Luka Hati di Kaki Merapi

Sukini
Chapter #19

Dendam Telah Usai

Desember 2010. Empat orang duduk mengelilingi makam Desa Tumpang. Mereka khusyuk mendaraskan doa. Bulir-bulir lembut mengalir dari sudut-sudut netra. Tak diragukan lagi, sosok yang bersemayam di pusara di depan mereka pastilah sosok yang sungguh-sungguh mereka cinta sepenuh jiwa.

Makam itu sederhana saja. Tanpa cungkup beratap joglo. Tidak ditinggikan berundak-undak dengan lapisan marmer. Tak pula berpagar kukuh yang memisahkannya dari ruang dan orang-orang di sekelilingnya. Hanya makam yang disemen di keempat pinggirnya agar tidak longsor kala hujan deras melanda.

Pada nisan makam itu terukir sebuah nama “Karto Diharjo”. Sebuah nama yang sanggup membuat masyarakat di desa-desa kaki Gunung Merapi menunduk takzim, sejak puluhan tahun silam hingga saat ini. Sedari ia masih sugeng[1], hingga setelah seda[2]. Nama Mbah Karto selalu saja menggetarkan. Sebuah nama yang abadi di hati. Nama yang melekat hanya dengan segala yang baik. Tak bercela. Jasanya bagi masyarakat seolah tak berujung.

Tak heran, cinta yang agung dan tulus terus mengalir kepadanya. Aliran kasih sayang itu tak pernah putus, bahkan ketika raganya tak lagi ada di dunia. Cinta dan kasih yang mengalir dalam wujud doa. Ya, makam Mbah Karto tak pernah sepi. Setiap saat selalu ada orang yang datang untuk mendoakan. Mungkin karena itu Mbah Karto tidak pernah merasa sendiri di alam sana. Karena selalu saja ada yang menghampiri pusaranya.

Usai mendoakan Mbah Karto, keempat orang itu bergeser ke makam di sebelahnya. Mereka kembali berdoa. Kali ini untuk almarhumah Bu Widati. Sebagaimana makam suaminya, makam Bu Widati pun sederhana. Menurut cerita orang-orang, sebelum meninggal Mbah Karto dan Bu Widati memang sudah berpesan kepada kerabatnya. Keduanya tidak ingin dibangunkan makam yang megah. Suami-istri itu juga tidak ingin upacara pemakamannya digelar dengan mewah. Mereka hanya ingin, jika ada yang mereka tinggalkan, keduanya mewasiatkan agar harta itu digunakan untuk kemanfaatan banyak orang. Untuk menolong mereka yang membutuhkan.

Keempat orang itu adalah Triman, Eko, Tini, dan Yono. Tentu saja, mereka bukan lagi bocah miskin dan dekil. Keempatnya sekarang adalah panutan bagi para tetangganya dalam mendidik anak-anak mereka. Kepada anaknya yang masih kecil, orang tua di Desa Tumpang sering mengatakan agar kelak sang anak bisa seperti Triman, Tini, Eko, atau Yono.

Mereka masih khusyuk mendoakan Bu Widati ketika angin bertiup agak deras. Sekuntum semboja jatuh. Menimpa kepala Tini. Luruh ke pundak. Lalu, terhempas di dekat kakinya. Saat doa usai mereka panjatkan, Tini memandang semboja berwarna putih kekuningan itu. Diambilnya dengan tangan kanannya.

“Genap,” ucap Tini lirih.

Tini tersenyum memandang semboja berkelopak enam di tangannya. Kembang kuburan itu melemparkan ingatannya ke masa puluhan tahun silam.

Tak berapa lama kemudian, Tini dan ketiga temannya meninggalkan makam yang hening itu. Mereka masuk ke dalam mobil warna hitam mengilat. Mobil yang harganya hampir satu miliar. Tak lama kemudian, mobil itu melaju ke arah barat. Tak ada percakapan sepanjang jalan. Tampaknya, mereka tengah menenggelamkan diri pada kenangan yang masih lekat di ingatan, waulupun telah melewati bentangan masa yang amat panjang. Hingga tak ada hasrat untuk merangkai obrolan.

Mobil mewah itu terus melaju di jalan-jalan Desa Tumpang yang semua telah diaspal halus, mulus. Desa Tumpang telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Tidak ada lagi lautan debu di musim kemarau. Air melimpah di setiap rumah. Listrik menghalau gulita di setiap malamnya. Hingga hantu keblak pun terusir. Jamur bercahaya musnah tak tersisa. Kunang-kunang tinggal cerita.

