Luka Hati di Kaki Merapi

Sukini
Chapter #10

Yatim yang Baik

Hari terus berganti. Setelah seminggu Yati izin, hari itu ia masuk sekolah. Lututnya masih sakit. Tetapi, ia sudah terlalu lama tidak mengikuti pelajaran. Jadi, hari itu ia memutuskan untuk pergi ke sekolah. Kondisi Yati belum memungkinkannya berjalan ke sekolah yang jaraknya cukup jauh. Karena itu, teman-temannya berusaha membantu. Triman, Yono, dan Eko menggendong Yati secara bergantian. Sedangkan, Tini hanya bisa memapahnya. Tenaganya tidak cukup kuat untuk menggendong Yati.

Di antara ketiga anak laki-laki itu, Yono yang paling kuat menggendong Yati dengan jarak yang lebih jauh dibandingkan kedua temannya. Yono memiliki tubuh yang lebih besar dibandingkan Triman dan Eko. Yono bertubuh bongsor. Ia berkulit sawo matang. Rambutnya ikal. Sorot matanya hangat dan bersahabat. Ia sering mengalah kepada teman-temannya. Yono sama sekali tidak bisa bersikap egoistis.

Yono adalah anak yang sedikit bicara, tetapi teman yang setia. Ia selalu menuruti ajakan teman-temannya. Walaupun bertubuh besar, ia sangat polos. Oleh karena itu, keempat temannya senang menggodanya.

Suatu hari misalnya, Yono cerita kepada teman-temannya. Ia akan pergi ke rumah neneknya di Desa Gilingan. Desa Tumpang ke Desa Gilingan berjarak sekitar 5 kilometer. Untuk ke desa itu, warga Tumpang harus melewati ladang-ladang penduduk dan sebuah jembatan kayu yang melintasi jurang cukup dalam. Jembatan itu dikenal dengan nama Kreteg Sukodadi.

“Ke Gilingan? Apa kamu belum dengar kabar kalau Kreteg Sukodadi ambruk. Kamu tidak bisa ke sana,” ucap Triman bersungguh-sungguh.

“Apa iya?” tanya Yono. Ia tampak sangat cemas.

“Iya benar,” ucap Tini menyakinkan.

Yono tampak sedih. Ia menundukkan wajah. Sesaat kemudian, terdengar tangisan lirih. Pundak Yono berguncang-guncang. Ia menahan tangis agar tidak pecah. Yono sedih sekali mendengar kabar itu. Seminggu yang lalu, simbahnya datang ke rumah Yono. Simbah menyuruh Yono datang ke rumahnya. Simbah Yono membelikannya sepasang ayam. Yono senang sekali. Ia ingin memelihara ayam supaya bisa sering makan telur. Nanti kalau ayamnya sudah banyak, ia akan memotong satu ekor, lalu menyantapnya bersama para sahabatnya.

Saat mendengar simbahnya akan menghadiahinya sepasang ayam, Yono sudah berkhayal macam-macam. Bahkan, ia membayangkan dirinya nanti menjadi juragan ayam. Punya banyak uang dan bisa makan enak setiap hari. Ia juga ingin membeli rumah di kota. Rumah yang bersih, ada kamar mandinya, ada listriknya, ada kasur empuknya, kamarnya ada pintu yang dapat dikunci, ada meja makan, seperti yang dilihatnya di TV.

Bapak Yono sudah dua tahun meninggal. Sekarang Yono tinggal bersama simboknya dan Dwi, adik laki-lakinya yang berusia 7 tahun. Bapak Yono bukan orang kaya. Ia tidak meninggalkan banyak harta untuk istri dan anak-anaknya. Hanya sebuah rumah sederhana berdinding gedek, dengan pekarangan yang tidak terlalu luas di depan dan belakang rumah. Bapak Yono juga meninggalkan sepetak kecil ladang.

Saat ini, keluarga Yono bertahan hidup dengan memanfaatkan pekarangan dan ladang yang tidak seberapa luas itu. Apa pun hasil yang bisa dimakan, dimakan. Apa pun hasil yang bisa dijual, dijual. Simbok Yono juga sering diminta membantu tetangga untuk mengerjakan pekerjaan rumah atau momong anak saat orang tuanya banyak pekerjaan di ladang. Untuk pekerjaan itu, simbok Yono mendapatkan upah. Sering pula ia diberi beras atau hasil pertanian lainnya.

Sudah lama Yono ingin memelihara ayam. Namun, simboknya belum punya uang untuk membeli indukan di pasar. Maka, ketika simbahnya memberi tahu kalau ia akan diberi sepasang ayam, Yono sungguh gembira. Namun, kegembiraan yang besar itu seketika hancur saat Triman memberi tahu kalau Kreteg Sukodadi ambruk. Entah butuh waktu berapa lama untuk memperbaiki jembatan yang ambruk. Entah kapan ia bisa mengambil ayam ke rumah simbahnya.

Yono sudah sekuat tenaga menahan agar tangisnya tidak keras. Namun, ia tidak berhasil. Hingga akhirnya, Yono terduduk di tanah. Ia menangis meraung-raung. Melihat Yono menangis pedih, teman-temannya menjadi tidak tega.

“Sudah. Tidak usah menangis,” kata Eko.

Yono berusaha menghentikan tangisnya.

“Kreteg Sukodadi memang ambruk, tetapi masih bisa dilewati, seperti biasanya,” kata Triman sambil tersenyum.

Mendengar penuturan Triman, sontak Yono menghentikan tangisnya. Ia memandang Triman. Meminta penjelasan lebih lanjut. Namun, Triman tidak segera berbicara.

“Kita bisa lewat pinggirnya? Pinggirnya tidak rusak?” tanya Yono di sela sisa isaknya.

“Ya, Kreteg Sukodadi memang selalu ambruk. Mana ada jembatan berdiri.” Tini menjelaskan.

Tampaknya, Yono belum memahami maksud canda teman-temannya. Triman, lalu menjelaskan lebih lanjut. Triman menerangkan kalau semua jembatan pasti posisinya tidur, ambruk. Bukan berdiri.

Lihat selengkapnya