Luka Hati di Kaki Merapi

Sukini
Chapter #6

Semboja Kelopak Genap

Sudah dua hari Tini tidak masuk sekolah. Jarwo dan Surti tidak ingin memaksa anak perempuannya itu untuk bersekolah. Mereka sudah pasrah. Mereka berpikir, mungkin lebih baik Tini di rumah saja daripada menuntut ilmu, tetapi malah mendapatkan ngilu di kalbu. Toh, di desa mereka anak tidak bersekolah merupakan hal yang lumrah. Masa depan bukanlah hal yang terlintas di benak mereka. Tak sempat pikiran itu mampir, walau sekilas saja. Bagi mereka yang terbiasa berkarib dengan aneka nestapa, yang harus dipikirkan dan diperjuangkan hanyalah hidup hari ini, saat ini. Esok dan seterusnya pasrahkan saja pada semesta.

Hari Minggu. Hari masih pagi. Namun, Surti sudah sibuk di pawon. Ia mengelap tambir[1], lalu mengalasinya dengan daun pisang. Setelah itu, diletakannya pisang setangkep[2] di atasnya. Selanjutnya, aneka jajanan pasar ditata di atas pisang raja. Terakhir, ia membungkus tambir itu dengan kain taplak batik warna merah. Siang nanti, warga Desa Tumpang akan menyelenggarakan kenduri Nyadran.

Kenduri Nyadran adalah tradisi masyarakat Jawa yang dilakukan menjelang bulan Ramadan, yaitu bulan Syakban dalam penanggalan Hijriah atau Ruwah dalam penanggalan Jawa. Masyarakat Desa Tumpang telah menyelenggarakan tradisi ini sejak lama. Tradisi tersebut terus dilestarikan secara turun-temurun.

Kenduri menjadi puncak dari rangkaian tradisi Nyadran. Umumnya, Nyadran diawali dengan melakukan besik, yaitu membersihkan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan. Kegiatan ini biasanya dilakukan masyarakat dengan bergotong-royong.  

Surti duduk di atas dingklik di depan keren. Ia bersiap menggoreng cenggereng[3] untuk sarapan. Diambilnya korek api kayu yang tergeletak di dekat keren. Bungkus korek api itu berwarna biru, dengan garis kuning di bagian pinggirnya. Pada bagian atas kemasan, ada tulisan THE PALMTREE. Di bawah tulisan itu, ada gambar beberapa pohon palem. Di depan gambar pohon palem, ada gambar siluet orang berwarna hitam bertelanjang dada dan bercelana putih. Orang itu memikul sepotong kayu, yang di kedua ujungnya terdapat tempayan. Tangan kanannya memegang pikulan. Tangan kirinya menenteng arit.

Surti mengeluarkan satu batang korek. Dinyalakannya blarak dengan korek api itu, kemudian dimasukkan ke dalam keren. Disisipkan di bawah tumpukan kayu bakar yang ujungnya berada di dalam keren. Agar api cepat besar, Surti meniup udara melalui semprong bambu, yang di arahkan ke dalam keren. Tak lama kemudian, api mekar. Membakar ranting-ranting sengon kering.

Surti meletakkan wajan tanah liat di atas keren. Dituangnya minyak kelapa buatan sendiri ke dalam wajan. Setelah minyak panas, pekerjaan menggoreng pun ia mulai. Surti memasukkan adonan cenggereng satu irus dengan satu irus. Cenggereng yang digoreng Surti bukan cenggereng kacang kedelai atau kacang hijau. Bukan pula cenggereng ikan teri. Melainkan cenggereng irisan kelapa. Kelapa yang sudah tua, diiris kecil-kecil, dimasukkan ke dalam adonan tepung beras, lalu digoreng.

Surti terus menggoreng. Sesekali ia mengusap matanya yang terasa perih oleh semburan asap dari kayu bakar. Kadang-kandang, ia meniup semprong bambu untuk menjaga nyala api. 

“Mbok, aku nanti ikut ke makam, ya?” tanya Tini yang tengah membuat bulatan-bulatan untuk lento.

Selain cenggereng, untuk makan hari itu, Surti juga membuat lauk lain, yaitu lento. Kebetulan pohon singkong di kebun belakang rumahnya sudah saatnya dipanen. Lento dibuat dari singkong parut. Setelah diparut, singkong diperas hingga patinya keluar. Setelah itu, parutan singkong dicampur dengan parutan kelapa dan bumbu-bumbu, seperti garam, bawang putih, ketumbar, dan jeruk purut. Adonan tersebut dibentuk bulat-bulat sebesar bola bekel, lalu digoreng. Kadang, kacang tolo ditambahkan ke dalam adonan lento.

“Yo,” jawab Surti singkat, sambil terus menggoreng.

Sementara itu, Jarwo dan semua laki-laki Desa Tumpang tengah melaksanakan besik. Mereka bergotong-royong membersihkan makam desa. Jarwo tengah mencabut rumput di makam bapaknya ketika Mbah Karto menghampirinya.

Aja lali didongake bapake, Le[4],” kata Mbah Karto sambil menepuk pundak Jarwo.

Nggih, Mbah,” jawab Jarwo takzim.

Tidak menunggu disuruh dua kali, Jarwo segera menengadahkan tangan. Memintakan ampunan untuk mendiang bapaknya. Mbah Karto jongkok di samping Jarwo. Ia ikut mendoakan almarhum kawan masa kecilnya itu.

“Bapakmu itu orang baik, Wo. Ia selalu ringan tangan membantu tetangga,” kata Mbah Karto usai berdoa.

Jarwo mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

“Walaupun hidupnya susah, bapakmu tidak pernah mengeluh. Bapakmu juga tidak pernah tergoda untuk mengambil yang bukan haknya.” Mbah Karto melanjutkan tuturannya.

Getar hangat merambat lembut di sekujur hati Jarwo. Betapa bangga dirinya. Bapaknya yang hanya orang miskin di desanya, ternyata dipuji dan dihargai oleh Mbah Karto.

“Teruslah jaga nama baik bapakmu. Jadi anak harus bisa mikul dhuwur mendhem jero[5],” pungkas Mbah Karto sebelum ia meninggalkan Jarwo sendirian di samping makam bapaknya.

Jarwo memandangi makam di depannya. Makan yang sederhana. Ia tidak mampu membangun makam yang mewah untuk bapaknya. Tidak ada kijing marmer di sana. Hanya makam yang disemen keempat pinggirnya dan di bagian tengahnya ditaburi kerikil.

Lihat selengkapnya