"Dialah Sang Khalik. Dalam sujudmu, Dia tak hanya mendengar, melainkan Dia sentuh kepalamu 'tuk salurkan kekuatan. Agar kamu tetap tangguh dalam menjalankan peranmu sebagai sebaik-baiknya hamba Allah."
🕊️🕊️🕊️
Di luar, hujan turun semakin deras. Gemuruh mulai sering terdengar bersamaan dengan kilat. Di dalam mobil, Imran memikirkan keadaan Lara yang baru saja ia tinggal sendirian. Otak dan hatinya saling berdebat, menyuarakan pendapat. Otaknya mengatakan bahwa ia tidak perlu menjemput Lara, sebab perempuan itu bisa pulang sendiri. Namun, berbeda dengan hati yang menyuruhnya untuk bergegas menjemput.
Akhirnya, Imran memutuskan untuk memutar balik mobilnya untuk membawa Lara pulang bersama. Sampai di sana, ia malah dihadiahkan pemandangan yang membuat ubun-ubunnya terasa panas.
Sudah ia duga dari sebelumnya, pasti Lara dan Irza memiliki hubungan spesial. Merasa Lara menyelingkuhinya, Imran naik pitam. Lihat saja apa yang akan ia lakukan nanti.
Ia bergegas melajukan mobilnya agar ia sampai lebih dulu dari Lara. Beberapa waktu kemudian, Imran masuk ke rumahnya dan duduk di sofa ruang tamu. Hingga tak lama kemudian Lara masuk dengan tubuh menggigil kedinginan.
"Aku kira kamu enggak akan pulang ke rumah," sindir Imran tanpa menatap lawan bicaranya.
Lara diam. Apa maksud Imran? Mengapa ia terlihat sangat marah? Kadang, Lara tak habis pikir. Apa pun yang ia lakukan selalu salah di mata Imran. Sampai diamnya pun masih saja dianggap salah olehnya.
"Apa maksud Mas Imran? Tentu aja aku pulang, Mas."
Imran berdiri dan menatap tajam pada Lara. Sambil bersidekap, ia berdecih sinis. Entahlah, tiap kali melihat wajah polos Lara membuat emosinya membara. Sebetulnya, ia sadar bahwa Lara tidak bersalah sedikit pun. Namun, gara-gara kehadiran perempuan itu, semuanya tampak berantakan. Meski yang ia inginkan telah ia dapat, namun ia gagal menikahi perempuam yang ia cintai.
"Ada hubungan apa di antara kalian?"
Lara mengernyitkan keningnya bingung. Sebenarnya, apa yang tengah dibicarakan oleh Imran?
"Siapa maksud Mas Irman? Aku enggak mengerti."
"Enggak perlu masang wajah sok polos. Kamu pikir aku bodoh, huh? Ada hubungan apa di antara kamu dan Irza? Apakah kamu bisa menjawabnya?"
Wajah Lara yang awalnya sudah pucat, kini semakin pucat ketika pertanyaan itu keluar dari mulut suaminya. Ia memang sudah menduga hal ini akan terjadi. Namun, ia tidak menyangka akan secepat ini Imran mengetahui semuanya.
"Ak-aku enggak mengerti. Aku sama sekali enggak memiliki hubungan apa pun dengan Irza, Mas."
Imran menggebrak meja dengan cukup keras membuat Lara semakin ketakutan. "Jawab jujur atau aku akan mengusirmu dari rumah ini!"
Kedua mata Lara sudah berkaca-kaca. Bulir air mata telah membentuk bendungan di pelupuk matanya, bersiap akan meluncur membasahi pipinya. Lara sampai berpikir, lelaki macam apa yang telah menjadi suaminya saat ini? Sambil menyeka air matanya, Lara mendongak dan menatap lurus tepat di kedua mata Imran. Namun, laki-laki itu segera membuang muka. Imran tidak ingin terkecoh dengan tatapan Lara yang seperti itu.
"Seperti yang kamu pikirkan, Mas. Aku memang memiliki hubungan dengan Irza, sepupumu. Tapi, hubungan itu telah usai sejak kamu merenggutnya dariku. Jika Mas Imran berpikir aku masih berhubungan dengannya, maka kamu salah besar, Mas. Aku bahkan berusaha menjauh darinya. Aku berusaha menjadi seorang istri yang patuh pada suaminya. Aku juga sedang berusaha mencintai suamiku sendiri."