Luka, bagaimana pun bentuknya atau penyebabnya pastilah menimbulkan rasa sakit. Luka fisik kata orang bisa sembuh dengan seiringnya waktu, tapi luka di hati sangat sulit untuk menyembuhkannya. Namun, hati itu kadang lebih mudah terluka. Obatnya mungkin dengan sabar dan ke ikhlasan.
Sama dengan yang dialami gadis yang masih bersimpuh diatas sajadahnya lengkap dengan mukena putih yang membalut tubuhnya. Tatkala ingatan tentang perceraian kedua orang tuanya terlintas subuh ini.
Air mata mengalir begitu saja. Sakit, itulah yang ia rasakan. Keluarganya hancur, ikatan kedua orang tuanya putus, dan harapan bahagianya pun pupus.
Ayah dan adik lelakinya lah harapan bahagianya kini. Seakan bersambut, ayah dan adiknya berhasil membuatnya kembali mengukir senyum, merasakan apa itu bahagia. Padagal bahagia itu sangat sederhana, yaitu menerima apapun yang telah Allah takdirkan. Ya memang sederhana, tapi perlu kekuatan untuk menjalaninya.
"Kakak nangis?" Tanya sang adik yang sudah berada disampingnya, raut wajahnya terlihat sangat khawatir. Gadis itu tersenyum, mengucapkan banyak syukur pada Allah yang telah menghadirkan adiknya dan sang ayah. Ibu, ijinkan aku lupa sedikit tentangmu, batinnya.
"Kakak enggak papa kok" ucap Aqila sambil membelai rambut sang adik yang mulai memanjang.
"Inget kejadian itu lagi ya kak? Lupain ya kak, kan sekarang kita udah bahagia bertiga"
"Kakak akan berusaha ya" bagi Aqila kejadian itu bagaikan ditulis dengan spidol permanen, sangat sulit untuk menghapusnya. Tapi sebisa mungkin dia akan melupakannya.
"Ayah dimana dek?" Tanya Aqila sambil melipat sajadah dan menggantung mukenanya.
"Tadi langsung kekamar kak, mau liat berkas katanya"
"Mau sarapan apa pagi ini?" Tanya Aqila.
"Nasi goreng kak, yang pedes tapi"
"Masih pagi enggak boleh pedes-pedes!" Larang Aqila lalu menarik lengan sang adik menuju dapur.
"Bantuin kakak masak ya" lanjutnya.
"Kan ada simbok kak"
"Emang kamu mau ngapain?"
"Pengen nonton tv, hehe" jawabnya sambil menyengir.
"Bantuin kakaknya dulu dek" kata sang ayah.