Luka Hati di Kaki Merapi

Sukini
Chapter #12

Petualangan Mendebarkan

Yono, Eko, Triman, Tini, dan Yati sudah beranjak remaja. Mereka sudah 12 tahun dan sudah kelas enam. Namun, mereka masih suka bermain sebagaimana anak-anak lain di desa itu. Hari Minggu pagi, Tini ingin menonton TV di rumah Yati. Film Si Unyil kesukaannya sebentar lagi tayang. Lalu, ia juga ingin melihat acara Aneka Ria Safari, Album Minggu Siang, dan sebagainya.

Tini duduk di bawah pohon talok yang rindang di pinggiran jalan depan rumah Yati. Ia menunggu teman-temannya untuk pergi ke rumah Yati bersama-sama. Baru sebentar Tini duduk, Yono, Eko, dan Triman sudah tampak di ujung jalan. Mereka berjalan mendekati Tini.

“Ayo, sebentar lagi Si Unyi mulai,” ajak Tini. Ia tidak ingin membuang waktu. Takut ketinggalan menonton film kegemarannya itu.

“Tetapi, hari ini kami tidak ingin menonton TV,” jawab Eko mewakili kedua temannya.

Tini kecewa. Ia bersungut-sungut. Tini selalu menantikan hari Minggu. Selain bisa nonton TV sejak pagi, yang lebih seru adalah menonton bersama teman-temannya.

“Kami mau cari jamur barat sama belalang,” jawab Yono semangat.

Sekarang masih musim hujan. Jamur barat mudah ditemukan. Jamur barat merupakan salah satu makanan kesukaan masyarakat Desa Tumpang. Jamur barat berbentuk batang dan tudung atasnya seperti caping. Tingginya sekitar 10 sentimeter. Besar batang dapat mencapai satu sentimeter. Lebar tudung atas dapat mencapai sekitar lima belas sentimeter. Jamur barat berwarna putih agak kelabu dan kecokelat-cokelatan. Jamur ini memiliki bau yang Khas. Rasaya enak sekali. Gurih dan kenyal seperti daging ayam.

Pada musim hujan, warga Desa Tumpang sering sengaja berburu jamur barat. Mencari jamur barat dapat dibilang susah-susah gampang. Jika sedang bejo[1], mereka akan mendapatkannya. Sebaliknya, kalau sedang tidak bejo, mereka sulit mendapatkan jamur ini, walaupun sudah mencari di tempat-tempat, seperti di semak-semak atau di bawah pohon. Berburu jamur barat bisa jadi hiburan tersendiri. Di samping hasilnya juga dapat dinikmati sebagai lauk yang enak. Bisa ditumis atau dipepes.

Warga Desa Tumpang terbiasa memanfaatkan apa saja yang ada di alam untuk diolah menjadi lauk. Laron, belalang, gangsir, atau larva tawon adalah lauk yang enak bagi mereka. Tidak usah beli. Tinggal cari di ladang, pinggir-pinggir jurang, atau lereng bukit di sebelah barat desa. Selain orang tua, berburu sumber protein gratis itu juga menjadi kegiatan yang menyenangkan bagi anak-anak di sela bermain.

“Mau ikut tidak?” tanya Triman.

Tini tidak segera menjawab. Ia ragu. Kalau ikut, berarti tidak nonton TV. Kalau nonton TV sendiri, tidak seru.

“Cepat! Keburu siang. Nanti hujan,” desak Yono.

Tini bangun dari duduknya.

“Ayo, aku ikut,” ujar Tini.

Keempat anak itu hendak menuju Bukit Kunci yang berada di sebelah barat desa mereka. Namun, belum satu langkah pun mereka ayun, terdengar teriakan dari kejauhan.

“Ikut!”

Ternyata Yati yang berteriak. Ia berlari ke arah keempat temannya. Dari arah hadap teman-temannya itu, Yati tahu hendak pergi ke mana mereka. Yati melihat mereka dari pendopo rumahnya tadi. Tak lama kemudian, kelima sahabat itu melangkah ke arah barat. Di sepanjang perjalanan mereka mengobrol seru. Membincangkan apa saja. Sembari mata waspada melihat sekeliling.

Kadang mereka menemukan jamur barat. Kadang mereka menangkap belalang. Kadang mereka memetik kacang panjang di ladang siapa saja, lalu memakannya begitu saja. Belum setengah perjalanan, keresek yang mereka bawa dari rumah sudah terisi separuh. Keresek Tini dan Yati juga terisi banyak kecik yang mereka dipungut di sepanjang perjalanan.

Bukit Kunci menjadi jujugan[2] sebagian warga desa sekitar untuk mencari pakan ternak. Tidak semua memiliki kesanggupan ngarit di bukit itu. Diperlukan tubuh yang kuat dan napas yang panjang untuk mendaki bukit, lalu menuruninya sambil menyunggi dedaunan pakan ternak. Jadi, hanya mereka yang benar-benar sehat dan kuat, juga gesit mendaki dan menuruni lereng yang sanggup ngarit di sana.

 Untuk menuju puncak bukit, orang harus melalui medan yang menanjak, melewati jalan setapak. Warga Desa Tumpang biasanya hanya mengambil pakan ternak atau kayu bakar di bagian bawah hingga pertengahan bukit. Namun, kelima anak itu terus berjalan naik, seolah tidak merasa lelah sama sekali. Mereka mengambil apa pun yang menarik perhatian mereka. Buah mahoni, buah merjan, hingga batu-batu kecil bermacam bentuk dan ukuran.

Hampir satu jam kelima anak itu menyusuri bukit. Hingga akhirnya, mereka sampai di puncak. Yono dan Eko duduk di sebuah batu besar. Triman ndheprok bersandar pohon besar. Yati dan Tini duduk berselonjor di atas rerumputan. Yono dan Eko mengeluarkan botol minuman bertuliskan “Temulawak”. Namun, isinya hanya air biasa. Botol bekas itu mereka isi dengan air putih.

Minuman sari temulawak beruap merupakan minuman yang sangat terkenal kala itu. Orang-orang Tumpang sesekali menikmati minuman yang dijual di warung-warung itu. Tidak setiap saat mereka dapat membelinya karena harganya yang tidak bisa dikatakan murah untuk kemampuan keuangan mereka.

Sebenarnya minuman dengan rasa temulawak itu tidak dijual dengan botolnya. Hanya minumannya. Botolnya harus dikembalikan ke penjual. Jika hendak membeli beserta botolnya, tentu harga yang harus mereka bayar lebih mahal. Namun, banyak juga orang membeli minuman sari temulawak beserta botolnya. Botol kaca bekas itu, kemudian digunakan untuk berbagai keperluan. Salah satunya sebagai wadah minuman sebagaimana yang dibawa Yono dan Eko saat itu.

Mendaki bukit selama hampir satu jam membuat mereka kehausan. Eko dan Yono membuka tutup botol. Lalu, minum.

“Minta,” ucap Yati.

“Aku juga,” kata Tini.

Tini dan Yati tidak sempat menyiapkan bekal minum karena mereka mendadak ikut pergi ketiga teman laki-lakinya. Tanpa perencanaan sebelumnya. Keresek yang mereka gunakan untuk mewadahi barang-barang pun pemberian Eko.

Lihat selengkapnya