Mobil itu berhenti di kaki Bukit Kunci. Yono memarkir mobil di tempat parkir. Ia memarkir mobil di antara jajaran mobil yang ada di sana. Selain mobil, tempat parkir itu juga dipenuhi motor.

Keempatnya turun dari mobil, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu. Tiga puluh tahunan yang lalu, kaki bukit itu sangat sepi. Hanya sesekali didatangi warga desa yang ngarit, mencari kayu bakar, atau berburu apa saja yang bisa dimakan. Namun, hari itu kaki Bukit Kunci begitu ramai oleh mereka yang datang mencari tenang. Ada banyak pengunjung di sana. Warung-warung makan juga berjejer di tempat itu.

Sudah beberapa tahun lalu, Bukit Kunci dikelola pemerintah Desa Tumpang sebagai objek pariwisata yang terbuka untuk umum. Pada hari Minggu dan hari-hari libur lainnya, bukit itu banyak didatangi wisatawan yang berasal dari berbagai tempat. Ramainya kunjungan wisata, menciptakan banyak banyak lapangan kerja. Ekonomi desa pun terangkat.

“Sudah siap?” tanya Triman kepada keempat temannya.

“Siap!” kata ketiga temannya berbarengan sambil mengepalkan telapak tangan dan mengangkatnya ke udara.

Triman, Eko, Tini, dan Yono melangkah mantap, memulai pendakian ke puncak Bukit Kunci.

Setelah beberapa lama berjalan, mereka tampak kelelahan.

“Ayo, istirahat sebentar.” Tini mengajak teman-temannya.

Triman, Eko, dan Yono menuruti keinginan Tini. Mereka juga kelelahan. Usia mereka sudah di pertengahan tiga puluhan. Tidak heran, kekuatan fisik mereka pun mulai menurun. Setelah istirahat dirasa cukup, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka bertemu dengan banyak wisatawan di sepanjang perjalanan menuju puncak.

Setelah mendaki hampir dua jam, keempat orang itu sampai juga di puncak. Ketika masih SD dahulu, mereka bisa mencapai puncak bukit dengan berjalan kurang dari satu jam. Sekarang, mereka membutuhkan waktu selama itu.

Dengan napas yang tersengal-sengal, mereka mencari tempat untuk beristirahat. Seolah dikomando, keempat orang itu melihat ke arah yang sama. Ke arah batu besar yang dahulu mereka gunakan untuk beristirahat ketika mendakit Bukit Kunci untuk mencari jamur barat dan berakhir dengan melihat pemburu di Jurang Jero.

Tanpa ada yang menyuruh, keempatnya berjalan mendekati batu besar itu, lalu duduk di atas rerumputan di dekat batu. Mereka membuka tas, dan mengeluarkan bekal makan dan minum. Sebelum bersama-sama pergi ke makam tadi, mereka mengunjungi rumah orang tua masing-masing. Bekal itu pemberian orang tua mereka. Para orang tua itu menyiapkan makanan istimewa untuk anak-anak mereka, setelah mendapat kabar kalau mereka akan pulang kampung.

Eko membawa pepes larva lebah dan sarang tawon yang masih ada madunya. Yono membawa ayam goreng. Yono juga membawa minuman sari temulawak yang sudah payah ia cari. Walaupun tidak sama persis seperti yang diinginkan, Yono berhasil mendapatkan minuman itu dengan membelinya secara daring. Tini membawa nasi jagung, sambal bawang, dan ikan asin layur bakar. Sementara itu, Triman membawa ubi ungu rebus.

Semua makanan itu sudah tersaji di depan mereka. Akan tetapi, mereka bukan memakannya, melainkan malah berlama-lama memandangi, sambil mata deras meneteskan air mata. Yang ada depan mereka itu bukan sekadar makanan, tetapi kenangan. Itu bukan hanya santapan, tetapi saksi perjalanan hidup.

“Ayo, makan!” teriakan Triman membuyarkan lamunan ketiga temannya.

“Siap, Komandan!” sahut ketiga temannya bersamaan.

Tawa mereka pecah begitu mendengar kata “komandan”. Selanjutnya, mereka tampak asyik makan bersama.

Lihat selengkapnya