Siang itu, kelasku dipanggil ke perpustakaan. Dengan terheran-heran aku bertanya pada Pak Toyo,
"Ada apa ya, Pak?"
"Pemeriksaan golongan darah, gratis kok. Kerjasama dengan rumah sakit milik yayasan juga." jawabnya.
Astagaaaaa! Disuntik dong...?!?!
Kepanikan melandaku, menghitung-hitung absen, mau dari abjad A duluan atau Z duluan aku tetap di tengah-tengah. Aaargh, kabur ke mana dong?
"Gawat, Vin, Nia, Nes. Gawat!" kataku heboh menyebut semua temanku.
"Apa sih?" Alvina terganggu dengan kehebohanku.
"Tes golongan darah. Aduh, disuntik dong! Gimana nih?" kataku.
"Ya sudah turun aja lho. Gitu aja heboh. Biasa aja kali." ucap teman-teman.
Enak aja, bagi mereka biasa, bagiku yang tak pernah tersentuh jarum ya beda dong. Was-was, aku mondar-mandir. Namaku disebut, aku datang dengan wajah pucat. Semua orang jelas tahu, aku takut jarum suntik. Sandy menenangkan aku, "Santai, Ndah, cuma kayak digit semut."
"Mana tahu kamu kan belum dapat giliran. Duh, menyusahkan!"
Akhirnya aku mendatangi meja pengambilan sampel. Beberapa anak SMA malah menonton kami. Petugas yang berdiri di sebelahku pun kupeluk erat-erat. Jelas aku dengar komentar seseorang, "Halah, Dik, gitu aja takut."
Ingin kucari sumber suara, lalu kuomeli habis-habisan. Sayangnya aku memejamkan mata, jadi tak terlihat siapa yang berkomentar.
Setelah acara horor bagiku itu terlewati, aku tertawa-tawa, mentertawakan kehebohanku sendiri. Itulah mungkin mengapa teman-teman menganggapku sedikit aneh. Tapi aku tak keberatan dengan julukan itu, karena aku memang aneh. Ternyata, kegiatan itu diberlakukan juga pada siswa SMA yang belum pernah dites.
Kembali aku teringat nama aneh itu. Entah mengapa aku sering membahas nama itu tanpa tahu orangnya yang mana. Si Luka itu mungkin ga perlu ditusuk jarum suntik, udah gampang ambil darahnya.
"Heh, tersenyum sendiri, ngapain?" tepukan Evi di bahuku mengagetkan.
"Ga, membayangkan sesuatu. Udah ketemu belum tersangka pencuri hatimu?" tanyaku padanya.
Evi hanya menggeleng. Lalu kami memandang kelas seberang dari balkon tempat aku berdiri. Sampai seseorang memanggil temannya.
"Yon—"
Menolehlah si jangkung, Evi bertanya padaku, "Siapa tadi?"
"Ga jelas, orang jaraknya jauh. Aku juga ga bisa baca gerak bibir." jawabku.
"Ah, padahal harusnya bisa ketahuan namanya siapa. Sayang sekali kurang fokus."
"Trus kalo sudah tahu namanya, mau ngapain sih? Kenalan?"
"Ya nanti dipikirkan lagi. Padahal segitu banyak kita kenal, kenapa susah cari tahu yang kita suka?"
"Kita? Kamu kali. Aku ga ada suka siapa pun. Nanti aja cari di kota besar, pilihan banyak, tinggal mau ga kupilih."
"Kalo sikapmu membingungkan gini, ga bakal ada yang nyantol, percaya deh." kata Evi.
Bagiku, Evi terlaku agresif mengejar cowok. Kubahas masing-masing temanku. Nia terlalu perasa, semua dibilang naksir padanya walaupun kenyataannya ga kayak gitu. Agnes pendiam, kalem, ga mungkin maju duluan mengejar cinta. Alvina tomboy yang misterius, aku tak begitu memahaminya. Maya hobi ganti-ganti pacar. Nana suka menyembunyikan perasaannya, sama seperti aku. Evelyn, si borju yang cantik.
Nana mendatangiku, mengingatkan Evi yang mengancam mencari tahu siapa yang bernama Luka. Ternyata semua penasaran dengan nama aneh itu.
"Vi, katanya mau cari info siapa yang namanya Luka?"
"Duh iya, gimana ya caranya?"
Aku yang tak sabar dengan kelambatan teman-teman hanya untuk hal tak penting itu menantang mereka, "Apa mau kutanyakan sama David?" tantangku.
"Ya sana, maju tanyain, sekalian gitu lho tanyain Mr. Jangkung." kata Evi.
"Halah, Mr. Jaelangkung kali." kataku sambil menyesali emosi sesaat tadi.
Demi gengsi, aku melangkah menuju kelas mereka. Nana memanggil Nia dan Agnes. Ah sialan, ngapain aku tadi emosi? Pikirku kemudian setelah logikaku nongol. Melongok-longok ke kelas David. Tak terlihat yang kucari.
Kak Septi keluar dari kelasnya, heran melihat aku menengok kelasnya, "Ngapain, Ndah?" tanyanya.