Senja hampir tak bersisa. Hanya seberkas tipis sinar jingga keunguan yang tertinggal di ufuk barat sana. Remang menjelang. Gulita di ambang takhtanya. Di sebuah ruangan bernama sepen, Mbah Karto khusyuk dalam laku wirid dan tafakur usai menunaikan salat Magrib. Sepen merupakan salah satu ruangan yang biasanya menjadi bagian dari rumah tradisional Jawa. Dinamakan sepen atau tempat untuk menyepi karena ruangan ini sering digunakan oleh penghuninya untuk berdoa, bermeditasi, dan sembahyang.
Cukup lama Mbah Karto menghabiskan waktu di sepen. Ia baru keluar dari ruangan itu usai salat Isya tertunaikan. Seperti biasa, setelah salat Isya Mbah Karto selalu nyilir[1] di pendopo. Baru beberapa saat duduk di kursi rotan, Bu Widati datang membawa pisang kepok rebus dan teh gula batu.
Mbah Karto, lelaki penuh kharisma. Usianya sudah 65 tahun. Namun, sisa-sisa pesona masa muda masih tertinggal jelas pada sosoknya. Ia masih sangat gesit. Tubuhnya masih tampak gagah. Kulitnya bersih. Sorot matanya tajam. Raut wajahnya lembut, tetapi berwibawa. Senyumnya hangat. Tutur katanya penuh hikmah. Gambaran hati yang bersih, ilmu seluas samudra, jiwa welas asih, dan pikir sumeleh. Mbah Karto adalah sosok yang sudah selesai dengan dirinya. Ia adalah lelaki dengan rasa yang telah merdeka dari rupa-rupa kemelekatan dunia.
Bibit, bobot, dan bebet memang akan terus menunjukkan jati dirinya. Tidak mungkin dapat disembunyikan. Mbah Karto adalah sosok istimewa. Karena darah yang mengalir dalam darahnya pun bukanlah darah orang biasa. Leluhurnya bukan orang sembarangan. Mulai bapak, simbah, buyut, canggah, wareng, udheg-udheg, gantung siwur, gropak senthe, debog bosok, hingga galih asem[2] dari Mbah Karto adalah orang-orang linuwih. Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi lagi bijaksana. Mereka juga sosok-sosok penting di wilayah tempat tinggalnya. Ada yang menjadi panewu[3], lurah, jagabaya[4], atau kamituwa[5]. Mbah Karto sendiri menjadi menjadi Lurah Desa Tumpang selama tiga periode.
Sebagaimana para leluhurnya, Mbah Karto pun dikenal sebagai manungsa linuwih[6], sebagai orang pintar. Apa pun persoalan warga desa, Mbah Karto adalah tempat yang dituju untuk mencari jalan keluarnya. Bocah-bocah yang rewel terus-menurus, demam tidak kunjung turun, atau perilakunya kurang baik, dimintakan suwuk[7] kepada Mbah Karto.
Orang-orang yang kesurupan, sakit berkepanjangan, atau ngengleng[8] dicarikan tamba[9] kepada Mbah Karto. Orang-orang berselisih paham karena warisan, jual beli, atau patok batas tanah datang kepada Mbah Karto untuk meminta penyelesaian. Orang-orang yang tidak punya makanan, rumahnya rusak, atau tidak punya pakaian layak, Mbah Karto-lah tempat mereka meminta. Tidak ada persoalan yang tidak selesai jika dibawa ke Mbah Karto.
Satu lagi keistimewaan Mbah Karto. Seluruh Warga Desa Tumpang meyakini bahwa Mbah Karto dapat mengetahui hal-hal yang sifatnya tak kasatmata. Ia diyakini dapat membaca pikiran atau kata hati orang atau memperkirakan apa yang akan terjadi. Walaupun tidak semua orang mampu membuktikannya, mereka benar-benar memercayai bahwa kabar itu benar belaka.
Awalnya, Jarwo tidak memercayai kemampuan langka Mbah Karto yang kabarnya, bahkan telah menyebar ke desa-desa yang jauh. Hingga hari itu, ia mengalaminya secara langsung. Ketika hendak mencuri kolonjono di ladang Mbah Karto, Jarwo yakin Mbah Karto tidak melihatnya. Namun, tiba-tiba Mbah Karto mengantarkan kolonjono yang sudah ditebas Jarwo ke rumahnya.
