"Indaaaahhhh, bangun!" teriak Mama padaku.
"Lima menit lagi deh, Ma." ucapku.
"Ga ada menunda. Ingat, kamu hari ini sudah kelas tiga, sebentar lagi SMA, ga boleh malas!" kata Mama.
"Ga ada hubungannya. Ayolah lima menit lagi, yah. Please." pintaku menghiba.
Demikianlah kesibukan Mama tiap hari, aku selalu menambah uban di rambutnya karena sering marah-marah padaku.
Selepas mengurus aku, Mama harus membuka warung kelontong milik keluarga kami.
Hidup sederhana di desa sudah kujalani sejak kecil, jauh dari kemewahan yang mungkin teman-temanku rasakan. Berjalan kaki ke sekolah bersama teman mainku sejak TK, Nana. Nana yang ditinggal ibunya sejak kecil, Nana yang dewasa sebelum waktunya.
"Na, ayo berangkat!" ajakku pagi itu sambil berteriak di depan rumahnya.
"Oyaaaaa, tunggu yaaa." jawabnya di depan pintu rumahnya.
Nana selalu belum bersepatu ketika aku jemput di depan rumahnya. Belum pula bersiap-siap. Nana adalah tipe pelajar santai, nilainya tak cukup bagus. Tetapi dialah sahabat yang selalu jadi rebutan aku dan Novi dulu. Kami berebut perhatian dari Nana. Sekarang, aku berebut dengan Evelyn. Nana memang orang yang mudah disayang orang lain.
Aku selalu nyaman bersamanya karena dari kecil, Nana selalu ada untukku, bahkan saat orang tuaku menjuluki aku jago kandang. Seseorang yang hanya berprestasi ketika di sekolah.
Lomba-lomba yang pernah aku ikuti di luar sekolah tak satupun membuahkan hasil. Mungkin satu-satunya lomba yang berhasil kumenangkan adalah lomba renang, itupun cuma sekali. Walaupun prestasi akademikku cukup lumayan, tetap saja aku tak punya rasa percaya diri.
Berjalan kaki pagi itu bersama Nana menyusuri rute yang sudah kami kenal sejak enam tahun terakhir. Kami selalu berangkat bersama sejak duduk di kelas tiga SD.
Ketika bosan dengan rute yang itu-itu saja, kami sengaja lewat jalan lain, jalan memutar yang sepi. Tapi berdua memang lebih baik, maka tak pernah kami merasa takut.