Luka Hati di Kaki Merapi

Sukini
Chapter #16

Ulah Dua Tetangga

Dini hari. Di saat semua warga masih terlelap, dua lelaki terlihat keluar dari perkampungan yang masih berada dalam wilayah Desa Tumpang. Mengendarai Honda CB100, kedua lelaki itu bergegas menuju arah barat, ke salah satu rumah yang letaknya berada di luar perkampungan Desa Kebon Arum. Mereka adalah Gito dan Noto.

Gito mengendari motor. Noto membonceng di belakang. Noto memangku sebuah benda kotak yang ditutup kain hitam. Tak lama kemudian, motor sudah berada di depan pintu gerbang sebuah rumah besar yang selalu tertutup rapat. Beberapa kali Gito membunyikan klakson motor, memberikan isyarat agar pintu gerbang segera dibuka. Ratno yang saat itu sedang patroli mengelilingi sekitar rumah, berlari dan segera membuka pintu gerbang.

“Buka gerbang saja lama sekali, No,” kata Gito cemberut.

“Lagi patroli, Git,” jawab Ratno.

Tak lama setelah itu, motor masuk ke halaman dan berhenti di depan rumah. Gito mematikan mesin motor, lalu turun dari kendaraan berwarna putih itu. Noto turun dari motor pelan-pelan sambil mengangkat kotak tertutup kain hitam yang tadi dipangkunya di atas motor. Keduanya membawa kotak itu ke dalam rumah. Hanya dalam hitungan menit, Gito dan Noto kembali menaiki motor dan langsung keluar dari halaman rumah. Saat itu, jalanan sangat  lengang.

“Dapat uang berapa, To?” tanya Gito.

“Sebentar, Kang,” jawab Noto sembari menghitung lembaran-lembaran uang sepuluh ribuan berwarna ungu bergambar R.A. Kartini, yang dikeluarkannya dari dalam amplop itu.

Dua kali Noto menghitung uang untuk memastikan jumlahnya. Saat sudah merasa benar, ia baru menjawab pertanyaan Gito.

“Lumayan, Kang. Bisa untuk beli dua ekor kambing,” kata Noto.

Gelak tawa pun pecah setelah keduanya tahu besaran uang yang diterimanya. Kerja hanya semalam, tetapi mereka mendapat bayaran yang sama dengan upah berbulan-bulan bekerja. Tidak mau berlama-lama, Gito mengemudikan motor dengan kecepatan tinggi, dan berbelok arah menuju Desa Tumpang. Dalam hitungan detik, motor itu pun tidak terlihat.

 

Gito adalah warga Desa Tumpang. Ia berumur 40-an tahun. Perawakannya sedang. Kulitnya sawo matang. Rambutnya lurus kemerahan terbakar matahari. Gito pernah merantau ke Jakarta. Entah apa pekerjaannya di Jakarta. Yang jelas, lima tahu merantau, ia pulang kampung. Ia merombak rumahnya yang kecil dan sederhana menjadi lebih besar serta lebih bagus. Ia juga membeli sepeda motor, Honda CB100 warna putih.

Sekembali dari merantau di Jakarta dan menetap di Desa Tumpang, Gito sering mondar-mondar ke kota, bahkan hingga ke Solo. Kepada para tetangganya, Gito mengaku bekerja sebagai calo. Calo apa saja. Tanah, rumah, barang-barang antik, pusaka. Apa saja. Asal ada yang meminta, ia bisa mencarikan pembeli. Kalau laku, Gito mendapatkan komisi.

Gito tidak sendiri. Ia mengajak Noto, tetangganya, untuk membantunya menjalankan usahanya. Noto lebih muda sepuluh tahun dari Gito. Perawakannya tinggi. Kulitnya gelap. Rambutnya ikal.

Sudah lama Noto membantu Gito. Warga Desa Tumpang sudah terbiasa melihat kedua laki-laki mondar-mandir berboncengan naik Honda CB100 warna putih. Sebenarnya, banyak warga yang penasaran dengan pekerjaan Gito. Bagaimana ia bisa punya banyak kenalan dan selalu bisa menjual barang apa saja. Namun, Gito dan Noto tidak mau bercerita dengan rinci pekerjaan mereka. Akhirnya, warga desa pun berhenti mencari tahu. Yang penting, kedua tetangga mereka itu selalu ikut guyup dengan seluruh warga.

