Luka Hati di Kaki Merapi

Sukini
Chapter #4

Hiburan Tak Menghibur

Surup[1] belum lama berlalu. Namun, pendopo rumah Pak RT telah penuh sesak oleh puluhan warga. Orang tua, remaja, anak-anak, laki-laki dan perempuan semua tumplak di tempat itu. Jika umumnya pendopo rumah warga berupa bangunan terbuka, tanpa dinding di keempat sisinya, pendopo rumah Pak RT dibuat tertutup. Ada empat tembok penutup di keempat sisinya. Di bagian depan terdapat pintu menuju teras. Di kiri dan kanan pintu terdapat jendela kaca.

Malam itu, pendopo rumah Pak RT ramai sekali. Bukan! Pak RT tidak sedang menyelenggarakan hajatan. Orang-orang itu berkumpul di sana untuk menonton televisi. Di Desa tumpang, orang yang memiliki TV dapat dihitung dengan jari. Salah satunya adalah Pak RT. Namanya Hadi Slamet. Usinya 40-an tahun. Namun, ia masih terlihat rupawan. Kharisma memancar dari wajah lelaki berbadan tinggi itu. Rahangnya kukuh, mencerminkan watak yang teguh. Pak RT adalah sosok yang sedikit bicara. Namun, sekali ia berucap, semua orang akan mendengarkan dengan saksama.

Telah puluhan tahun ia menjabat sebagai ketua RT 01 Desa Tumpang. Di Desa Tumpang, perangkat desa adalah kedudukan yang sangat dihormati. Begitu pula dengan ketua RT dan ketua RW. Keduanya juga sangat disegani oleh warga desa. Umumnya, mereka adalah keturunan orang-orang terpandang. Mereka juga kaya. Memiliki tanah berhektar-hektar dan sapi yang banyak. Tak ada warga desa biasa yang berani merasa setara dengan mereka dan keluarganya. Semua menunduk hormat setiap kali bertemu dengan perangkat desa atau ketua RT dan ketua RW.

Pak RT membeli TV beberapa tahun lalu. Sejak itu, rumahnya tak pernah sepi. Setiap hari, ada saja tetangganya yang datang untuk menonton TV, sejak sore hingga tengah malam. Hingga lagu Rayuan Pulau Kelapa sebagai penutup siaran TVRI berkumandang. Pada hari Minggu, anak-anak sudah ramai di sana menanti acara-acara kesayangan mereka, seperti  Si Unyil, Ria Jenaka, Album Minggu Ini, drama Rumah Masa Depan, hingga serial Little House On The Prairie.

Pak RT dan keluarganya tak pernah keberatan dengan kehadiran para tetangga. Mereka orang-orang yang baik hati dan ramah. Mereka tidak selalu menemani para tetangga menonton TV hingga selesai. Adakalanya Pak RT dan keluargnya, bahkan tidak ikut menonton. Barulah setelah para tetangga pulang, Pak RT mematikan TV dan mengunci pintu rumahnya.

Pesawat TV yang hampir setiap malam ditonton oleh warga RT 01 itu adalah pesawat TV hitam putih, berukuran 14 inci, merek JVC. TV dihidupkan dengan aki. Sering kali, orang-orang yang menonton TV di rumah Pak RT harus menelan kekecewaan di kala acara yang mereka tonton tengah seru-serunya, tiba-tiba aki habis. Garis-garis bergerak muncul di layar TV, sebelum akhirnya TV padam sama sekali.

“Bubar! Bubar!”

Teriakan beberapa warga seperti ini biasa terdengar ketika TV kehabisan aki. Mereka, kemudian meninggalkan rumah Pak RT. Ada yang langsung pulang, ada pula yang memilih mengobrol di pos ronda.

TVRI menjadi satu-satu stasiun TV yang ada. Stasiun TV ini pada Senin hingga Jumat mulai mengudara sore hingga malam hari, sekitar pukul 22.00. Sedangkan, pada malam Minggu TVRI siaran hingga pukul 24.00. Sementara itu, untuk siaran siang hari TVRI hanya mengudara pada hari Minggu, mulai pukul 08.00.

Salah satu acara TV yang sangat digemari warga Desa Tumpang adalah ketoprak. Acara ini disiarkan TVRI Yogyakarta. Pada malam ditayangkannya acara kesenian tradisional ini, lepas Magrib orang-orang sudah berbondong-bondong menuju rumah Pak RT Hadi. Oncor mereka bawa sebagai penerang jalan desa yang gulita. Sesampai di rumah Pak RT, oncor dimatikan dan diletakkan diteritis. Mereka, lalu duduk di atas tikar menghadap pesawat TV.

Tini, bocah kelas dua SD itu ikut duduk berdesakan dengan para tetangganya. Tini adalah anak Jarwo dan Surti. Anak satu-satunya. Ia berperawakan sedang. Sebagaimana kebanyakan anak lain dari keluarga kurang mampu di desa sulit air itu, Tini juga tampak tidak terawat. Kulitnya gelap dan berdaki. Rambutnya yang panjang sepundak, berwarna kemerahan dan ujung bercabang akibat terpapar matahari setiap hari. Rambut itu juga tidak wangi karena jarang dikeramasi.

Banyak kutu hidup di antara rambut yang benar-benar tidak sehat itu. Tidak heran, ia sering sekali terlihat menggaruk kepalanya yang gatal. Biasanya kutu di kepala Tini berkurang sehabis ia dipetani[2] simboknya. Namun, beberapa hari kemudian, kutu kembali banyak. Hewan kecil pengisap darah itu cepat sekali berkembang biak.

Lihat selengkapnya