Luka Hati di Kaki Merapi

Sukini
Chapter #1

Cublak-Cublak Suweng

Pagi di pertengahan 1980-an. Bulan Juli. Embusan hawa pagi membuat sekujur tubuh terasa kaku. Dinginnya menjalar ke seluruh bagian, seakan memperlambat gerak setiap organ tubuh. Orang Jawa menyebutnya bedhidhing. Bedhidhing, sebuah istilah untuk menyebut perubahan suhu yang mencolok, utamanya pada awal musim kemarau. Menjelang malam hingga pagi, udara terasa sangat dingin. Sebaliknya, pada siang hari suhu terasa panas menyengat. Bedhidhing terjadi di sekitar bulan Juni hingga Agustus atau Sepember.

Jika menuruti kehendak ragawi, tetap berada di atas kasur empuk dan membalut diri dengan selimut tebal hingga matahari membagikan hangatnya adalah pilihan paling nyaman untuk diambil. Namun, tidak dengan warga sebuah desa. Desa Tumpang, desa sunyi di kaki Gunung Merapi.

Desa dengan karakteristik lingkungan fisik yang merangkum dua titik ekstrem. Di satu titik, desa ini sangat teduh. Pohon kelapa, mangga, sengon, sawo, salam, mindi, mahoni, dan aneka tananam keras lainnya memenuhi setiap sudut desa. Batangnya besar-besar dan tinggi menjulang, daun rimbun sepanjang tahun. Sinar matahari terhalang di sana-sini. Tak mampu menerobos rapatnya dedaunan yang seperti melindungi permukaan tanah di banyak sisi desa ini.

Di titik lainnya, desa berwajah hijau oleh lebat dedaunan dan rapat pepohonan ini adalah desa sulit air. Bagaimana mungkin sebuah desa yang kesulitan air, tetapi pepohonan bisa tampak ijo royo-royo[1] begitu? Tampak tidak masuk akal. Namun, demikianlah alam bekerja. Tidak selalu masuk nalar dan dapat dimengerti.

Tidak ada sumber air di Desa Tumpang. Tidak ada kali, belik, atau sendang. Membuat sumur pun, tak pernah ada yang berhasil melakukannya. Pernah ada yang menggali hingga hampir seratus meter dalamnya, tetapi tak keluar setitik pun air dari dalam tanah.

Warga Tumpang beruntung saat Mangsa Rendheng datang. Pada musim hujan, warga desa dapat memenuhi kebutuhan airnya secara layak. Setiap rumah di Desa Tumpang memiliki jembangan dan genthong. Jembangan adalah tempanyan besar dari tanah liat. Jembangan memiliki tinggi dan diameter lebih dari satu meter. Genthong juga tempayan dari tanah liat, tetapi ukurannya lebih kecil. Tinggi genthong biasanya sekitar 50–60 cm, garis tengahnya sekitar satu meter, dan bagian atasnya mengecil dengan lubang berdiameter 10–15 cm.

Jembangan dan genthong biasanya diletakkan di pawon. Kedua tempayan ini umumnya dilengkapi siwur, yaitu gayung dari tempurung kelapa, dengan tangkai panjang dari bambu atau kayu.

Setiap hujan turun, warga menampung air yang mengalir dari pancuran talang rumah menggunakan ember, kemudian memindahkannya ke dalam jembangan dan genthong hingga penuh. Air hujan digunakan untuk semua keperluan. Memasak, mandi, mencuci, air minum, minum ternak, semua menggunakan air hujan.

Di musim hujan, Desa Tumpang tampak elok. Banyak bunga mekar di musim ini. Bunga yang memang ditanam atau bunga liar yang tumbuh di mana saja. Seperti kembang pacar air,  melati, kembang sepatu, kembang Desember, dan kembang bakung. Pada musim hujan, banyak juga sayuran yang tumbuh di pekarangan atau ladang, yang selama musim kemarau tidak terlihat. Seperti kenikir dan bayam gajah.

Musim hujan menumbuhkan keajaiban di Desa Tumpang. Tak hanya indah dan mudah mendapatkan dedaunan untuk dimakan, kala banyu udan[2] mengguyur tanah ini tiap hari, itu berarti pula alam menyediakan banyak lauk. Laron, belalang, dan gangsir adalah lauk lezat yang tersedia melimpah di Mangsa Rendheng.