***

Di rumah Mr. Frans, Wiryo yang saat itu dibantu Ratno dengan cekatan membuka dan membawa kotak yang tadi dibawa Gito dan Noto, ke lantai dua.

“Sudah. Ditaruh di sini saja, No,” kata Wiryo menunjuk ke satu titik di lantai dua.

“Ya, sudah. Aku tinggal dulu ya, Wir,” kata Ratno, lalu bergegas turun.

“Ya, sudah. Pergi sana,” jawab Wiryo yang terlihat membetulkan posisi kotak tersebut.

Waktu terus berjalan. Gelap tersibak oleh pagi yang mulai merekah. Lalu, seiring matahari yang terus meninggi, dingin malam pun perlahan pergi, tergantikan hangat yang terasa membangkitkan semangat.

Dari dalam rumah, Mr. Frans keluar menuju halaman. Ia mengenakan pakaian olahraga. Ia ingin berolahraga di sekitar rumahnya yang luas.

“No, mana Wiryo?” tanya Mr. Frans sembari melakukan gerakan pemanasan.

“Masih di atas, Mister. Memberi makan Beby dan yang lain,” jawab Ratno yang berdiri di dekat pos jaga di dekat pintu gerbang.

Mendengar jawaban itu, Mr. Frans hanya tersenyum dan terus melakukan pemanasan. Tak lama setelah itu, ia berlari-lari kecil di jalan depan rumahnya. Rumah yang jauh dari perkampungan dan dikelilingi kebun-kebun warga. Kira-kira setengah jam, Mr. Frans berhenti, kemudian berjalan masuk ke dalam rumah. Ia hendak mandi, lalu sarapan.

Pada waktu yang bersamaan, Wiryo yang sedari tadi sibuk di lantai dua, berjalan tergesa-gesa ke halaman dan terlihat celingukan. Ratno yang berada di sampingnya, melihat ke arah Wiryo disertai rasa penasaran yang sangat.

“Mister Frans di mana, No?” tanya Wiryo sembari mengelap keringat di dahi dengan kain yang dilingkarkan di belakang lehernya.

“Baru saja masuk ke dalam rumah, Wir,” jawab Ratno.

Saat itu juga, Wiryo bergegas masuk ke dalam rumah untuk menemui Mr. Frans. Wiryo mencari Mr. Frans di ruang tamu, tetapi ia tidak menemukannya. Ia menuju dapur, tetapi Mr. Frans juga tidak ada di sana. Wiryo memberanikan diri mengetuk pintu kamar Mr. Frans. Tak berapa lama kemudian, Mr. Frans membuka pintu kamar.

“Ada apa?” tanya Mr. Frans dengan nada suara yang tegas.

“Maaf, Tuan. Beby lepas,” kata Wiryo. Ia tampak ketakutan.

“Apa? Bagaimana bisa?” jawab Mr. Frans dengan nada tinggi.

“Panggil Ragil. Ambilkan senapan bius!” kata Mr. Frans sambil beranjak dari depan pintu kamarnya.

Tak lama setelah itu, dari dalam rumah, Ratno keluar membawa senapan. Sedangkan, Wiryo membawa kandang besi kecil. Mr. Frans, Ratno, dan Wiryo bergegas menuju halaman belakang yang diduga menjadi tempat persembunyian Beby.

Berjalan pelan, mereka menuju pojok belakang rumah. Beberapa saat mereka melihat keadaaan, tetapi tidak menemukan Beby. Wajah Mr. Frans kian memerah pertanda dirinya begitu kesal dengan Wiryo. Setengah jam berlalu, mereka belum juga menemukan yang dicarinya. Di saat mereka akan meninggalkan halaman belakang, tiba-tiba Beby terlihat sedang bermain-main dengan seekor kucing.

“Heh, ternyata kamu di sini?” ucap Mr. Frans lirih sembari mengarahkan senapan angin ke arah Beby.

Tak berapa lama kemudian, Beby perlahan jatuh tertidur setelah terkena peluru bius yang ditembakkan Mr. Frans. Beby adalah seekor anak harimau. Selain Beby, ada banyak hewan langka di rumah Mr. Frans.

Mr. Frans berasal dari Eropa. Ia sudah sepuluh tahun lebih tinggal di Indonesia dan sudah hampir satu tahun tinggal di wilayah Desa Kebon Arum. Mr. Frans bermata biru. Rambutnya cokelat gelap. Wajahnya tampan. Badannya yang tinggi dan atletis membuat laki-laki berusia 35 tahun itu tampak sangat menawan.

