"Jika sampai saat ini kamu masih mampu bertahan, maka bertahanlah. Sampai Tuhan yang memintamu untuk berhenti."
🕊️🕊️🕊️
Perasaan khawatir menyergap Imran saat dirinya pulang dan tak mendapati Lara di rumah. Saat dihubungi pun, ponselnya tidak aktif. Tentu saja hal itu membuat kecemasannya semakin bertambah. Apalagi, ini sudah larut malam.
Imran langsung berdiri tegak saat mendengar ketukan dari pintu utama. Dengan langkah tergesa-gesa, ia bergegas membukakan pintu. Berharap bahwa yang mengetuk pintu adalah Lara.
"Kamu—"
"Selamat malam, Pak," sapa Pak Daud ramah.
"Malam," balas Imran singkat. Manik matanya masih terfokus pada Lara yang berdiri kaku di samping pria paruh baya itu. Imran mengembuskan napas lega setelah memperhatikan Lara dari atas sampai ke bawah, dan tak mendapati luka sedikit pun di tubuhnya.
Pak Daud menjelaskan tentang alasan Lara baru pulang selarut itu. Beliau begitu detail dalam menjelaskan setiap peristiwa yang menimpa Lara, yang jujur saja hal itu cukup mengejutkan Imran.
"Terima kasih, Pak. Saya benar-benar berhutang budi pada Bapak."
Imran mengeluarkan dompet dari saku celananya, kemudian mengambil beberapa lembar uang. "Ini, Pak. Mohon diterima. Anggap saja ini balasan dari saya karena Bapak sudah menolong istri saya," ucapnya seraya meraih tangan kanan Pak Daud dan meletakkan uang itu di tangannya.
"Tapi, Pak—"
"Saya ikhlas, Pak. Ini rezeki dari Tuhan, enggak baik kalau ditolak," potong Imran.
Akhirnya, Pak Daud mau menerima uang itu dan izin pamit setelah berucap terima kasih. Imran dan Lara langsung masuk dan menutup pintu. Baru saja Lara hendak melangkahkan kakinya menuju kamar, ia dikejutkan dengan aksi Imran yang tiba-tiba merengkuhnya dari belakang. Lara dapat mendengar dengan jelas irama degup jantung Imran yang begitu cepat, sama sepertinya.
"Maaf."
Lara terdiam. Ia tidak salah dengar, bukan? Imran meminta maaf padanya?
"Seharusnya, aku enggak biarin kamu pulang sendirian. Aku berusaha nyari kamu. Tapi, enggak ketemu."
Sudut bibir Lara tertarik ke atas membentuk seulas senyum manis. Ia senang, setidaknya Imran masih memiliki sedikit rasa peduli padanya. Meski ia tahu, hal itu tidak akan berlangsung lama. Ia semakin mempererat pelukannya saat Imran mulai merenggangkan tangannya.
"Sebentar aja, Mas. Lara mau peluk Mas Imran, sebelum semuanya semakin berubah dan Mas Imran semakin sulit aku gapai.”
Hati Imran mencelos, ia tidak tahu harus melakukan apa. Ia hanya diam, sampai akhirnya lengan kekar itu melingkari pinggang Lara dan mendekapnya dengan erat.