Luka Hati di Kaki Merapi

Sukini
Chapter #14

Geger Genjik

Gubrak!

Gedebuk!

Pyar!

Pagi itu di Desa Kebon Arum. Sebagian warga berhamburan menyelamatkan diri. Sepanjang jalan, mereka berteriak mengingatkan warga yang masih di dalam rumah untuk menutup rapat rumahnya atau bergegas mengungsi ke tempat yang lebih aman. Tanpa membawa dan memedulikan apa pun, mereka pergi secepatnya ke rumah Pak Lurah Wardi. Mereka berkumpul dan membuat semacam barikade. Dengan alat seadanya, mereka bersiap di sekitar halaman rumah Pak Lurah. Rumah yang besar dengan halaman yang luas.

Pagi yang awalnya tenang, mendadak pecah oleh keributan yang luar biasa.

“Sapto! Kamu benar-benar melihat harimau?” tanya seorang lelaki berusia 40-an tahun.

Raut wajah, pembawaan, dan ekspresi tubuh lelaki itu memancarkan kharisma yang tidak dimiliki warga biasa. Tentu saja, karena ia adalah Lurah Kebon Arum. Sebagai pemimpin tertinggi di desa yang memiliki kepandaian, tanggung jawab, keberanian, ketegasan, dan kewaspadaan melampaui warga pada umumnya, sosoknya terlihat istimewa. Dengan melihat sekilas saja, orang akan tahu kalau ia bukan warga biasa.

“Iya, Pak Lurah. Saya lihat sendiri. Harimau mengamuk di ladang Kang Pono,” jawab Sapto sembari membawa sebatang bambu runcing.

Lurah Desa Kebon Arum terlihat tegang. Seketika ia memerintahkan kepada warga untuk selalu waspada. Terdiam sesaat, ia melihat ke segala penjuru, termasuk semak-semak di samping rumahnya. Ia teringat kejadian serupa sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu, ia belum menjadi lurah. Saat itu, terjadi tragedi yang sama dan mengakibatkan dua orang meninggal dunia diterkam harimau.

Mendekati siang hari, warga masih berjaga di sekitar rumah Pak Lurah. Namun, sampai saat itu, tidak ada gerakan-gerakan mencurigakan yang menandakan harimau akan muncul. Dalam kondisi yang tak menentu, Lurah Kebon Arum menyampaikan kepada warga untuk memeriksa keamanan lingkungan desa. Ia memerintahkan kepada tiga orang pemuda yang dianggap mumpuni untuk memastikan di mana keberadaan harimau yang katanya memasuki ladang warga. Selain itu, Pak Lurah juga memerintahkan mereka untuk memeriksa setiap rumah di Desa Kebon Arum dan memastikannya dalam keadaan aman.

Ketiga pemuda yang mendapat tugas dari Pak Lurah bergegas melaksanakan perintah. Satu jam kemudian, saat ketiga pemuda itu telah kembali, mereka menyampaikan bahwa desa dalam keadaan aman. Bahkan, di ladang Pono, tempat kemunculan dua ekor harimau yang dilihat Sapto, juga sepi dan hanya ladang kebun yang tanamannya rusak. Mendengar laporan itu, Pak Lurah merasa sedikit lega.  

“Untuk saat ini, semua pulang ke rumah masing-masing!” kata Pak Lurah dengan suara lantang.

Satu per satu warga keluar dari rumah Pak Lurah. Mereka berjalan beriringan menuju rumah masing-masing. Masih tergambar jelas rasa waswas di wajah mereka. Bahkan, di antara mereka ada yang masih terus waspada dengan membawa senjata seadanya guna melindungi diri seandainya ada hal-hal yang tidak diinginkan. Begitu juga dengan Pono yang saat itu berjalan beriringan dengan istri dan anaknya. Di balik bajunya terselip sebuah parang yang biasanya digunakan untuk mencari kayu bakar, yang sewaktu-waktu siap digunakan.

Lihat selengkapnya