Desa Tumpang tampak temaran, layaknya suasana di ambang senja. Padahal, hari masih siang. Bahkan, belum tengah hari. Mendung tebal menutup langit Desa Tumpang. Guntur bersautan. Kilat memercik dari atas sana. Pawana bagas. Seolah begitu bergegas. Membawa serta dingin bersama embusnya.
Sudah dua pekan Mangsa Kawolu datang. Musim kedelapan dalam kalender Pranata Mangsa ini berlangsung selama 26 atau 27 hari, bergantung jumlah hari pada bulan Februari. Mangsa Kawolu berlangsung mulai 3 Februari hingga 28 atau 29 Februari. Mangsa Kawolu termasuk dalam Mangsa Rendheng. Akan tetapi, pada mangsa ini, curah hujan mulai berkurang. Hanya saja, guntur memang sering terdengar.
Surti berada di pawon. Ia memasak nasi jagung untuk makan siang yang sebentar lagi tiba. Padi gogo di ladang baru bisa dipanen pada Mangsa Dhesta atau musim kesebelas. Mangsa Dhesta berlangsung pada 19 April sampai 12 Mei. Itu artinya, padi gogo baru bisa dipanen sekitar dua atau tiga bulan ke depan. Persediaan beras hasil panen tahun lalu sudah lama tandas. Hasil panen dari ladang yang tak seberapa luas itu hanya cukup dimakan untuk beberapa bulan.
Untuk menambah persediaan beras di rumah, pada musim panen Surti kerap ngasak di ladang-ladang tetangga. Ngasak adalah mencari sisa-sisa padi yang tidak terambil oleh pemilik lahan. Ngasak biasa dilakukan mereka yang ladangnya terbatas, seperti Surti. Kalau sedang ada uang dan beras telah habis, Surti biasanya membeli beras di warung dekat rumahnya. Bukan beras pulen. Tetapi, beras berkutu yang kalau dimasak jadi nasi keras.
Tini duduk di amben di pawon. Ia membaca buku. Sekarang Tini sudah kelas enam. Umurnya sudah dua belas tahun. Semenjak menemukan semboja kelopak genap yang membuatnya giat belajar, ia terus berhasil menjadi juara satu setiap penerimaan rapor. Ia tak pernah melewatkan belajar. Bahkan, di hari Minggu seperti hari itu, Tini tetap duduk bersama buku.
“Masih lama matangnya, Mbok? Aku sudah lapar,” ucap Tini sambil memegang perutnya yang terasa melilit kelaparan.
“Sebentar lagi,” jawab Surti sambil membolak-balik nasi jagung yang ditanak menggunakan kukusan bambu dan dandang kuningan itu.
Sambil menunggu nasi jagung matang, Surti merebus daun pepaya muda, membuat sambal bawang, dan membakar ikan asin layur. Tak butuh waktu lama menyelesaikan pekerjaan itu. Surti adalah perempuan yang perigel. Cekatan. Terbiasa sat set mengerjakan apa saja.
Surti memasak di pawon sambil mendengarkan sandiwara radio Saur Sepuh. Surti dan Tini sangat menyukai sandiwara radio itu. Cerita yang ditulis Niki Kosasih itu sangat seru. Sutri dan Tini, sebagaimana semua penggemar Saur Sepuh, begitu hanyut dalam kisah yang menceritakan sepak terjang Brama Kumbara itu. Mereka membayangkan betapa dahsyatnya Ajian Serat Jiwa. Juga Rajawali Sakti, burung raksasa, yang menjadi sahabat dan penolong Brama Kumbara di saat-saat genting.
Surti dan Tini mengagumi suara-suara merdu para pengisi suara sandiwara radio itu. Ferry Fadly, Elly Ermawati, Maria Oentoe, Bahar Mario, Novia Kolopaking. Surti dan Tini hafal nama-nama itu. Saking cintanya Surti dan Tini dengan Saur Sepuh, mereka bisa marah-marah jika saatnya mendengarkan drama, tiba-tiba baterai radionya habis.
Tepat saat nasi jagung, sayur, dan lauknya terhidang di atas amben, Jarwo masuk pawon. Ia baru pulang dari membetulkan genteng rumah Mbah Wongso yang melorot, juga membersihkan rumput di halaman tetangganya itu.
Setelah mencuci tangan, Jarwo naik ke amben. Selanjutnya, mereka makan bersama. Mendung yang sedari tadi menutupi langit, kini mulai merinai. Makin lama makin deras. Pawon tempat mereka makan trocoh di sana-sini. Namun, ketiganya tetap lahap bersantap siang. Tidak terganggu sama sekali oleh air yang menetes dari celah genteng yang pecah tertimpa bunga petai yang pohonnya persis berada di belakang pawon. Bukan pohon petai milik Jarwo, tetapi milik Pakde Marjo.
Setiap musim berbunga, bunga petai berjatuhan ke genteng pawon Jarwo saat terterpa angin kencang, menyebabkan genteng retak, bahkan berlubang. Seperti biasa, keluarga sederhana itu tidak berdaya. Jarwo sungkan menyampaikan keluhan kepada Pakde Marjo. Ia cukup tahu diri untuk tidak mengusik kehidupan blantik kaya itu, meskipun dirinya sangat dirugikan. Ia harus sering mengganti genteng pawon-nya. Namun, karena hal itu terus terjadi, Jarwo menjadi malas. Akhirnya, genteng yang rusak dan bocor di musim hujan itu ia diamkan saja.