Kemarau adalah masa penuh keprihatinan. Hidup di Mangsa Terang terasa tidak nyaman. Pada musim kemarau, jalanan Desa Tumpang berubah menjadi lautan debu. Tebal debu jalanan bisa mencapai atas mata kaki orang dewasa. Maka, di musim kemarau tidak akan ditemukan kaki orang Tumpang yang bersih ketika mereka bepergian. Pergi ke mana pun, debu akan melekat hingga atas mata kaki. Debu tebal yang menempel hingga atas mata kaki, terlihat seperti sepatu alami berwarna cokelat terang. Kadang cipratan debu, bahkan mengotori sampai betis.

Di musim kemarau, untuk memenuhi kebutuhan airnya, warga harus ngangsu ke kali di desa lain yang jaraknya lebih dari dua kilometer dari Desa Tumpang. Ngangsu adalah mengambil air ke sumber-sumber air. Mereka ngangsu menggunakan klenthing atau yang di desa itu disebut jemblok. Jemblok ada yang dibuat dari tanah liat. Ada pula yang dari tembaga. Saat ngangsu, para perempuan menggendong jemblok di punggung dengan jarik. Sedangkan, para laki-laki memanggulnya di atas pundak. Mereka harus berjalan kaki sambil menanggung beban berat di punggung atau pundak, melewati jalanan yang naik-turun, demi beberapa liter air saja.

Sedemikian kering Desa Tumpang di musim kemarau. Tak heran. Air menjadi barang yang sangat berharga. Persediaan air yang sangat terbatas membuat warga sangat hemat menggunakannya. Penggunaan air diutamakan untuk keperluan minum dan memasak. Untuk kebersihan diri, air digunakan seperlunya saja. Sekadar untuk cuci muka dan kaki sebelum tidur pun cukup. Mandi tidak bisa setiap hari. Tidak heran, kulit busik, burasan, berdaki, dan korengan lumrah dimiliki orang-orang Tumpang, utamanya anak-anak, pada musim kemarau.

Kehidupan di Desa Tumpang memang penuh keterbatasan. Namun, soal giat berupaya, mereka sungguh luar biasa. Bedhidhing tak membuat mereka memanjangkan lelap. Kokok ayam jantan adalah alarm yang langsung menukik ke alam bahwa sadar. Begitu terdengar pitik jago kluruk, serta-merta mereka membuka mata, turun dari amben beralas galar yang dilapisi tikar pandan, melipat jarik batik yang jadi selimut tidur semalam, menumpuknya di atas bantal kapuk, lalu bergegas menuju pawon. Tak ada setitik pun alasan untuk bermalasan. Tidak juga pagi yang beku di musim bedhiding.

Di pawon sederhana berlantai tanah, yang biasanya terletak di sisi kiri atau belakang rumah, mereka segera menyalakan kayu bakar di keren. Kemudian, gegeni sembari menjerang air dan membakar singkong. Gegeni adalah aktivitas menghangatkan badan dengan mendekatkan diri di depan perapian, seperti di depan tungku, api unggun, atau perapian lainnya. Gegeni menjadi cara efektif mengusir hawa kekes[3] mangsa bedhidhing.

Begitulah. Keperigelan orang-orang di awal hari, bahkan ketika gelap belum lengser dari takhta sang malam itu, terjadi di hampir semua rumah. Ketika tubuh mulai hangat usai gegeni, para bapak biasanya akan menyapu halaman yang umumnya cukup luas. Halaman luas itu harus disapu setiap pagi karena daun-daun kering dari pepohonan di sekitarnya selalu saja berserakan di sana. Sementara itu, para ibu meneruskan kesibukan di pawon dan pekiwan. Menyiapkan sarapan, umbah-umbah[4], atau nutu[5].

Rumah-rumah di Desa Tumpang tidak berdiri berdempet tanpa jarak. Antara rumah satu dan rumah lainnya dipisahkan oleh kebun yang cukup luas, baik di depan, samping, maupun belakang rumah. Kebun yang dipenuhi aneka tanaman. Hingga kadang rumah tampak tersembunyi. Tidak terlihat jelas dari depan, samping, atau belakang karena terhalangi oleh pepohonan itu.

