Luka & Lara

Hana Lestari
Chapter #8

BAB 7

"Setiap luka yang kamu terima, setiap tetes air mata yang keluar, setiap ikhlas baktimu pada suami. Percayalah, Allah akan menggantinya dengan surga."

                         🕊️🕊️🕊️  

Di sinilah Lara berada saat ini. Sebuah rumah sakit besar yang tampak ramai di saat jam besuk. Imran memaksanya untuk mengikuti arahan dokter, sedangkan Lara menggeleng takut karena ia tidak ingin lukanya dijahit. Membayangkannya saja sudah membuat bulu romanya merinding ketakutan. Pasti sangat perih, pikirnya. Tangannya tanpa sadar terus menggenggam tangan kokoh sang suami. Imran sadar akan hal itu. Namun, ia memilih untuk diam saja. Daripada Lara semakin berisik, lebih baik ia korbankan tangannya agar perempuan itu sedikit lebih tenang.

Lara memasang wajah memelas ke arah Imran. Matanya berkaca-kaca saking takutnya. "Mas, Lara enggak mau," bisiknya takut terdengar oleh dokter. 

"Diamlah jika kamu mau cepat sembuh," ucap Imran dingin. 

Sang dokter mulai menjalankan tugasnya dengan membuka perban yang telah penuh oleh darah, dengan hati-hati. Lara sendiri tidak sadar bahwa luka pada telapak kakinya begitu dalam. Usai menyuntikkan obat bius, dokter tersebut mulai menjahit lukanya. Sesekali Lara meringis menahan sakit, padahal sudah diberi obat bius agar saat proses penjahitan lukanya tidak begitu terasa. Jemarinya semakin meremas kuat lengan Imran. Imran sedikit iba saat melihat istrinya mengeluarkan bulir air mata, ia juga bisa merasakan telapak tangan istrinya yang berkeringat dingin. Namun, ia segera menepis pikiran itu jauh-jauh. Untuk apa juga ia mengasihani perempuan itu.

Selang beberapa menit, proses penjahitan akhirnya selesai juga. Dokter itu langsung memberikan secarik kertas berisi resep obat yang harus mereka tebus. 

Saat keluar dari ruangan, Lara dan Imran berpapasan dengan Irza. Laki-laki itu terkejut saat melihat sepupu serta mantan kekasihnya juga berada di sana. Irza sendiri datang bersama Alex dan teman-temannya yang lain untuk menjenguk salah satu teman mereka. 

Kedua matanya melotot saat melihat kaki Lara yang diperban. "Lara, kaki kamu kenapa?" tanyanya dengan raut wajah panik. Ia tidak sadar kalau Imran menyimpan rasa kesal padanya.

Lara menunduk, tak berani menatap Irza. "Aku enggak apa-apa. Cuma terkena pecahan kaca sedikit," cicitnya pelan. 

"Astaghfirullah. Kenapa bisa sampai begini?" tanya Irza tanpa menutupi rauh wajah khawatirnya. 

Lara melirik Imran yang tampak membuang muka. Ia merutuki pertemuan antara dirinya dengan Irza. Pasti Imran akan mengomelinya habis-habisan setelah ini. 

"Kamu ke sini untuk menjenguk seseorang, bukan? Silakan, temanmu sudah lama menunggu." Setelah mengatakan itu, Imran langsung membawa Lara pergi dari sana.  

Irza terdiam, ia sadar bahwa Imran baru saja mengusirnya secara halus. Ia melirik sebentar pada Lara yang hanya diam dengan kepala tertunduk. Ya Tuhan, entah sampai kapan Irza harus begini? Rasa cintanya pada Lara masih begitu besar dan sulit dikendalikan.  

Alex yang mengerti perasaan kawannya langsung menghampirinya dan menepuk pelan bahu Irza, berusaha menguatkan. "Sabar, insyaallah dia akan baik-baik aja," ucapnya sambil tersenyum tipis. 

   

                       🕊️🕊️🕊️

Aura dingin menyeruak saat Imran menatap penuh kebencian pada Lara. Laki-laki itu mencengkram kedua bahu Lara dengan sangat erat sampai perempuan itu meringis kesakitan. Dalam sekali tarikan, hijabnya terlepas dan terlempar ke sembarang arah. Lara tak kuasa menahan tangisnya karena perbuatan Imran yang semena-mena. Ia tidak mengerti, mengapa Imran begitu marah padanya?

Imran berdecih sinis. "Kamu memang enggak punya malu, ya? Untuk apa kamu kenakan hijab itu sedangkan kamu masih suka menggoda laki-laki? Kamu tahu, hijab itu terlalu suci untukmu."

Lara menggeleng kuat sambil menangis terisak. Itu tidak benar, ia tidak pernah sekali pun menggoda laki-laki lain. Lagi pula, mana mungkin ia berani menggoda lelaki selain suaminya? Saat-saat seperti ini, ia jadi makin bingung dengan sikap Imran yang berubah-ubah. Jika laki-laki itu tidak mencintainya, mengapa harus semarah itu? Ia rasa, Imran terlalu berlebihan dalam bertindak, tanpa memikirkan orang lain.

Lihat selengkapnya