luka Di Balik Jaket

hafizh dawam trapsilo
Chapter #2

Bara yang Berkobar

Pagi datang, tapi suasana di gang tempat Doni tinggal masih terasa berat. Semalam, geng Bara Timur terlihat berpatroli hingga larut malam, membawa tongkat dan golok. Beberapa orang yang melintas buru-buru masuk ke rumah mereka, takut menjadi korban salah sasaran. Namun bagi Doni, ancaman itu tak berakhir di malam hari. Di tempat seperti ini, siang dan malam hanya berbeda warna; kekerasan tetap sama.


Doni memutuskan untuk menjenguk Ardi yang rumahnya berada tak jauh dari gang kecil mereka. Ketika tiba, ia menemukan Ardi sedang duduk di teras rumahnya, dengan perban yang melilit kepala dan lengannya. Wajah sahabatnya itu terlihat letih, tetapi ia masih mencoba tersenyum ketika melihat Doni.


“Kau nggak usah ke sini, Don. Mereka mungkin masih mengawasiku,” kata Ardi pelan, matanya melirik kanan-kiri dengan gelisah.


Doni mengabaikan peringatan itu. Ia duduk di samping Ardi, meletakkan kantong plastik berisi makanan yang ia bawa. “Aku nggak peduli. Kita nggak bisa terus sembunyi.”


Ardi mendesah. “Tapi mereka nggak main-main, Don. Serigala Hitam itu gila. Mereka pikir aku informan Bara Timur. Kalau kau tetap dekat denganku, mereka juga akan memburu kau.”


Doni mengepalkan tangannya. Kemarahan mulai membakar dadanya. “Jadi, apa kau mau menyerah begitu saja? Membiarkan mereka menang? Kalau kita terus mundur, mereka akan terus menginjak kita.”


“Tapi apa yang bisa kita lakukan?” tanya Ardi lirih. “Kita cuma anak-anak kampung. Mereka punya senjata, punya kekuasaan. Kita nggak punya apa-apa.”


Doni terdiam. Dalam hatinya, ia tahu Ardi ada benarnya. Melawan geng besar seperti Serigala Hitam atau bahkan Bara Timur bukan perkara mudah. Tapi membiarkan mereka menguasai hidupnya juga bukan pilihan.


Tiba-tiba, suara motor berderu kencang terdengar mendekat. Dua motor dengan tiga pemuda berpakaian hitam berhenti di depan gang tempat rumah Ardi berada. Salah satu dari mereka turun, dengan tato kepala serigala menghiasi lengannya. Ia membawa tongkat baseball, memukul-mukulkannya ke tanah dengan santai.


“Ardi! Keluar kau!” teriak pemuda itu, suaranya menggema di sepanjang gang.


Doni segera berdiri, menatap tajam ke arah pemuda itu. “Apa maumu?” katanya lantang, meski dalam hatinya rasa takut mulai merayap.


Lihat selengkapnya