Ten! Teng! Teng!
Bel tanda jam istirahat pelajaran terdengar berdentang-dentang. Pak Pomo, sang penjaga sekolah, yang memukulnya. Anak-anak SDN Tumpang berhamburan keluar kelas. Mereka berlari menuju pinggir lapangan di depan sekolah. Tempat beberapa penjual menjajakan dagangannya.
Triman meraba saku celananya. Ada dua butir uang logam di saku celananya. Ia tersenyum. Biasanya Triman mendapatkan uang saku sebesar 5 rupiah. Namun, pagi itu simboknya memberinya 15 rupiah. Satu uang logam 5 rupiah dan satu uang logam 10 rupiah. Sabtu kemarin, bapaknya mendapatkan upah dari pekerjaannya.
Naryo, bapak Triman, bekerja sebagai tukang kayu. Namun, di desa sepi, ekonomi penduduknya rata-rata pas-pasan, dan jumlahnya penduduknya sedikit seperti itu, tidak selalu ada yang menyewa jasanya. Beberapa waktu lalu, kebetulan ada seorang tetangganya meminta Naryo untuk membuatkan pintu. Pintu rumah si tetangga itu sudah lapuk. Ia menebang pohon sengon di ladangnya, lalu meminta Naryo untuk membuatkan pintu. Kemarin sore, pekerjaan itu selesai. Naryo mendapatkan upah yang lumayan karena ada tiga pintu yang dibuatnya. Dan, Senin pagi itu Triman mendapatkan uang saku lebih. Tentu saja ia senang sekali. Ia bisa jajan lebih banyak daripada hari-hari biasanya.
Triman menghampiri Mbok Marni, salah seorang penjual jajanan di depan sekolahnya. Triman membeli es gabus. Usai jajan, Triman berjalan ke belakang sekolah. Ia menuju pohon akasia besar di sana. Ternyata, Tini, Yono, Eko, dan Yati sudah berada di sana. Mereka duduk di atas rerumputan di bawah pohon akasia yang rindang. Triman segera bergabung dengan teman-temannya.
Triman berusia delapan tahun. Tubuhnya sedikit lebih tinggi dibandingkan teman-temannya. Kulitnya bersih. Ini agak janggal untuk anak miskin di Desa Tumpang yang rata-rata berkulit gelap dan dekil. Tidak ada yang tahu bagaimana kulit Triman tetap bersih, padahal ia juga berpanas-panasan setiap hari, terkena debu setiap saat, dan jarang mandi. Mungkin karena faktor keturunan. Bapak dan simbok Triman juga berkulit bersih. Panas, hujan, debu, sering kekurangan, dan kerja keras, seolah tidak mampu melunturkan kulit mereka. Kulit mereka tetap bersih dan enak dilihat.
Di antara lima sahabat itu, Triman terlihat paling dewasa dan bijaksana. Ia sabar, ulet, dan selalu penuh pertimbangan. Triman juga percaya diri dan berani. Pancaran wajahnya menumbuhkan rasa hormat, segan, sekaligus rasa aman. Ia selalu peduli dan mengutamakan kepentingan bersama. Ia juga penyayang. Oleh karena itu, Pak Yitman dan semua murid kelas dua sepakat menunjuk Triman sebagai ketua kelas.
“Eh, Pak Raden kemarin kumat sakit pinggangnya, ya?” tanya Yono sambil mengunyah permen cecak.
Keempat temannya tertawa. Mengingat adegan-adegan dalam serial TV Si Unyil yang mereka tonton kemarin.
“Iya, syukurin. Jadi, orang pelit banget.” Tini menimpali.
Anak-anak itu terus mengobrol sambil menikmati jajanan yang mereka beli sebelumnya. Triman bersandar pada pohon akasia. Ia tampak sangat menikmati es gabus. Musim kemarau memang paling enak makan es. Apalagi, ia jarang bisa membeli es gabus. Uang sakunya sering tidak cukup. Ketika ada uang lebih dan ia membeli es gabus, Triman memakannya pelan-pelan. Ia tidak ingin esnya cepat habis.
“Pulang sekolah ke rumahku, ya,” ajak Eko tiba-tiba.
“Yaa!” sahut keempat temannya berbarengan.
Keempat anak itu tahu, Eko dan bapaknya kemarin mencari madu di hutan. Seperti biasanya, setiap habis berburu madu hutan, Eko selalu mengajak mereka untuk ke rumahnya. Mereka sudah hafal kebiasaan Eko. Tentu mereka sangat senang dengan ajakan itu. Karena di rumah Eko, mereka akan dijamu dengan lauk ayam hutan rebus dan pepes larva lebah. Makanan yang sangat enak dan mereka jarang memakannya.
Selain itu, mereka juga bisa menikmati sisa-sisa madu yang masih menempel di sarang lebah. Sarang yang sudah diperas masih menyisakan sedikit madu. Sisa madu itu dapat dinikmati dengan mengunyah sarang lebah.
