Senja di Eryndor selalu berbeda. Langitnya seolah dilukis tangan dewa, jingga menyala bercampur dengan semburat ungu yang turun perlahan dari ufuk barat. Burung-burung gagak berputar di atas menara batu abu-abu, sementara matahari merunduk, menorehkan cahaya terakhir pada puncak istana yang menjulang megah.
Di taman kerajaan, bunga lili bermekaran, berwarna putih pucat seakan menyerap cahaya senja. Angin berhembus, membawa aroma tanah yang basah karena hujan siang tadi. Di sanalah Pangeran Alaric Dreven berdiri, menyandarkan tangannya pada pagar besi hitam yang berliku indah. Tubuhnya tegap, wajahnya berwibawa, namun sorot matanya tidak secerah mahkota yang kelak diwarisinya.
Tatapannya justru jatuh pada sosok sederhana yang melangkah pelan di jalur setapak batu. Gadis itu membawa keranjang anyaman berisi botol kaca ramuan. Rambutnya panjang, hitam pekat, bergelombang halus. Wajahnya bersih tanpa perhiasan, hanya balutan kain sederhana warna biru laut.
Elira Serwyn.
Nama itu terukir kuat di hati Alaric. Anak seorang tabib desa yang kini sering dipanggil ke istana untuk membantu persediaan obat. Bagi prajurit, Elira hanyalah putri rakyat jelata yang sering keluar masuk gerbang kecil. Namun bagi Alaric, gadis itu lebih berharga daripada emas di gudang kerajaan.
Elira menunduk hormat begitu melihat pangeran. “Pangeran Alaric. Obat untuk prajurit yang terluka sudah kuantar ke ruang tabib. Bolehkah aku pamit?”
Alaric menoleh. Senyumnya tipis, sekilas saja, tapi dalam senyum itu ada dunia yang hanya mereka pahami. “Kau selalu terburu-buru, Elira. Setiap kali kau datang, istana ini terasa hidup. Jangan cepat-cepat pergi.”
Gadis itu terdiam. Hatinya berdebar. Ia tahu kata-kata itu lebih dari sekadar basa-basi. Namun bagaimana bisa seorang pangeran berbicara begitu pada anak rakyat?
“Pangeran, aku hanya seorang pembawa ramuan. Kehadiranku di sini tak lebih dari angin lewat. Istana tidak butuh kehadiran sepertiku.”
Alaric melangkah mendekat, jarak mereka kini hanya sebatas satu lengan. Mata cokelat keemasan sang pangeran menatap lurus pada mata kelam Elira. “Istana ini penuh bayangan, penuh kepalsuan, penuh wajah tersenyum dengan hati menusuk. Tapi setiap kali kau lewat, aku merasa melihat cahaya. Kau tidak tahu betapa berharganya itu bagiku.”
Elira menelan ludah. Kata-kata itu bagai bara yang menyalakan hatinya. Ia ingin percaya, namun juga takut. Takhta adalah dinding yang mustahil ditembus.