Luka Hati di Kaki Merapi

Sukini
Chapter #15

Tamu Tak Diundang

Matahari makin condong ke arah barat. Triman dan Eko yang sedang bermain kelereng di halaman rumah Mbah Karto, tak sengaja mendengar pembicaraan antara Mbah Karto dan Lurah Wardi. Keduanya sesekali berpandangan, seakan saling memberi isyarat satu dan yang lain. Di akhir pembicaraan antara Mbah Karto dan Lurah Wardi, kedua anak itu berhenti bermain dan langsung berlari beriringan. Lima menit berlari, sampailah keduanya di sebuah tempat keduanya dan teman-temannya berkumpul. Sebuah gubuk di pinggir salah satu ladang Mbah Karto yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah-rumah warga.

“Ko, panggil teman-teman kemari,” kata Triman sembari mengambil posisi untuk duduk.

“Siap!” jawab Eko, lalu bergegas pergi.

Saat sendirian, Triman merasa ada yang aneh dengan kejadian yang baru saja menimpa warga Desa Kebon Arum. Dari obrolan Mbah Karto dan Lurah Wardi, Triman tahu bahwa berbeda dengan yang pernah terjadi sebelumnya, kali ini penyebab harimau mengamuk belum diketahui. Eko terdiam. Hingga tiba-tiba, ia teringat para pemburu yang pernah ia dan teman-temannya lihat sekitar dua minggu lalu. Triman mencoba menghubungkan keberadaan para pemburu itu dengan kejadian di Desa Kebon Arum.

“Apakah betul ini penyebabnya?” Triman berkata pelan.

Triman kembali terdiam. Sesekali ia melihat ke arah jalan jalan setapak di pinggir ladang Mbah Karto. Teman-teman yang ditunggunya belum juga kelihatan. Padahal, menurut perkiraan, harusnya mereka sudah mulai berdatangan.  

“Kenapa lama sekali? Apa mungkin Eko tidak menemukan mereka?” gumam Triman. Ia mulai kesal.

Ia terus memandang jalan kecil yang pasti akan dilalui teman-temannya menuju gubuk tempatnya berada. Namun, tetap saja sama. Teman-temannya belum terlihat. Hingga suatu ketika, saat kesabarannya mulai menipis, Triman memutuskan untuk menyusul Eko. Saat Triman bersiap turun dari gubuk, dari dua arah yang berbeda, satu per satu temannya mulai berdatangan.

“Siang, Komandan!” Teman-teman Triman berkata hampir bersamaan. Mereka adalah Eko, Yono, dan Tini. Triman tersenyum mendengar sebutan komandan yang ditujukan kepadanya.

“Yati tidak ikut?” tanya Triman.

Ketiga temannya saling berpandangan. Hingga akhirnya Eko menjawab.

“Kami tidak mengajak Yati,” kata Eko.

Triman terdiam sesaat. Mereka adalah lima sekawan. Sudah bertahun-tahu mereka selalu bermain bersama. Bermain apa saja atau pergi ke mana saja. Namun, sejak kejadian dua minggu lalu, keempat anak itu belum pernah lagi bermain bersama Yati. Mereka tidak mau kena marah Lik Mardi lagi. Jadi, selama dua minggu itu mereka bermain tanpa Yati. Kebetulan pula, selama dua minggu itu, Yati juga tidak pernah lagi bermain usai sekolah. Mungkin dilarang orang tuanya. Mungkin pula Yati masih takut dengan kejadian di Jurang Jero.

Triman tidak banyak bertanya tentang Yati. Ia juga berpikir kalau sebaiknya mulai sekarang mereka bermain tanpa Yati. Mereka duduk melingkar di dalam gubuk. Triman menceritakan mengenai adanya harimau yang mengamuk di Desa Kebon Arum. Saat mendengar cerita itu, seketika suasana berubah menjadi hening.

“Kapan terjadinya, Man?” tanya Yono penasaran.

“Baru pagi tadi. Harimau itu merusak salah satu ladang warga,” jawab Triman.

“Terus, apa yang akan kita lakukan?” tanya Tini.