Anak-anak itu terus bercerita. Tentang apa saja. Belakang sekolah selalu sepi. Jarang ada murid yang bermain di sana saat jam istirahat. Mereka lebih senang bermain di halaman sekolah, lapangan depan sekolah, atau teras balai desa. Karena itulah, Triman, Yati, Tini, Yono, dan Eko senang berada di sana. Mereka bisa bermain dan mengobrol tanpa ada yang menganggu. Pohon akasia besar itu seolah menjadi markas mereka.
Teng! Teng! Teng!
Bela tanda masuk berdentang-detang. Kelima anak itu segera masuk kelas. Baru saja mereka memasuki kelas, mereka melihat teman-teman sekelasnya berkumpul di sekitar bangku Slamet. Kelima anak itu penasaran. Mereka pun mendekati teman-teman mereka yang sedang berkerumun itu untuk mengetahui apa yang terjadi.
Ternyata murid-murid kelas dua itu sedang mengerubungi Slamet yang tengah menangis tersedu-sedu. Rupanya, Slamet kehilangan uang sakunya. Ketika anak-anak masih berkerumun dan Slamet masih menangis, Pak Yitman masuk ke dalam kelas. Wali kelas dua itu langsung mendekati anak-anak yang bergerombol itu.
“Ada apa? Kenapa menangis?” tanya Pak Yitman begitu melihat Slamet yang menangis.
Seperti biasa, Pak Yitman berbicara dengan nada tegas. Slamet masih menangis sehingga ia tidak dapat segera menjawab pertanyaan gurunya itu. Lalu, seorang temannya yang bernama Jumi menjelaskan apa yang terjadi.
“Uang sakunya hilang, Pak,” kata Jumi.
“Berapa uangnya?” tanya Pak Yitman.
Tangis Slamet telah reda. Jika terus menangis, ia bisa dimarahi habis-habisan oleh Pak Yitman. Maka, sekuat tenaga ia berusaha menghentikan tangisnya.
“10 rupiah, Pak,” jawab Slamet pelan.
“Apa ada ciri-ciri khusus pada uang itu?” tanya Pak Yitman lagi.
Slamet mencoba mengingat-ingat. Uang itu pemberian bapaknya beberapa hari lalu. Ia tidak langsung membelanjakannya. Di simpannya uang itu di dalam tasnya. Namun, tadi saat istirahat dan hendak jajan, uang itu tidak ada. Padahal, ia yakin belum menggunakan uang itu. Lalu, ia ingat pula bahwa setelah bapaknya memberinya uang, ia tidak langsung menyimpannya. Ia menggunakan untuk bermain bersama adik perempuannya.
“Bagaimana?” desak Pak Yitman.
Slamet terus mengingat-ingat. Hingga akhirnya, kejadian sebelum ia memasukkan uang ke dalam tasnya muncul jelas di ingatannya.
“Ada, Pak?” jawab Slamet.
“Apa?” tanya Pak Yitman tidak sabar.
“Angka nol pada uang itu ada kertas warna merah, Pak,” balas Slamet.
Cerita pun mengalir dari mulut Slamet. Sore itu, setelah bapaknya memberi uang, adik Slamet mengajaknya bermain pasar-pasaran. Adiknya berpura-pura menjual minuman warna-warni, yang dibuat dari kertas teres yang dicelupkan ke dalam air, lalu diperas. Perasan kertas itu akan membuat air berwarna-warni. Lalu, Slamet yang berpura-pura sebagai pembeli, membeli jualan adiknya. Ia menyerahkan uang logam 10 rupiah. Adiknya menerimanya.
Adik perempuan Slamet terlihat sangat senang dengan uang berwarna kekuningan itu. Ia ingin menghiasnya. Ia berlari ke pawon untuk mengambil beberapa butir nasi. Lalu, kembali ke halaman rumah, tempat ia bermain dengan kakanya. Adik Slamet, menyobek sedikit kertas teres. Lalu, dengan nasi sebagai perekat, ia menempelkannya di angka nol pada uang. Kertas itu berwarna merah. Setelah permainan usai, Slamet memasukkan uangnya ke dalam tas, tanpa membersihkan potongan kertas yang menempel di sana.
“Duduk di bangku masing-masing.” Pak Yitman memberikan perintah.
Anak-anak menuruti perintah Pak Yitman. Setelah semua anak duduk, Pak Yitman memberikan perintah lanjutan.
“Yang masih punya uang, keluarkan dan letakkan di atas meja,” ucap Pak Yitman tegas.
Lagi-lagi, murid kelas dua hanya bisa menuruti guru wali kelasnya itu. Anak-anak yang masih memiliki uang saku, segera mengeluarkannya dari saku baju atau celana seragamnya, lalu meletakkanya di atas meja masing-masing. Anak-anak lain yang sudah tidak memiliki uang saku merasa lega. Mereka tidak akan menjadi tersangka dalam kasus uang hilang itu.