"Kamu hanya perlu menunggu sampai saat itu tiba. Yaitu saat di mana kesabaranmu terbayar oleh sebuah kebahagiaan yang tak ternilai harganya."
🕊️🕊️🕊️
Irza mengacak rambutnya frustrasi. Ini semua gara-gara mamanya yang baru saja mengabari bahwa nanti malam akan ada acara makan malam keluarga di kediaman keluarga Wijaya. Sebenarnya, acara seperti ini sudah biasa terjadi. Namun, kali ini berbeda. Tentu saja karena Lara ikut serta dalam acara nanti malam. Sudah sebulan sejak pernikahan Lara, namun hatinya masih saja tidak terima bahwa Lara bukan miliknya lagi.
"Lu kenapa sih, Za? Gue perhatiin dari tadi kayak orang bingung gitu."
Irza menoleh sekilas pada Alex, sahabatnya sejak masa SMA. "Entahlah, gue bingung harus datang atau enggak dalam acara makan malam di keluarga Wijaya."
Alex menautkan kedua alisnya heran. Tidak biasanya Irza bersikap seperti itu. "Kenapa bingung? Biasanya juga elu fine-fine aja.”
Alex memang belum mengetahui masalah Irza yang sebenarnya. Yang ia tahu hanyalah seputar putusnya hubungan antara Irza dan Lara yang sampai saat ini ia tidak tahu apa penyebabnya. Sepertinya ini waktu yang tepat untuk Irza menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Irza mengembuskan napasnya dengan kasar. Lalu, ia mulai menceritakan awal putusnya hubungan mereka hingga kenyataan bahwa Lara menikah dengan sepupunya sendiri.
Alex sampai tersedak minumannya sendiri. Apa tadi katanya? Lara menikah dengan Bang Imran? Ya Tuhan, mengapa dunia sempit sekali? Ia tahu Imran, sosok lelaki tegas dan berwibawa yang sudah seperti kakak kandungnya Irza. Sekarang, ia jadi tahu mengapa Irza sampai begitu terluka.
Alex tersenyum menenangkan sahabat satu-satunya ini. Sambil menepuk bahu Irza berniat untuk memberi kekuatan pada laki-laki itu, ia berujar, "Udah, lu harus ikhlas. Bagaimanapun, Bang Imran itu sepupu lu. Dan elu harus percaya sama Bang Imran, bahwa dia pasti bisa bahagiakan Lara seperti yang lu inginkan."
"Ya. Lu benar, Lex. Gue harus ikhlas. Masalahnya, sebelum Lara dan Bang Imran menikah, Lara pernah bilang sama gue bahwa Bang Imran kasar sama dia. Gue takut terjadi apa-apa sama Lara."
Alex menatap iba pada Irza. Lara memang bukan pacar pertamanya. Sebelum berpacaran dengan perempuan itu, Irza sempat berpacaran dengan adik kelas yang merupakan teman satu ekstrakurikuler. Namun, hubungan mereka tidak berlangsung lama. Lalu, beberapa bulan kemudian, Irza dipertemukan dengan Lara. Saat itu, Irza terluka akibat terjatuh saat bermain basket. Kebetulan, Lara adalah petugas UKS. sejak pertama kali bertemu, Irza langsung tertarik pada Lara. Laki-laki itu terus mendekati Lara sampai perempuan itu jadi miliknya.
"Udah, jangan nething. Mungkin aja waktu itu Bang Imran lagi capek jadi emosi," ucap Alex.
"Thanks, Lex. Gue percayain semuanya sama Bang Imran.
Tak terasa, malam telah tiba. Semua anggota keluarga telah berkumpul di kediaman Wijaya. Mulai dari Kakek Guntur, Nenek Ina, Wijaya, dan lainnya. Semuanya telah duduk di kursinya masing-masing. Tinggal tersisa satu kursi, tepat di depan Lara.
"Irza ke mana, Ra? Kok belum datang-datang," tanya Kakek Guntur saat menyadari kursinya masih ada yang belum terisi.
Ira tersenyum tipis. "Irza tadi bilang kalau dia akan datang terlambat. Katanya, dia harus mengantar temannya dulu ke bandara."
Kakek Guntur mengangguk paham.
"Lara jangan sungkan sama keluarga di sini. Jangan malu-malu, ya?" ucap Rina—ibu mertua Lara—sambil mengusap bahu Lara dengan penuh kasih sayang.
Lara bersyukur keluarga Imran menerimanya dengan sangat baik. Mereka begitu terbuka dengan kehadirannya. Setidaknya, ia masih dianggap di keluarga ini. Meskipun nyatanya Imran tak pernah memandangnya sebagai seorang istri. Lara memaklumi hal itu. Lagi pula, ia yakin suatu saat nanti hati yang sekeras batu itu akan terkikis sedikit demi sedikit dengan kesabarannya. Perempuan itu percaya, bahwa cinta bisa tumbuh jika terus dipupuk dengan rahmat-Nya.
Ira yang duduk di samping Rina seketika menampilkan wajah cemberut. "Kakak, jangan coba pamer di depanku. Kakak buat aku enggak tahan ingin memiliki menantu seperti Lara," gerutunya.
Yang lainnya terkekeh.
"Betul sekali, aku juga mau menantu seperti Lara. Dia sangat ramah dan sopan," timpal Dian yang disetujui oleh yang lainnya. Sedangkan Lara hanya bisa tersenyum malu. Ia tidak suka pujian, yang bisa saja membuatnya jadi congkak. Ia ingin orang lain memandangnya biasa-biasa saja.
"Nah, Imran. Kamu harus bersyukur memiliki istri seperti Lara. Jadi, awas aja kamu menyakitinya. Kami bisa aja mengasingkanmu ke Mars jika sampai melukai Lara, sedikit pun," sambung Juan yang diakhiri dengan kekehannya.
Imran yang sedari tadi hanya diam saja akhirnya membuka suara. "Ya, aku memang beruntung memiliki istri secantik dia. Iya kan, Sayang?" ucap Imran sambil merangkul bahu Lara.