Luka Hati di Kaki Merapi

Sukini
Chapter #2

Kolonjono

Daun-daun jambu biji masih berayun-ayun. Angin yang menerpanya belum reda jua. Mbah Karto tersenyum lembut, batinnya membisik. Bahwa ia telah telah membaca pertanda yang dibawa semesta. Ajaib. Udara diam seketika. Daun-daun jambu biji sirep dari geraknya. Hening menyelimuti halaman rumah limasan nan asri itu.

Tenang yang lembut itu berlangsung sebentar saja. Tak lama sesudahnya, hadir tenang dalam warna lain. Tenang yang ceria. Suara si Kesit dari dalam sangkar yang digantung di pendopo, juga melahirkan suasana tenang. Bukan tenang yang subtil, melainkan tenang yang hangat. Mbah Karto seperti tersadarkan bahwa ia tadi hendak memberi pakan dan minum perkutut klangenannya.

Mbah Karto bergegas naik ke pendopo. Menurunkan sangkar burung, lalu menuangkan pakan dan air ke dalam wadah. Setelah itu, sangkar kembali digantung di tempat semula. Mbah Karto memandangi burung perkutut yang sudah lebih dari lima tahun menjadi anggota keluarganya itu. Sesekali bibirnya menyenandungkan siulan, menirukan suara si Kesit.

Waktu terus bergulir. Matahari makin tinggi. Embun di pucuk dedaunan sudah sejak tadi memasap. Mbah Karto bergegas ke kandang sapi di belakang rumah. Ia berjalan memutar melalui samping kiri rumahnya. Sesampai di kandang, diambilnya arit, pacul, potongan bambu sepanjang dua meteran, dan seutas tali tambang kecil. Lalu, Mbah Karto kembali ke pendopo.

Bune[1], aku berangkat,” teriak Mbah Karto.

Nggih, Pakne[2]. Hati-hati,” jawab Bu Widati dari dalam rumah. Bu Widati tengah sibuk merapikan pakaian di dalam kamar.

Mbah Karto berjalan pelan sambil mengalunkan tembang macapat lirih. Kali ini, macapat Megatruh karya Ki Yasadipura yang ditembangkannya.

Nalikane mripat iki wis katutup

Nana sing isa nulungi

Kajaba laku kang luhur

Kang ditampi marang Gusti

Aja ngibadah kang awon

 

Saat kita meninggal nanti

Tak ada lagi yang mampu menolong kita

Kecuali kelakuan (amal) yang baik

Yang akan diterima oleh Tuhan

Karena itu janganlah beribadah asal-asalan

Tembang macapat yang memiliki lima guru gatra[3], dengan guru wilangan[4] dan guru lagu[5] 12-u, 8-i, 8-u, 8-i, 8-o ini memiliki watak susah, sedih, penuh derita, kecewa, dan menerawang. Tembang ini sering digunakan untuk menggambarkan cerita yang menyentuh hati. Megatruh berasal dari kata megat yang berarti melepas, dan ruh yang artinya roh atau nyawa. Megatruh memiliki makna terlepasnya roh atau terpisahnya nyawa dari jasad manusia, menuju alam keabadian.

Di usianya yang hampir 70 tahun, Mbah Karto senang melantunkan macapat Megatruh. Setiap melantunkan tembang itu, Mbah Karto seperti sedang mendengarkan nasihat agar dirinya tak sedetik pun alpa mempersiapkan diri menuju alam akhirat, dengan selalu berbuat amal kebaikan sebagai bekal kehidupan yang abadi.

Mbah Karto memilih jalan yang lebih dekat ke ladangnya. Jalan itu sempit, naik turun, dan harus melewati jembatan kayu di atas jurang yang dalam. Mbah Karto menerobos rimbunnya semak belukar. Setelah menyeberangi jembatan kayu, Mbah Karto masih harus menyusuri jalan setapak di pinggir tebing yang curam. Sebenarnya ada jalan lain yang lebih mudah untuk dilewati. Jalan yang datar dan lapang. Namun, jika melewati jalan itu, jarak yang harus ditempuh menjadi lebih panjang karena harus memutari perkampungan.

Mbah Karto terus melangkah. Ia hampir sampai. 50 meter di depannya, terhampar ladang miliknya yang luas. Hampir dua hektare. Dua pertiga kebun ditanami jagung. Sepertiga sisanya ditanami rumput kolonjono untuk pakan sapi-sapinya.

Mbah Karto terus berjalan melewati tanaman jagung yang mulai berbunga. Ia menuju sisi utara ladang yang ditanami kolonjono. Mbah Karto berhenti di tepi ladang bagian utara. Dilihatnya kolonjono yang sudah ditebas berserakan di tanah. Tak ada ekspresi terkejut sama sekali. Mbah Karto justru tersenyum. Wajahnya teduh, seperti biasanya.

“Benar ternyata,” gumam Mbah Karto.

Dipegangnya ujung satu batang kolonjolo yang sudah terpotong. Masih basah. Tanda kalau rumput yang tingginya dapat mencapai dua meter itu belum lama ditebas.

Mbah Karto jongkok. Dikumpulkannya rumput kolonjono yang berserakan, lalu diikatnya dengan tali yang dibawanya dari rumah.

“Kalau butuh rumput, kenapa tidak bilang saja? Aku pasti akan memberikannya. Ia boleh mengambil kolonjono sebanyak yang dibutuhkan,” kata Mbah Karto. Tak terdengar nada kesal sedikit pun, walaupun seseorang ingin mencuri rumput di ladangnya.

Di Desa Tumpang, rumput kolonjono sangatlah penting. Hampir seluruh warga desa memelihara sapi. Dan kolonjono merupakan makanan utama bagi sapi, selain rumput jenis lainnya.  Sapi adalah tabungan. Ketika membutuhkan uang dalam jumlah cukup besar, sapilah satu-satunya yang dapat diandalkan sebagai sumber uang. Untuk biaya mantu, pengobatan, pemakaman, termasuk tahlilan tiga hari, tujuh hari, seratus hari, sampai seribu hari, umumnya semua dibiayai dengan uang hasil menjual sapi. Sedemikian berharganya sapi, hingga sering kali pemiliknya lebih mengutamakan sapinya ketimbang diri sendiri.

Mereka makan setelah memberi makan sapi. Mereka baru bisa bersantai setelah sapinya kenyang. Mereka sangat gelisah ketika sapinya sakit. Mereka bersukacita dan menyelenggarakan kenduri manakala sapinya melahirkan. Kenduri yang digelar sebagai wujud rasa syukur atas kelahiran anak sapi itu disebut brokohan sapi.

Sapi adalah penyelamat dalam kondisi darurat. Sedangkan, kolonjono adalah penopang utama penggemukan sapi. Namun, di musim kemarau rumput kolonjono tidak tumbuh sesubur seperti ketika musim hujan. Di musim panas, rumput liar yang biasa tumbuh di tepi-tepi jalan, tegalan, atau jurang, juga menjadi terbatas keberadaannya. Warga yang termasuk golongan keluarga berada memilih membeli tebon atau damen dari desa-desa di dataran rendah yang tanaman apa pun bisa tumbuh sepanjang tahun karena tidak kekurangan air. Namun, bagi mereka yang untuk kebutuhan sehari-hari saja sering kekurangan, memilih memberi sapi mereka pakan seadanya. Daun sengon, kaliandra, daun pisang, daun singkong. Apa saja yang ada di kebun dan ladang mereka. Bahkan, tidak jarang ada saja di antara mereka yang “mengambil” kolonjono yang masih tumbuh di ladang tetangga tanpa seizin pemiliknya.

Lihat selengkapnya