Luka Hati di Kaki Merapi

Sukini
Chapter #7

Pemburu Madu

Awal September. Mangsa Katelu dalam kalender Pranata Mangsa. Mangsa yang ditandai dengan sumur-sumur mengering dan angin berdebu. Tanah tidak dapat ditanaman karena cuaca yang panas dan air yang sangat sedikit. Tidak banyak yang dapat dilakukan warga Desa Tumpang. Mereka tidak bisa menggarap ladang yang menjadi sangat tandus. Jika ke ladang, paling-paling mereka mencari rumput atau dedaunan untuk pakan sapi, seperti daun sengon atau daun pisang.

Sebagian warga Tumpang bertahan hidup dari sisa padi gogo hasil panen tahun lalu. Bagi mereka yang persediaan gabah telah habis, masih ada cara lain yang dapat dilakukan sehingga mereka tidak perlu kelaparan. Mereka masih bisa memanen palawija. Ubi atau singkong bisa mereka makan sendiri atau dijual, dan uangnya dibelikan beras. Tentu saja bukan beras berkualitas baik. Cukup beras yang banyak kutunya dan kalau dimasak, jadinya nasi keras. Tak mengapa. Lidah mereka telah terbiasa menerjemahkan makanan apa pun dengan satu rasa, enak. Asal mengenyangkan dan tidak bikin sakit perut, itu berarti makanan enak.

Hari Minggu. Hari masih sangat pagi. Udara masih terasa menggigit kulit. Namun, sepagi itu Eko dan bapaknya harus sudah siap berangkat, untuk seharian nanti bergelut dengan ketidakpastian, apakah upaya mereka membuahkan hasil memuaskan, ataukah mereka harus pulang digulung kecewa karena bawaan yang tak seberapa.

Eko adalah anak pertama dari Yanto dan Inah. Pagi itu, Yanto telah selesai memasukkan semua perlengkapan ke dalam tas punggung usangnya. Tas bekas yang ia beli dari pasar di kota beberapa tahu lalu. Nasi bungkus dilengkapi sayur dan lauk alakadarnya, minuman, korek api, sarung, parang, serta perlengkapan lain telah dimasukkan ke dalam tas.

“Ganti baju sama celana dulu,” kata Yanto kepada Eko.

Eko, anak delapan tahun yang saat itu mengenakan celana pendek dan kaus lengan pendek usang, segera masuk ke dalam kamar. Kemudian, ia mengganti pakaiannya. Dikenakannya celana panjang dan kaus lengan panjang.

Eko berperawakan sedang, tetapi badannya tampak kuat dan berotot. Sorot matanya tajam, menyiratkan kepercayaan diri yang kuat. Gerakannya selalu gesit. Ia juga sangat pemberani. Rambutnya ikal. Ia sebenarnya berkulit kuning. Namun, hidup di desa yang kekurangan air dan terbakar matahari sepanjang waktu, membuat kulitnya jadi gelap dekil.

“Sudah siap?” tanya Yanto begitu Eko keluar kamar dan sudah mengenakan pakaian serbapanjang.

“Sudah, Pak,” jawab Eko penuh semangat.

Eko selalu menantikan hari seperti itu. Perjalanan bersama bapaknya selalu menyenangkan. Ia bisa melihat tempat-tempat yang lumayan jauh dari rumah. Ia juga mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman. Dan satu lagi, sepulangnya nanti Eko bisa makan makanan enak sepuasnya.

Setelah semuanya siap, Yanto dan Eko berpamitan kepada Inah serta Asih. Inah adalah ibu Eko, sedangkan Asih adalah adiknya. Asih baru berumur lima tahun. Setelah berpamitan, di pagi yang dingin itu, Yanto dan Eko meninggalkan rumah. Rumah sederhana berdinding gedek.  

Eko adalah anak yang ceria. Ia suka bercerita dan banyak tertawa. Bapaknya bukan orang kaya. Ladang bapaknya tidak seberapa luas. Namun, Eko beruntung. Walaupun hidupnya pas-pasan, keluarga Eko tidak pernah sampai benar-benar kekurangan. Setidaknya, mereka bisa makan nasi sepanjang tahun. Jika sesekali mereka makan nasi jagung, itu karena ingin saja, bukan karena tidak punya beras.

Semua karena Yanto, bapak Eko, memiliki keahlian khusus yang membuatnya mampu menghasilkan uang. Jadi, kehidupan keluarga Yanto tidak sepenuhnya bergantung pada hasil tani. Itulah sebabnya, saat kemarau memuncak pun, mereka tidak kekurangan makanan. Sekali-kali, bahkan mereka bisa menikmati lauk mewah, seperti  daging ayam. Daging ayam yang dapat dinikmati tanpa keluar uang sedikit pun. Bukan juga dari menyembelih ayam peliharaan.

Selain bertani dan memelihara sapi, Yanto juga bekerja sebagai pencari madu hutan. Keahlian itu ia warisi dari bapaknya. Kini pun, ia sedang mewariskannya kepada Eko. Untuk mendapatkan madu hutan, Yanto menjelajah hutan-hutan di sekitar desanya. Saat mencari madu, Yanto kerap mendapatkan buah-buah hutan, seperti murbei, jambu mete, dan  ciplukan. Buah-buah itu dapat dijual kepada orang-orang kota. Mereka menyukainya. Yanto menjual buah-buah itu bersamaan dengan saat itu menjual madu. Kadang, ia menjual madu dan buah-buah hutan hingga ke Solo.

Kemarau merupakan saat yang tepat untuk mencari madu hutan. Sebab, lebah-lebah penghasil madu biasanya meningkatkan produksinya di musim kemarau. Karena di musim kemarau bunga-bunga tanaman hutan mekar. Bunga-bunga yang nektarnya menjadi makanan lebah. Umumnya bulan-bulan panen madu hutan berkisar antara September hingga Desember.

Yanto dan Eko menyusuri jalan desa yang berdebu. Yanto menggendong tas di punggung. Eko berjalan di samping bapaknya. Ia membawa sebuah sebuah ember. Saat mereka berada di jalan depan rumah Mbah Karto, mereka berbelok memasuki halaman rumah tersebut.

“Kulo nuwun, Mbah.” Yanto mengucap salam.

“Eh. Kowe, Yan,” balas Mbah Karto sambil tersenyum.

Ketika itu, Mbah Karto sedang menyiram bunga mawar di dalam pot di teras depan pendopo. Ia tidak menyadari kehadiran Yanto dan Eko.

Mbah Karto meletakkan gayung yang tadi digunakan untuk menyiram tanaman mawar, di ember berisi air. Yanto dan Eko, kemudian mencium tangan Mbah Karto.

Mbah Karto mengajak Yanto dan Eko duduk di kursi rotan di pendopo.

Piye, Yan? Ana apa? Kok, esuk-esuk wis mrene?[1]” tanya Mbah Karto setelah mereka duduk.

“Saya minta didoakan, Mbah. Ini saya sama Eko mau berangkat mencari madu,” jawab Yanto.

“Oh, begitu. Ya, sudah. Ayo, kita berdoa bersama,” jawab Mbah Karto.

Mbah Karto langsung memimpin doa. Yanto dan Eko mengamini.

“Coba kamu ke Watu Tumpuk. Siapa tahu ada sarang lebah di sana,” ujar Mbah Karto.

“Nggih, Mbah,” jawab Yanto.

“Tetapi, jangan bikin rusak hutan, ya. Jangan memburu bintang yang tidak boleh diburu.” Mbah Karto berpesan kepada Yanto.

Lihat selengkapnya