Luka & Lara

Hana Lestari
Chapter #3

BAB 2

                 

"Membuka lembaran baru, itu artinya aku juga harus siap menerima segala kemungkinan yang terjadi. Entah itu berakhir bahagia atau kembali terluka."  

                          🕊️🕊️🕊️

Lara menatap rumah besar di depannya. Rumah itu dikelilingi pagar yang menjulang tinggi. Di sisi kiri, terdapat garasi yang cukup untuk lima mobil. Sedangkan di sisi kanan terdapat taman dengan bunga-bunga cantik di sekitarnya. Membuat setiap pasang mata yang memandangnya merasa adem. Apalagi terdapat kursi kayu juga ayunan yang membuat siapa pun betah berlama-lama di sana. Setelah resepsi pernikahannya kemarin, Imran dan Lara memutuskan untuk langsung pindah ke rumah yang baru Imran beli. Menurut Lara, rumah yang baru dibeli Imran terlalu besar. Apalagi mereka hanya tinggal berdua. Namun, perempuan itu tak berani berkomentar. Toh, rumah itu dibeli dengan uang Imran sendiri.

Lara menarik kopernya dengan kesusahan, ia membawa banyak barang dari rumahnya. "Mas Imran, bisa bantu aku bawa kopernya? Tanganku keram."

Bukannya membantu, laki-laki itu malah melayangkan tatapan tajamnya, membuat Lara takut. "Aku enggak suka direpotkan. Suruh siapa bawa barang sebanyak itu," tukasnya dengan nada sinis.

Tanpa belas kasihan, Imran berjalan mendahului Lara yang terus memijit jari-jarinya yang keram. Lelaki itu bahkan tidak peduli sama sekali padanya. Lara mengembuskan napasnya lelah. Mungkin, mulai sekarang ia harus terbiasa melakukan apa pun sendiri, tanpa bantuan siapa pun. 

Rasanya, ia ingin menangis. Andai saja ia menikah dengan Irza, tentu laki-laki itu akan dengan senang hati membantunya. Irza tidak akan membiarkan dirinya kelelahan seperti ini.  

Dulu, Lara selalu berimajinasi tentang pernikahannya yang indah. Ia juga berdoa agar berjodoh dengan Irza. Bahkan, ia membayangkan saat ia menjadi seorang istri yang terbakti kepada sang suami. Saling berbagi kasih hingga rumah terasa seperti surga. Ya, itu semua hanya halusinasi belaka. Karena nyatanya, kehidupannya yang sekarang berbanding terbalik dengan apa yang ia bayangkan.  

Yang membedakan saat ini adalah Lara yang mencoba berdamai dengan takdirnya. Ia memutuskan untuk menerima pernikahan itu. Ia akan berusaha untuk menjadi seorang istri yang baik agar Imran dapat menerimanya. Niat itu diawali dengan Lara yang mulai menutup auratnya. Ia masih ingat jelas sebuah hadis yang berbunyi :

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktunya, melaksanakan shaum pada bulannya, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja ia kehendaki.” 

(H.R. Ibnu Hibban dalam Sahihnya)

Dengan tangan yang masih keram, Lara memaksakan dirinya untuk tetap menarik kopernya sampai ke dalam rumah. Lara segera masuk ke kamar yang ia yakini itu adalah kamar Imran. Belum sempat mengistirahatkan tubuhnya, tiba-tiba Imran muncul dari kamar mandi. Ia menatap tajam ke arah Lara yang sedang duduk di pinggir kasur.  

"Siapa yang menyuruh kamu masuk kamar ini?" tanyanya dengan ekspresi dingin. 

Lara menggigit bibirnya takut. "I-ini kan kamar kit—"

Imran tertawa sinis. "Jangan mimpi, aku enggak sudi tidur sekamar sama kamu. Segera keluar dari sini sebelum aku menyeretmu." 

Lara merasa hatinya seperti diremas-remas. Dadanya seolah disayat benda tajam. Ia tak menyangka Imran bisa sekasar itu padanya. Tak ingin membuat laki-laki itu semakin marah, ia bergegas menyeret kopernya keluar dari kamar. Ia mencoba mencari kamar lain untuk ia tempati. Kebetulan, letak kamar itu berada di depan kamar Imran. 

Lara menyandarkan punggungnya di depan pintu yang telah ia tutup. Saat ini tidak ada yang bisa ia lakukan selain menangis. Baru sehari menjadi istri dari Imran Wijaya, hidupnya sudah seperti di neraka. Jujur saja, ia tidak yakin akan sanggup menjalani kehidupan barunya. 

Lihat selengkapnya