Luka Hati di Kaki Merapi

Sukini
Chapter #5

Berhenti Sekolah

Plakk!!! Ting!!!

Sabetan penggaris kayu terdengar menggelegar. Pengaris sepanjang satu meter itu patah di punggung Triman. Separuh penggaris jatuh, lalu berdenting kala menimpa lantai. Pak Yitman berdiri di samping Triman. Kemarahan jelas terpancar dari wajahnya. Tangan kanannya memegang separuh penggaris kayu.

“Kamu belajar tidak di rumah?” Pak Yitman bertanya dengan suara menyentak.

Triman terdiam. Anak-anak kelas dua SDN Tumpang gemetaran. Mereka tertunduk. Tak ada yang berani memandang guru wali kelasnya itu.

“Ayo, baca lagi!” perintah Pak Yitman.

Triman bergeming. Di atas meja di depannya, terbuka buku bahasa Indonesia Jilid 2a. Rentetan huruf di halaman yang terbuka itu tampak layaknya deretan semut di mata Triman. Ia belum hafal seluruh abjad, apalagi mampu membacanya. Ya, walaupun sudah kelas dua, ia belum bisa membaca. Triman tidak sendiri. Banyak teman sekelasnya yang belum bisa membaca. Yang sudah bisa membaca dengan lancar baru beberapa anak saja dari 30 anak di kelas itu.

“Kok, diam. Ayo, baca!” Pak Yitman berteriak lebih kencang.

Triman yang tak kunjung melakukan perintahnya, membuat Pak Yitman makin murka. Ia mencengkeram kerah baju seragam Triman. Namun, Triman tak terlihat ciut nyali. Wajahnya  lurus ke depan. Tidak tertunduk ketakukan. Sorot matanya tajam, menyiratkan keberanian. Setelah beberapa saat, Pak Yitman melepaskan cengkeramannya.

Pak Yitman adalah wali kelas dua. Pelajaran di tahun ajaran yang baru belum lama dimulai. Baru sekitar dua bulan. Namun, dua bulan itu sungguh menjadi waktu yang sangat berat. Seluruh siswa SDN Tumpang tahu bagaimana sosok Pak Yitman. Mereka tahu betapa pemarahnya Pak Yitman kala mengajar. Maka, memiliki Pak Yitman sebagai wali kelas selalu saja membuat banyak siswa gemetar ketakutan.

Teng! Teng!

Bel tanda pelajaran usai menggema di seluruh antero sekolah. Anak-anak kelas dua menarik napas lega. Sayangnya, mereka belum benar-benar dapat merdeka dari kengerian yang ditimbulkan Pak Yitman. Pak Yitman mengakhiri pelajaran hari itu dengan memberikan PR untuk esok hari. Membaca cerita halaman 10, lalu menceritakan kembali di buku tulis.

***

24 jam terasa sedemikian cepat berlalu. Anak-anak kelas dua harus kembali dicekam ketakutan menghadapi Pak Yitman. Kali ini, yang mendapatkan giliran pertama untuk membacakan PR-nya adalah Tini. Sama seperti Triman, Tini juga belum bisa menbaca. Karena belum bisa membaca, tentu ia tidak dapat menulis dan mengerjakan PR.

Plak!

Kali ini, tabokan keras mendarat di punggung Tini. Pak Yitman terlihat sangat jengkel melihat Tini tidak mengerjakan PR.

“Baca!” perintah Pak Yitman sambil menunjuk buku pelajaran di atas meja di depan Tini.

Lihat selengkapnya