Salah satu orang itu turun dari motor dan mencekal tangan Lara. Lara berusaha menepis tangan kotor itu. Akan tetapi, cengkramannya begitu erat, sampai Lara meringis kesakitan.
"Mau ke mana, Cantik? Sama Aa aja, yuk?" ucap preman itu dengan gelak tawa yang menyeramkan bagi Lara.
"Saya mohon, lepasin saya."
Seseorang yang masih di atas motor pun ikut turun. Ia berjalan mendekati Lara sambil menatap Lara dari atas sampai ke bawah. Hal yang membuat Lara menangis histeris adalah ketika orang itu mencondongkan kepalanya hendak mencium Lara.
Bugh!
Bugh!
Dua orang paruh baya terus memukuli dua preman itu dengan kayu yang cukup besar. Celurit yang sebelumnya dipegang oleh preman itu kini telah berpindah tangan. Mereka meminta ampun berkali-kali.
"Cepat masuk ke mobil, Neng."