Doni menatap kosong ke jalan yang mulai gelap, mengamati orang-orang yang berlalu lalang dengan wajah lelah dan mata yang lesu. Di gang sempit yang ia sebut rumah, kemiskinan dan ketidakpastian hidup seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Di ujung jalan, terlihat sekelompok remaja berkumpul sambil tertawa keras dan mengobrol dengan suara yang menggema di dinding-dinding kusam. Mereka adalah anggota geng Bara Timur, kelompok yang ditakuti di sekitar lingkungan itu, terutama oleh para remaja yang hanya ingin hidup tenang.
Malam itu, Doni duduk di anak tangga rumah kontrakan sederhana yang sudah lama ia huni bersama ayahnya. Rumah itu tak luas, hanya terdiri dari dua ruangan sempit dengan atap yang sering bocor saat hujan datang. Ayahnya, Pak Tono, bekerja serabutan sebagai buruh di pelabuhan dan sering pulang larut malam. Meski tubuhnya penuh bekas luka masa lalu, Pak Tono selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Doni.
"Ayah tahu kau mendengar mereka," kata Pak Tono tiba-tiba, muncul di belakang Doni dengan wajah serius. "Mereka datang setiap malam, mencari remaja seperti kau."
Doni mengangguk pelan tanpa menoleh. la tahu yang dimaksud ayahnya. Setiap malam, Bara Timur berkeliling di sekitar gang sempit itu, mengintimidasi dan menekan remaja untuk bergabung dengan mereka. Jika menolak, mereka akan dicap pengecut dan hidupnya jadi semakin sulit.
Pak Tono duduk di sampingnya, meletakkan tangan yang kasar di bahu Doni. "Dulu Ayah seperti mereka, Doni. Muda, kuat, merasa tak terkalahkan. Tapi semua itu hanya meninggalkan luka. Luka yang tak bisa kau hilangkan, meski sudah lama meninggalkan jalan itu."
Pak Tono pernah menjadi bagian dari kehidupan keras, sesuatu yang ia tak banggakan dan berusaha lupakan. Namun, kenangan itu seakan mengikutinya di setiap langkah. la ingin Doni hidup lebih kesalahan yang nenghindari mah lakukan.
"Aku nggak mau jadi seperti mereka, Yah," kata Doni pelan, tapi penuh keyakinan. "Aku nggak mau hidup di bawah ancaman dan kekerasan.