Mr. Frans memiliki hobi mengoleksi binatang langka. Ia mendapat informasi dari koleganya kalau di hutan sekitar Bukti Kunci terdapat banyak hewan langka. Oleh karena itu, sekitar satu tahun lalu, Mr. Frans membeli tanah di Desa Kebon Arum. Ia membangun rumah besar di sana, dengan tembok tinggi dan gerbang yang selalu tertutup rapat.

Mr. Frans mengajukan izin tinggal resmi kepada Pemerintah Desa Kebon Arum. Sesekali, ia juga terlibat dalam kegiatan warga, meskipun rumahnya jauh dari perkampungan. Warga pun tidak menaruh curiga sedikit pun terhadap keberadaan Mr. Frans di desa mereka. Mereka hanya percaya bahwa bule itu senang dengan alam pedesaan dan masyarakatnya, lalu memutuskan tinggal di sana.

Mr. Frans mempekerjakan beberapa orang. Mereka bukan orang Kebon Arum. Kepada para pekerjanya, Mr. Frans mewanti-wanti untuk tidak menceritakan apa pun tentang dirinya dan rumahnya. Jika ada yang berani buka mulut, Mr. Frans tidak akan tinggal diam. Para pekerja di rumah Mr. Frans mematuhi perintah tersebut. Bukan hanya karena takut ancaman lelaki berparas menawan itu, tetapi juga karena upah yang mereka terima besar. Mereka tidak ingin kehilangan pekerjaan dengan upah yang besar.

Setelah Beby pingsan, Wiryo dengan sigap mencabut peluru bius dan segera membopong Beby menuju tempat semula. Mr. Frans hanya menggeleng-gelengkan kepala dan masih tampak kesal. Bersama Ratno, Mr. Frans kembali ke halaman depan. Masih dengan rasa kesal, Mr. Frans menyeka keringat yang terus keluar dari dahinya.

“Mister mau dibuatkan kopi?” tanya Ratno saat keduanya telah sampai di teras rumah.

Mr. Frans hanya mengangkat tangannya sebagai isyarat bahwa ia tidak menghendakinya. Ratno langsung masuk ke dalam rumah untuk mengembalikan senapan yang baru saja digunakan Mr. Frans. Dan tak berapa lama kemudian, ia keluar rumah dan berjalan menuju tempatnya semula.

***

Minggu pagi yang cerah di akhir Februari. Desa Tumpang dan desa-desa lain di kaki Gunung Merapi tampak hijau. Hujan yang sudah turun hampir satu musim membuat aneka tanaman tumbuh subur. Daunnya merimbun. Udara pun terasa segar. Namun, alam yang sedang menyajikan keindahannya itu seolah tak mampu menghadirkan indah di hati penduduk Desa Kebon Arum. Desa itu berubah perlahan seolah menjadi desa mati. Makin hari makin sepi ditinggal warganya.

Di rumahnya, Wardi yang menjabat sebagai Lurah Desa Kebon Arum, terus berpikir keras untuk mengatasi suasana desanya yang serba tidak keruan. Sampai saat itu, gangguan dari harimau hutan masih terus berlangsung walaupun tidak setiap hari. Harimau terus masuk wilayah desanya. Merusak ladang dan kebun warga. Walaupun sampai saat itu harimau-harimau tersebut tidak menyerang warga desa, warga terus waswas. Rasa khawatir yang berkelanjutan membuat banyak warga desa memilih pergi meninggalkan rumah, dan mengungsi ke tempat sanak saudara di desa lain yang dianggap aman.

“Piye to, Bune? Keadaan begini, kok, tidak selesai-selesai?” kata Pak Lurah sembari duduk. Ia terlihat resah.

“Sabar, Pakne. Semua ada waktunya,” jawab sang istri menenangkan Pak Lurah.

Masih dalam suasana hati yang resah, Pak Lurah yang sejak tadi duduk di pendopo rumahnya, tiba-tiba teringat kata-kata Mbah Karto. Pada saat dirinya sowan ke rumahnya, Mbah Karto yang juga pakdenya itu pernah menyampaikan kalau semua masalah itu pasti ada penyebabnya. Namun, sampai saat ini penyebab itu belum juga dapat ditemukan.

Lihat selengkapnya