Luka Hati di Kaki Merapi

Sukini
Chapter #17

Rencana Penyergapan

Gito duduk di kursi di teras rumahnya. Ia terus memandang ke jalan depan rumahnya sambil menggoyang-goyangkan kedua kakinya. Ia tampak sangat gelisah. Gito, kemudian berjalan modar-mandir, sambil sesekali menoleh ke arah jalan depan rumahnya. Gito tengah menunggu Agung. Kemarin malam Noto mengabari bahwa Agung dan beberapa temannya akan membawa barang bagus ke rumah Gito. Agung berjanji akan datang sekitar pukul 12.00. Namun, hingga sore tiba, belum juga ada tanda-tanda Agung akan tiba. Gito mulai khawatir. Jangan-jangan Agung tidak jadi datang. Padahal, pembeli barang yang akan dibawa Agung sudah menunggu.

Gito menghempaskan badannya di kursi. Ia tampak makin gelisah. Noto yang duduk di samping Gito tak kalah gelisah. Wajahnya terlihat tegang. Jika Agung tidak jadi datang, bisa-bisa ia menjadi sasaran kemarahan Gito. Di kala Gito tengah digayuti kecemasan dan Noto sudah mulai putus asa, tiba-tiba sebuah mobil Daihatsu Taft GT warna biru memasuki halaman rumah Gito.

Agung dan ketiga temannya turun dari mobil. Gito yang sejak tadi menunggu, bergegas berdiri menyambut Agung. Kegelisahan seketika sirna dari wajah Gito. Begitu pula Noto. Sekarang ia tampak sumringah. Gito segera mengajak Agung dan ketiga temannya masuk ke dalam rumah. Noto mengikuti di belakang mereka. Sembari menikmati sajian minuman dan makanan, mereka membicarakan sesuatu dan kelihatannya sangat rahasia.

“Yang pasti nanti akan aku kirim barangnya,” kata Agung pelan.

“Baiklah, Mas. Asal harganya juga bersahabat,” kata Gito sambil tersenyum.

Kunjungan Agung dan teman-temannya ke rumah Gito, tidak begitu lama. Setelah kurang lebih setengah jam, mereka berpamitan untuk melanjutkan kembali perjalanan menuju Yogyakarta. Rencananya mereka akan menginap semalam di kota gudeg itu, kemudian pulang ke Jakarta.

“Sampai jumpa lagi, Gito,” Agung mengucapkan salam perpisahan.

“Sama-sama, Mas Agung,” jawab Gito sembari mengantar Agung keluar rumah.

Pada saat yang bersamaan, dari arah barat Triman, Eko, Yono, dan Tini berjalan mendekati rumah Gito yang berada di pinggir jalan utama Desa Tumpang. Saat mendekati rumah Gito, dengan cepat Triman menyuruh teman-temannya untuk mengawasi orang-orang di depan rumah Gito itu. Triman dan ketiga temannya, bergerak menepi. Lalu, mereka masuk ke halaman rumah Lik Parmin yang letaknya di seberang jalan rumah Gito. Mereka duduk melingkar, pura-pura bermain kelereng. Namun, mata mereka waspada mengawasi rumah Gito.

“Ada apa, Man? Kenapa harus mengawasi mereka?” tanya Yono lirih. Matanya terus melirik ke arah halaman rumah Gito.

“Kalian diam dulu.” Triman berkata sembari melihat ke arah rumah Gito juga.

Eko yang jongkok di samping Triman hanya mengikuti apa yang dilakukan Triman. Saat pandangannya tertuju ke rumah Gito, serta-merta tangan Eko menepuk punggung Triman. Raut wajahnya menunjukkan kalau ia ingin memberitahukan sesuatu. Belum sempat Eko berbicara, Triman menutup bibir temannya itu dengan telapak tangannya dan menyuruhnya untuk tetap diam.

“Bukankah itu para pemburu yang beberapa waktu yang lalu kita jumpai di Jurang Jero?” tanya Eko dengan nada lirih, setelah Triman melepaskan telapak tangannya dari mulutnya.  