Mendengar pertanyaan Tini, mereka terdiam dan berpikir. Triman yang sejak tadi paling banyak berbicara, terlihat tak berkutik. Ia terdiam sembari memandang ke arah semak-semak di samping gubuk. Mereka terlihat kebingungan. Sesekali mereka saling berpandangan seolah-olah saling bertanya. Hingga beberapa menit, suasana masih sama.

“Bagaimana kalau kita patroli dahulu saja?” kata Triman memecah keheningan.

“Patroli?” Ketiga temannya bertanya bersamaan.

“Iya, berpatroli ke Desa Kebon Arum,” jawab Triman.

Triman segera menyampaikan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Ia mengajak teman-temannya untuk berpatroli sambil mengumpulkan informasi penyebab terjadinya peristiwa pagi tadi. Triman juga menyampaikan bahwa mereka akan dibagi menjadi dua kelompok agar lebih cepat dalam melaksanakan patroli.

“Bagaimana menurut kalian?” tanya Triman.

“Kalau aku ... ikut Komandan saja,” kata Eko tersenyum.

Tawa pun pecah setelah Eko menjawab pertanyaan Triman. Akhirnya mereka sepakat untuk menjalankan aksinya. Triman langsung membagi mereka menjadi dua kelompok. Yono dan Tini di kelompok satu. Sedangkan, Triman dan Eko di kelompok kedua. Saat itu juga, mereka segera berangkat menuju Desa Kebon Arum. Mereka berjalan melewati ladang-ladang warga. Begitu memasuki wilayah Desa Kebon Arum, mereka berpencar menuju tujuan masing-masing.

***

 

Di halaman sebuah rumah besar yang dikelilingi pagar tinggi sehingga tidak terlihat dari luar. Seorang lelaki bertubuh kurus tengah merawat bintang piaraan majikannya. Ia tengah memberi makan landak di dalam kandang. Sesekali ia mengintip jalanan di depan rumah itu dengan membuka sedikit pintu gerbang. Ia ingin memastikan tidak ada orang lain di sekitar rumah tersebut yang memantau kegiatannya.

“Hmm ... sepi,” kata lelaki bernama Wiryo itu.

Sebenarnya sudah satu orang yang bertugas menjaga rumah dan memastikan rumah tersebut tidak dimasuki sembarang orang. Namun, Wiryo tampaknya tidak mampu mengenyahkan kecemasan yang terus saja merasuki pikirannya. Ia berulang kali memeriksa keadaan.

Temannya, seorang laki-laki bertubuh tegap, bernama Ratno, membiarkan saja kelakuan Wiryo. Ratno sejak tadi siaga berjaga pos jaga di sisi pintu gerbang. Ketika kedua laki-laki itu tengah melaksanakan tugas masing-masing, sebuah mobil sedan tiba di depan rumah dan membunyikan klason. Ratno membukakan gerbang. Mobil segera masuk ke halaman dan berhenti di depan teras.

Seorang lelaki tinggi besar keluar dari mobil. Ia keluar dari tempat duduk sopir, lalu membukakan pintu belakang mobil. Tak berapa lama kemudian, seseorang turun melewati pintu mobil yang telah dibukakan. Tampaknya, mereka adalah bawahan dan atasan. Bawahan yang menyopir mobil, sedangkan atasan yang duduk di kursi belakang mobil. Dilihat dari penampilannya, lelaki yang sepertinya adalah atasan itu tampaknya seorang kaya raya. Baju dan perhiasan yang dipakai terlihat mewah dan berkelas. Turun dari mobil, laki-laki itu berjalan menuju teras, lalu duduk di kursi dengan posisi kaki di atas meja.

“Panggil Wiryo, Gil,” kata lelaki kaya itu sembari menyuruh orang yang tadi turun dari mobil bersamanya, yang bernama Ragil.

Dalam hitungan detik, Wiryo datang bersama Ragil dan menghampiri lelaki kaya itu.

“Nggih, Mister Frans. Saya siap melaksanakan perintah,” kata Wiryo.

Lihat selengkapnya