Kewaskitaan Mbah Karto bukan hal yang ganjil. Bukan hanya karena ia mewarisi darah orang-orang luar bisa, melainkan juga karena ia telah terbiasa nglakoni tirakat[10] sejak kecil. Cegah dhahar kelawan guling, mengurangi makan dan tidur, untuk mendapatkan kekuatan lahir dan batin. Puasa Senin-Kamis, mutih[11], dan ngrowot[12] hampir tak pernah ia lewatkan. Mbah Karto kuat menjalani puasa itu dalam rentang waktu yang amat panjang. Melakukan banyak perjalanan, menyendiri di tempat-tempat sepi untuk menyelami makna hakiki diri, serta menolong sesama untuk menajamkan nurani dan membangun harmoni dengan semesta menjadi bagian yang lekat dari kehidupannya.
Dari tirakat yang melatih olah rasa, olah batin, serta olah jiwa dan raga itulah, Mbah Karto memiliki kemampuan mengendalikan hawa nafsu, memperbaiki sifat dan perilaku, serta hati dan pikiran menjadi jernih. Yang menjadikannya manusia linuwih dan waskita. Seiring bertambahnya usia, yang bersamanya bertambah pula ilmu dan pengalaman, Mbah Karto pun menjadi sosok yang makin mumpuni. Lahir dan batin.
***
Mbah Karto dan Bu Widati masih mengobrol sambil menikmati teh hangat dan pisang rebus. Lampu thinthir[13] di atas meja meluruhkan pekatnya malam. Api lampu yang mobat-mabit itu mencipta temaran di sekitarnya. Cahaya lembut thinthir yang menimpa wajah Bu Widati membuatnya tampak memesona.
Bu Widati, perempuan berusia 55 tahun ini sudah 30 tahun lebih hidup bersama Mbah Karto. Mendampingi sang suami dalam suka dan duka. Sebagaimana suaminya, Bu Widati seakan juga mampu mengalahkan kekuatan sang waktu. Ia amat lambat menua. Di usia yang sudah tidak muda, ia masih terlihat cantik. Gerak-geriknya selalu gesit. Badannya tetap langsing dan kencang. Kulitnya bersih. Uban di kepalanya pun masih sangat sedikit.
Hati yang gembira, jiwa yang bersih, makanan yang baik, dan rutin minum jamu adalah sumber dari tubuh yang bagus dan paras awet muda Bu Widati. Sebagaimana Mbah Karto, Bu Widati juga sosok yang dicintai dan dihormati para tetangga. Lisannya terjaga, tangannya ringan membantu, tindak-tanduknya tak pernah menciptakan luka bagi orang-orang sekitarnya.
Tidak memiliki keturunan, sama sekali tidak menjadi masalah bagi Mbah Karto dan Bu Widati. Kebahagiaan mereka sebagai suami-istri tetap penuh, utuh. Melahirkan kebaikan untuk sesama, memberikan sukacita yang besar bagi mereka. Hingga tak ada sedikit pun celah di hati untuk meratapi tidak hadirnya buah hati. Toh, semua orang di Desa Tumpang menganggap keduanya sebagai orang tua dan kakek-nenek. Jadi, Mbah Karto dan Bu Widati tidak pernah sedetik pun merasa kurang kasih sayang dan perhatian.
Mbah Karto dan Bu Widati adalah teladan untuk rumah tangga yang ayem tentrem[14]. Jika ditanya apa rahasia rumah tangga yang damai itu, Mbah Karto menjawab singkat saja. Sing kakung sing gemati. Sing putri sing ngabekti[15]. Itu saja. Jika diamalkan, rumah tangga akan baik-baik saja.
“Bune, tolong buatkan teh satu lagi. Kita akan kedatangan tamu,” kata Mbah Karto tiba-tiba.
Tanpa banyak bertanya, Bu Widati melaksanakan perintah suaminya. Ia membuat satu cangkir lagi teh gula batu. Lalu, membawanya ke pendopo. Bu Widati tidak bertanya siapa yang akan datang. Ia memilih kembali duduk di samping Mbah Karto. Menghikmati malam damai nan dingin itu.
Mbah Karto dan Bu Widati tengah asyik berbincang ketika sebuah bayangan berkelebat di halaman. Makin lama bayangan itu makin dekat dan makin jelas. Lalu, sosok yang ternyata tidak asing itu berdiri di depan pendopo.
“Kulo nuwun[16].” Orang itu mengucapkan salam.
“Oalah, kowe[17], Wo? Ayo, silakan masuk,” kata Bu Widati mempersilakan Jarwo masuk