Tini, Yono, Eko, dan Triman mondar-mandir di halaman depan rumah Yati. Sudah setengah jam lebih mereka menunggu, tetapi Yati belum juga keluar dari dalam rumah. Sakarag sudah hampir pukul 07.00. Sebentar lagi pelajaran dimulai. Dari rumah mereka di RT 01 ke sekolah, membutuhkan waktu sekitar 15 menit dengan berjalan kaki. Jika Yati tidak segera keluar rumah dan mereka segera berlari ke sekolah, mereka pasti terlambat sampai sekolah. Dan, tentu saja mereka akan dihukum, lari keliling lapangan sebanyak 5 putaran atau membersihkan halaman sekolah. Mereka berempat sudah sering mengalami hal itu. Terlambat sampai sekolah dan dihukum karena terlalu lama menunggu Yati.
“Lama sekali,” kata Tini sambil terus berjalan mondar-mandir. Gelisah jelas terlihat dari raut wajah, tarikan bibir, dan sorotnya matanya.
“Apa kita tinggal saja?” tanya Yono.
“Nanti ia marah. Aku takut tidak boleh nonton TV lagi di rumahnya,” balas Eko.
Triman yang sedari tadi diam, mencoba menenangkan teman-temannya.
“Kita tunggu sebentar lagi. Kalau Yati tidak keluar, kita tinggal saja. Nanti kita lari lewat kebon tebu saja. Jangan lewat jalan biar tidak terlambat,” kata Triman memberikan usulan.
Ketiga temannya menyetujui usulan Triman. Bagaimanapun mereka tidak enak hati kalau meninggalkan Yati. Selain mereka adalah sahabat, mereka juga hampir setiap hari menonton TV di rumah Yati. Kalau Yati marah, mereka tentu tidak berani menonton TV lagi di rumah Pak RT. Kalau tidak menonton TV, mereka mau cari hiburan di mana lagi? Mereka tidak ingin ketinggalan cerita ketoprak sayembara atau Rumah Masa Depan.
Beberapa menit menunggu, mereka melihat Yati keluar dari pendopo rumahnya yang megah itu. Tahu teman-temannya sudah lama menunggu dan hari sudah makin siang, Yati bukannya mempercepat langkah. Ia justru berjalan gontai. Membuat teman-temannya gemas.
“Yati, cepat. Nanti terlambat!” Eko berteriak kesal.
Baru setelah diteriaki, Yati berjalan lebih cepat mendekati teman-temannya. Tak ingin terlambat, Triman segera memberi aba-aba kepada teman-temannya untuk berlari sekencang mungkin.Tak lama kemudian, kelima anak itu sudah berlarian secepat yang mereka bisa. Mula-mula, mereka melewati jalan desa. Sesampai di perempatan, mereka yang seharusnya belok kanan, memutuskan untuk lurus. Sesampai di jalan di kawasan kebun tebun, mereka belok kiri. Berlari di galengan kebun. Yati berlari di posisi paling belakang.
Teng! Teng! Teng!
Bel tanda masuk terdengar berdentang-dentang ketika kelima anak itu sampai di depan balai desa, yang letaknya bersebelahan dengan sekolah mereka. Mereka masih terus berlari menuju kelas. Sesampai di kelas, mereka ndheprok[1] di lantai. Pak Yitman belum masuk kelas. Di antara napas yang tersengal hebat, mereka merasakan kelegaan yang luar biasa. Mereka selamat dari hukuman dan omelan Pak Yitman. Walaupun untuk itu, kulit mereka harus gatal-gatal terkena lugut pohon tebu. Bahkan, tangan mereka tergores-gores daun tebu yang tajam. Rasanya perih. Kaki dan tubuh mereka juga basah oleh embun. Tetapi, tidak mengapa. Yang penting mereka tidak terlambat.
Pak Yitman memasuki kelas. Ia memandang kelima anak yang masih duduk di lantai dengan napas ngos-ngosan itu. Pak Yitman menatap mereka tajam. Ia sudah hafal kebiasaan kelima muridnya itu.
“Duduk di bangku masing-masing. Pelajaran segera dimulai.” Pak Yitman memberikan perintah.
Murid-murid patuh. Mereka merapikan sikap duduk, lalu menyiapkan buku dan alat tulis. Di tengah napas yang belum teratur, Triman memimpin doa. Setelah itu, pelajaran dimulai. Semua murid menyimak dengan sungguh-sungguh. Jika ketahuan melamun, mengantuk, atau mengobrol dengan teman sebangku, penghapus papan tulis bisa melayang ke muka mereka.
Di antara lima sekawan Triman dan teman-temannya, Yati adalah satu-satunya anak yang berasal dari keluarga berada. Ia juga berparas cantik dan berpostur semampai. Semua orang menyukai dan segan kepadanya. Namun, Yati memiliki satu kelemahan. Ia adalah anak yang serbalamban dalam mengerjakan segala sesuatu.
Berjalan, menulis, membaca, mengerjakan PR, bersiap-siap ke sekolah, bahkan makan dan minum, Yati melakukannya dengan sangat lambat. Satu pekerjaan yang orang lain dapat menyelesaikannya dalam 10 menit, Yati membutuhkan satu jam. Namun, karena ia anak Pak RT, punya TV, dan cantik, semua orang seolah tak berdaya menghadapi kebiasaan Yati yang kadang merugikan mereka itu.
Waktu terus berjalan. Tak terasa hari telah siang. Sekolah hari itu telah usai. Anak-anak berbondong-bondong meninggalkan sekolah.