"Ketika kamu memandang kata 'luka' sebagai hal positif. Percayalah, bahwa luka itu menguatkan, bukan melemahkan."
🕊️🕊️🕊️
Lara memutuskan untuk duduk di kursi yang tidak jauh dari tempat Imran berdiri saat ini. Laki-laki itu sedang berbincang dengan beberapa tamu undangan. Ia sama sekali tidak menawarkan Lara makanan atau bahkan sekadar memperkenalkan ia pada teman-temannya. Lara tidak masalah. Hanya saja, sejak tadi perempuan itu menahan lapar. Berkali-kali cacing di perutnya berontak ingin segera diisi. Namun, ia tidak berani bicara pada Imran. Ia juga segan untuk mengambil makanan. Rasanya, ia benar-benar ingin pulang sekarang.
Lara juga merasa jenuh. Tidak ada yang ia kenal di sini. Sehingga ia hanya duduk sendiri tanpa teman mengobrol.
Perempuan berhijab itu tersentak ketika seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Saat menoleh, senyumnya langsung mengembang seketika.
"Sayang, sini sama Tante aja. Tante kenalin sama keluarga suamimu yang lainnya," ajak Ira.
Lara melirik sekilas pada Imran. "Tapi, Tante—"
"Ah, udah. Suamimu itu memang menyebalkan. Bahkan, dia enggak memperkenalkan kamu pada rekan kerjanya. Ayo, ikut Tante aja."
Lara pun mengangguk. Keduanya berjalan beriringan, lalu berhenti sebentar ketika seseorang memanggilnya. Ia tampak tersenyum lembut pada Lara.
"Istrinya Imran, kan? Cantik sekali," seru wanita itu sambil mencubit pipi Lara dengan gemas.
"Terima kasih, Tante juga cantik," balas Lara dengan senyum manisnya.
"Lara, tante ini namanya Tante Dian. Dia juga adik dari ayah mertuamu. Jadi, jangan sungkan," ucap Ira memperkenalkan Lara pada Dian.
Dian tersenyum ramah padanya. "Ira, sepertinya aku enggak lihat anakmu sejak tadi. Dia enggak ikut?"
"Dia baru aja datang, sekarang lagi ngobrol sama ayahnya."
"Ah, dasar anak itu," ucap Dian seraya terkekeh.
"Lihat, panjang umur dia. Baru aja diomongin, langsung muncul," tukas Ira seraya menunjuk ke belakang Lara.
Lara diam saja. Ia tidak tahu siapa yang sedang diperbincangkan oleh kedua adik dari papa mertuanya ini.
"Mama dari mana aja, sih? Dari tadi aku cariin."
Deg!
Tubuh Lara menegang seketika saat mendengar suara yang sudah tidak asing lagi baginya. Jantungnya berdebar tidak karuan saat sosok laki-laki bertubuh jangkung berdiri tegak di sampingnya. Aroma parfumnya, tentu Lara masih mengingatnya.
"Kok nyalahin Mama, sih! Kamu tuh yang datang terlambat," protes Ira tak terima.
Apa? Mama?! batin Lara.
"Iya, deh. Aku yang salah, Mama selalu benar," ucap laki-laki di samping Lara membuat Dian dan Ira tertawa.