Setiap tahun, lantai dua sekolahku ini memang dicampur dengan murid SMA. Maklum, gedung sebelah memang kurang kapasitas. Mungkin di waktu itu tak banyak SMA di kota kami.
Tapi sama seperti kualitas SMP di yayasan ini, murid SMA pun juga tak jauh berbeda, setidaknya dalam anggapanku.
Jika aku tak pernah melihat SMA di kota saat ikut Papaku pergi kulakan barang dagangan, maka aku juga tak pernah melihat pandangan lain di kota.
Sejak melihat sekolah itu, aku seolah jatuh cinta pada bangunannya. Eh? Ya begitulah, aku terpesona melihat kemegahannya. Ditambah kata tetanggaku yang bersekolah di sana, kualitasnya cukup bagus.
Kak Emma, mantan kakak kelasku, setahun di atasku telah bersekolah di sana. Sedangkan Kak Erica, dua tahun di atasku, tidak naik kelas sehingga menjadi setingkat dengan Kak Emma.
Awalnya, aku akan mendaftar ke SMA favorit di kotaku, karena aku sangat amat optimis bisa diterima di sana. Ditambah lagi mantan ketua OSIS idolaku juga terdaftar di sana. Kak Reynand, berparas ganteng, pintar, jago musik. Nyaris sempurna di mata para cewek di sekolahku, paling tidak di angkatanku.
Tapi begitu melihat sekolah di kota itu, aku langsung lebih bersemangat sekolah di sana. Mamaku keberatan, bukan karena sebab lain, tetapi lebih karena sekolah swasta di kota tentu butuh biaya besar.
Bukan aku jika tak keras kepala. Aku seolah tak mau tahu apapun alasannya. Ditambah kata Kak Emma, bisa meminta keringanan biaya asal nilai memadai. Besar harapanku bisa bersekolah di sana.
Tak ingin mematahkan semangat putrinya, Mama mengiyakan saja. Mungkin dalam hatinya juga kasihan melihatku di kota kecil ini ditinggal semua teman sebayaku.
Nana dan Sammy akan melanjutkan ke Salatiga, Sandy ke Solo, selebihnya ke Semarang. Hanya tersisa beberapa lagi yang memang fans sejati yayasan kami karena mungkin memang anak ketua yayasan.
Oke, kita kembali pada denah sekolahku ini. Bangunan persegi dengan dua lantai, Ruang guru, ruang ekstrakurikuler dan perpustakaan ada di lantai satu bergabung dengan area siswa SD.
Ruangan di lantai dua efektif hanya digunakan untuk kelas alias kegiatan belajar mengajar. Sisa ruangan lain ditempatkan di lantai dasar, karena kelas SD hanya berjumlah enam kelas.
Daya tampung per lantai adalah 16 ruang ditambah ruang toilet, praktis bila di lantai satu banyak digunakan untuk ruang lain-lain. Ruang perpustakaan, ruang musik, ruang ekstrakurikuler, ruang guru, ruang administrasi, kantin, koperasi.
Dari sejak kelas satu, aku tak pernah melirik anak-anak SMA di sana. Selain sudah bertahun-tahun melihat, ditambah aku memang pemalu untuk urusan taksir-menaksir, kuputuskan untuk tak ikut-ikutan temanku yang lain.
Di sekolah ini, aku baru sekali mengagumi cowok dan langsung kandas. Bagaimana tidak? Dia sudah punya pacar, masa juga aku ngotot naksir. Setelahnya, ogah berurusan dengan percintaan monyet. Tapi aku bukan monyet.
Kelas baru terisi orang lama, menurutku, tetap tak berasa seru. Tetapi berbeda dengan Evi dan Maya dari kelas sebelah. Mereka sering membicarakan manusia-manusia setengah dewasa di sana.
"Ndah, kamu ga tertarik kah sama Kak Romy? Cakep lho, lebih cakep daripada Kak Reynand idolamu itu." kata Evi siang itu.
"Heleh, ga minat. Ga sempat mikir kayak gitu deh." jawabku.
"Ah, kalo kamu lihat Romy langsung, meleleh pasti hatimu yang beku itu." kata Evi promosi.
"Nah justru makin ga minat, kalo hatiku meleleh, aku koit dong!" jawabku asal.
"Ah, kamu belum lihat sih. Masa kamu kenal sama Romy? Orang dia lulusan SMP favoritmu itu, mungkin Novi tahu." kata Evi lagi.
"Biarin, ga peduli." jawabku lagi.