Ketika matahari mulai menampakkan diri, itulah saatnya sarapan bersama. Teh hangat tawar dan singkong bakar. Itu saja. Sederhana, tetapi mampu menyangga badan tetap bakoh melakoni rupa-rupa pekerjaan hingga saatnya makan siang. Jika minuman teh dibuat menggunakan air hujan, sebelum teh bubuk diseduh, lebih dahulu air mendidih dijos dengan arang membara. Cara ini dilakukan untuk menghilangkan rasa khas air hujan. Air hujan yang mengalir melewati genteng rumah memiliki rasa yang tidak enak jika diminum. Tidak seperti air tanah. Ada bau tanah yang menyengat. Dan memasukkan arang membara ke dalam air mendidih, bisa menetralkan bau tanah itu.

Usai sarapan, anak-anak bersekolah. Sarapan untuk anak-anak biasanya nasi dingin sisa kemarin sore. Lauknya cukup ikan asin bakar. Bukan dibakar dengan dipanggang menggunakan alat pemanggang. Melainkan dibakar dengan di atas arang membara di dalam keren[6]. Setelah anak-anak berangkat, orang tua meneruskan berbagai pekerjaan rumah.

Saat embun di dedaunan dan rerumputan telah mengering oleh sinar matahari, barulah mereka berangkat ke ladang. Memelihara tanaman, sekaligus ngarit[7] untuk pakan ternak sapi dan kambing. Begitu setiap pagi. Entah sejak kapan dan sampai kapan rutinitas ini akan mewarnai pagi di Desa Tumpang. Desa sunyi di kaki Merapi.

***

Di salah satu sudut desa yang biasanya sunyi, pagi itu terdengar bising. Riuh rendah suara sekumpulan bocah seolah mampu membelah dingin udara yang terasa pejal. Hari itu hari Minggu. Mereka berkumpul di pendopo rumah Mbah Karto. Terasa sekali rumah joglo limasan milik Mbah Karto itu menyimpan energi positif. Anak-anak selalu suka bermain di sana.

Rumah Mbah Karto adalah rumah limasan berukuran besar. Dindingnya dari kayu jati lawasan yang umurnya sudah ratusan tahun. Pintunya pintu gebyok yang dipenuhi ukiran aneka motif. Halamannya luas. Pohon jambu biji, jambu air, mangga, kelengkeng, sawo, dan talok yang rindang membuat halaman rumah itu selalu saja teduh meski di tengah hari yang terik. Kembang sepatu, melati, dahlia, dan bunga liar yang dibiarkan tumbuh, menjadikan halaman rumah itu penuh warna. Indah sekai.

Di halaman itu, anak-anak bebas bermain uding, dinoboy, gobak sodor, atau engklek[8]. Saat pohon-pohon di halaman itu berbuah, mereka boleh memetik dan memakannya. Sesuka mereka. Mbah Karto dan istrinya tidak pernah keberatan dengan yang dilakukan anak-anak tetangga di halaman rumahnya.

Halaman yang luas dan elok dipandang mata itu, berada di depan pendopo yang juga luas. Bangunan terbuka tanpa dinding itu atapnya disangga tiang-tiang kayu jati yang kukuh. Penutup lantainya berupa ubin semen. Rasanya adem saat duduk di sana. Di pendopo inilah, biasanya anak-anak bermain permainan yang tidak terlalu banyak gerak, seperti dakon, suron, atau umbul[9].

Anak-anak yang berkumpul di pendopo rumah Mbah Karto saat itu adalah lima sahabat. Mereka Yono, Eko, Triman, Tini, dan Yati. Mereka sebaya. Usia mereka 8 tahun. Mereka kelas dua di satu-satunya sekolah dasar yang ada di Desa Tumpang. Pada hari Minggu atau hari libur lainnya, mereka biasa bermain bersama sejak pagi.

Kelima anak itu terus saja mengobrol ngalor ngidul[10]. Aneka tema mereka bincangkan. Tentang Pak Yitman yang sangat menakutkan. Tentang Pak Raden yang pelit. Tentang Pak Ogah yang malas. Tentang Bu Marni yang sabar. Obrolan mereka benar-benar tidak terpola. Satu anak nyeletuk apa yang terlintas di pikirannya. Lalu, anak lain menanggapinya. Namun, suara anak-anak tidak pernah terasa mengganggu. Suara mereka selalu terdengar seperti suara malaikat. Menceriakan suasana dan menghangatkan hati.

Lihat selengkapnya