Hari berganti. Senin pagi. Tini bersiap pergi ke sekolah. Sebelum berangkat, ia sarapan nasi jagung. Sayurnya oseng jamur barat. Lauknya belalang goreng. Kemarin sore, begitu sampai rumah, Tini menyerahkan keresek berisi rupa-rupa barang itu kepada simboknya. Surti segera memilah-milah barang-barang yang tercampur dalam satu keserek itu. Dimasaknya jamur barat dan belalang tadi pagi. Dan kini, Tini menyantapnya dengan lahap.
Setelah berpamitan kepada bapak dan simboknya, Tini berangkat sekolah. Di jalan, ia bertemu Eko, Yono, dan Triman. Yati tidak masuk. Kata Yono, Yati sakit. Rumah Yono berdekatan dengan rumah Yati. Saat Yono lewat di depan rumah Yati tadi, Pak RT Hadi memberitahunya bahwa Yati sakit dan meminta Yono memamitkan Yati kepada Bu Marni, wali kelas mereka.
Sekolah masih sepi saat mereka tiba di sana. Tini dan ketiga temannya bermain umbul di teras balai desa yang letaknya bersebelahan dengan sekolah. Balai desa juga masih sepi. Belum ada pegawai yang datang.
Tengah asyik mereka bermain, tiba-tiba seseorang mendekati mereka. Seorang lelaki paruh baya. Rambutnya ikal. Berkulit gelap. Perawakannya tinggi besar. Tanpa berkata apa-apa, laki-laki itu mengambil paksa umbul yang sedang dimainkan keempat anak itu.
“Heh! Dasar kalian anak nakal semua!” kata orang itu dengan suara menggelegar.
Yono, Eko, Triman, dan Tini terkejut. Laki-laki itu adalah Lik Mardi, paman Yati, rumahnya tidak begitu jauh dari sekolah.
“Gara-gara kalian mengajak Yati main sampai jauh, sekarang ia sakit,” kata Lik Mardi lagi. Masih dengan suara keras, dengan mata melotot.
“Heh, Tini! Pasti kamu ya, yang memaksa Yati ikut?”
Kali ini Lik Mardi menunjuk hidung Tini. Tini makin terlihat ketakutan. Lik Mardi terus mengomel. Menyalahkan anak-anak itu sebagai penyebab sakitnya Yati. Anak-anak lain yang baru datang langsung mendekat. Mereka berkerumun menyaksikan kejadian itu. Sempurna sudah. Selain takut, keempat anak itu sekarang juga merasa sungguh malu. Dimarahi dan dicela-cela di depan hampir murid satu sekolah.
Bu Marni yang mendengar ribut-ribut, tergopoh-gopoh menuju teras balai desa. Bu Marni berusa meminta maaf kepada Lik Mardi. Ia berjanji untuk mendidik murid-muridnya lebih baik lagi. Mendengar janji wali kelas enam itu, amarah Mardi mereda. Ia meninggalkan tempat itu. Namun, sebelum benar-benar jauh, ia masih sempat menoleh ke arah anak-anak itu dan melotot.
Tini, Yono, Eko, dan Triman membeku di tempatnya. Bu Marni segera mengajak mereka masuk kelas dan menyuruh murid-murid yang lain untuk masuk kelas pula. Karena pelajaran pertama akan segera dimulai.
Bu Marni, salah satu guru kesayangan murid SDN Tumpang. Ia adalah guru yang sabar, lembut, welas asih, dan penuh perhatian. Cara mengajarnya pun menarik sehingga murid-murid tidak pernah bosan atau terbebani. Pagi itu, Bu Marni menjadi penyelamat Tini dan ketiga temannya. Jika Bu Marni tidak dapat menenangkan Lik Mardi, Tini dan teman-temannya pasti masih dimarahi habis-habisan.
Sudah sejak tadi pelajaran dimulai. Akan tetapi, Tini, Yono, Eko, dan Triman tidak dapat berkonsentrasi mengikutinya. Mereka masih terguncang dengan peristiwa buruk yang tadi dialaminya. Bu Marni memahami hal itu. Oleh karena itu, ia membiarkan saja walaupun tahu keempat muridnya itu tidak mengikuti pelajaran dengan baik.
Waktu terus berjalan. Sudah pukul 12.00. Pembelajaran hari itu telah usai. Yono, Eko, Triman, dan Tini berjalan bersama. Mereka berjalan dalam diam. Rupanya mereka masih belum bisa melupakan kejadian tadi pagi.