Dengan isyarat tangan, Triman membenarkan apa yang Eko ucapkan. Tini dan Yono hanya saling berpandangan. Mereka juga ingat orang-orang itu. Mereka pernah  melihat orang-orang itu di Jurang Jero. Orang-orang yang menembak seekor anak harimau.

Hingga beberapa saat lamanya, mereka berada di halaman rumah Lik Parmin. Pura-pura bermain kelereng. Barulah setelah rumah Gito kembali sepi, mereka pergi dari sana dan melanjutkan perjalanan.

“Kenapa kita harus mengawasi mereka?” tanya Yono tiba-tiba, ketika mereka berjalan beriringan.

“Aku curiga pertemuan Lik Gito dan pemburu itu ada kaitannya dengan kejadian yang menimpa Desa Kebon Arum.” Dengan wajah dingin Triman menjawab, kemudian mulai melangkahkan kakinya.

“Ayo, kita harus segera sampai di rumah. Sebentar lagi maghrib,” kata Eko kepada ketiga temannya.

Mereka menuruti ajakan Eko. Mereka mempercepat langkah agar segera sampai di rumah. Sudah seharian mereka meninggalkan rumah. Orang tua mereka pasti khawatir dan mencari-cari. Mereka mempercepat langkah. Saat tiba di perempatan jalan yang menghubungkan dua rukun tetangga di wilayah Desa Tumpang, Eko menuju arah timur, Tini dan Yono menuju ke arah utara, sedangkan Triman menuju arah selatan. Dibandingkan ketiga temannya, jarak rumah Triman adalah yang paling jauh. Jalanan saat itu sepi. Saat berjalan sendirian, Triman teringat kembali kejadian di rumah Gito.

“Apa hubungan Lik Gito dengan para pemburu itu? Apa keperluan pemburu itu di Desa Tumpang?” kata Triman pelan.

Ketika langkah kakinya mendekati halaman rumah, untuk sesaat Triman memilih tidak memikirkan kejadian itu. Ia segera masuk ke dalam rumah melewati pintu samping. Dan tempat yang pertama kali ditujunya adalah pawon. Triman membuka tampah penutup makanan di atas amben. Namun, apa yang dilihatnya saat itu membuatnya sedikit kecewa. Tidak ada apa pun di amben itu. Hanya ada nasi jagung di dalam cething bambu.

“Mbok,” Triman memanggil simboknya yang tengah mencuci wajan.

“Apa to, Le?” jawab Lastri, simbok Triman.  

“Lauknya mana?” tanya Triman sambil berjalan mendekati Lastri.

“Baru dimasak. Sebentar lagi matang. Sana mandi dahulu,” jawab Lastri.

Triman mengambil ember, membawanya ke dekat jembangan. Triman mengisi ember dengan air dari jembangan. Alat yang digunakan untuk menciduk air adalah siwur batok kelapa. Dengan gagang panjang dari kayu sengon. Saat itu, hujan masih sesekali turun. Jadi, jembangan terisi penuh oleh air hujan yang ditampung dari pancuran talang rumah.

Setelah ember penuh air, Triman membawanya ke belakang rumah. Selanjutnya, ia  mandi di tempat terbuka di belakang ramahnya. Di Desa Tumpang, jarang orang memiliki kamar mandi yang layak. Yang ada sekadar bilik bambu yang digunakan untuk tempat mandi dan mencuci baju. Namun, orang tidak selalu mandi di bilik itu. Mandi di luar rumah dengan seember air adalah hal yang biasa dijumpai di Desa Tumpang dan desa-desa lain di sekitarnya. Saat mandi di tempat terbuka, mereka memakai telesan[1]. Untuk laki-laki, telesan berupa celanca pendek. Sedangkan, untuk perempuan telesan umumnya berupa jarik batik.   

Triman merasa badannya begitu segar usai mandi. Setelah meletakkan ember dan baju kotornya di bilik bambu yang difungsikan sebagai tempat untuk mandi, Triman masuk ke pawon. Simbok dan bapaknya sudah duduk di atas amben. Di depan mereka ada hidangan yang siap disantap. Nasi jagung, sayur lodeh kluwih, dan cenggereng irisan kelapa.

Triman naik ke atas amben. Lalu, ketiganya makan bersama. Diiringi gemeresak daun bambu yang tertiup angin, makan malam sederhana itu terasa sungguh nikmat. Di tengah remang pawon yang hanya berpenerang lampu thinthir, mereka bergembira untuk makanan yang tersedia malam itu.

Mereka bersantap sambil banyak bercakap. Tentang asa menunggu masa panen padi gogo. Tentang acara rewang ke tetangga yang akan menggelar hajatan mantu. Tentang rencana menyunatkan Triman yang masih terhalang biaya. Juga tentang tiang-tiang rumah mereka yang sebagian sudah doyong karena kalah melawan serangan sang waktu.

Tak ada omongan muluk-muluk tentang kenyamanan dunia. Tidak ada bual-bual tafsiran hidup yang hebat-hebat. Hanya pembicaraan tentang semesta mereka yang bersahaja. Pembicaraan yang sungguh tanpa emosi berlebih. Tanpa keluh kesah. Tanpa ratap nelangsa. Pembicaraan yang terdengar ringan saja. Tidak ada yang istimewa. Tidak luar biasa. Semua hanya perkara kebiasaan. Ya, mereka sudah terbiasa dengan aneka keterbatasan sehingga tak terasa hidup menjadi terbatas.

Kala makan dan jagongan itu hampir disudahi, lampu thinthir perlahan meredup. Tanda lampu minyak sebagai bahan bakarnya tinggal sisa-sisa. Sedangkan, makanan sudah tandas tak tersisa. Triman membantu simboknya membawa peralatan makan dan wadah-wadah makanan yang kotor ke pojok pawon. Meletakkannya di dekat jembangan. Lastri akan mencucinya besok pagi saja.

Lastri meniup thinthir yang nyalanya tak mampu lagi menerangi. Sekali tiup, thinthir padam. Mereka bertiga naik ke rumah. Bersiap untuk tidur dan kembali menjalani hidup yang sewarna esok hari.

***

Di rumahnya, Mbah Karto dan Bu Widati juga baru selesai makan malam. Seperti biasanya, usai makan, mereka nyilir di pendopo. Belum lama keduanya duduk di kursi rotan dan mengobrol, tiba-tiba Mbah Karto meminta Bu Widati melakukan sesuatu.

“Bune, sebentar lagi Jarwo ke sini. Tolong buatkan teh,” kata Mbah Karto.

“Nggih, Pakne,” jawab Bu Widati, lalu bergegas pergi ke pawon.  

Dua ratus meter dari rumah Mbah Karto, Jarwo melangkah sendirian.  Ia tidak membawa oncor sebagaimana orang-orang di desa kala bepergian di malam hari. Jarwo ingin mendekap hening, angin, dedaunan, gelap, dan langit bertabur bintang sepenuh kesempurnaan. Alam yang tunduk pada segala sabda penciptanya adalah sebenar-benar guru baginya. Semesta yang melingkunginya malam itu, mengusap nuraninya. Menggugahnya untuk memilih jalan kepatuhan saja kepada Dia yang maha segalanya.

Jarwo melangkah sangat pelan. Ia tidak ingin buru-buru. Ia tidak ingin kehilangan momen sentimental yang tidak selalu hadir itu. Lagi pula, tidak ada yang dikejarnya sehingga harus menyegerakan langkah. Namun, selambat apa pun ia mengayun kaki, dua ratus meter bukanlah jarak yang jauh. Belum puas menikmati malam yang baginya terasa syahdu itu, tahu-tahu Jarwo sudah berada di jalan depan rumah Mbah Karto.

Jarwo memasuki halaman rumah Mbah Karto. Dilihatnya Mbah Karto sudah menunggunya di pendopo. Cahaya lampu thinthir membuat siluet tubuh lelaki kharismatik itu tampak memesona dari kejauhan.

Jarwo terus melangkah, mendekati Mbah Karto.  

“Kulo nuwun,” kata Jarwo saat berada di depan pendopo.

“Mangga[2]. Oh, kamu, Wo. Ayo, duduk sini,” jawab Mbah Karto, mempersilakan Jarwo masuk ke pendopo dan duduk di kursi di sebelah kirinya.

Lihat selengkapnya