"Ayo, Ndah, mana Luka-mu itu?" kata Evi tak sabar.
"Luka-mu, enak aja. Iya kalo cakep, kalo serem gimana? Kok aku ga ingat sama sekali ya orang yang membentak kita waktu itu." kataku.
"Iya, aku juga, panik kita langsung lari tanpa melihat wajahnya." kata Nana.
Sepanjang pelajaran hari itu aku melamun, berpikir banyak hal. Teringat lagi pada Alex. Sampai kapur Bu Esti melayang di mejaku.
"Indah, jawab pertanyaan saya!" bentaknya.
Waduh, gawat, apa pertanyaannya? Aku ga dengar. Menengok ke teman-teman, tak ada jawaban. Kuberanikan bertanya padanya, "Maaf, Bu, pertanyaannya apa ya?" sekelas tertawa, sang bintang kelas bengong sampai tak paham pertanyaan gurunya.
"Kamu ini, melamun aja dari tadi. Jangan mikirin pacar aja! Dengarkan pelajaran baik-baik!" katanya.
Pertanyaan teoritis yang terjawab secara diplomatis olehku menjadi kurang sempurna karena tak mendengarkan materi sebelumnya.
Istirahat siang itu, aku melihat Dion, David dan Alex di kantin bersama seorang cakep lagi. Sengaja aku ke sana dengan sok percaya diri, tentunya mengajak Nana dan Evi. Mengajak Evi dengan tujuan menantangnya melakukan aksi lanjutan setelah tahu info tentang Dion. Nana kuajak untuk mencairkan suasana. Kami duduk di bangku panjang di depan para cowok itu.
Aku membuka suara, "Eh, Kak David, aku mau tanya nih. Tapi rahasia ya." sontak ketiga temannya melihat ke arahku. Merasa aneh diamati demikian, aku meluruskan masalah, "Gini, aku itu beberapa waktu lalu pernah ke kelasmu, lihat-lihat jadwal piket kalian. Lucu ya, siapa tuh yang bikin?" kataku meluncur smooth.
"Astrid yang bikin. Kreatif ya." jawab David.
"Iya, pintar gambar tuh pasti. Tulisannya juga bagus dan rapi. Cantik pasti anaknya." kataku agak tak nyambung.
"Apa hubungan tulisan rapi, kreatif dan cantik?" tanya David lagi.
"Biasanya ya, cewek cantik tulisannya bagus. Eh, ga juga sih. Nancy tulisannya kacau." kataku sambil tertawa.
"Eh, iya, kamu sekelas ya sama Nancy. Banyak yang suka tuh anak kelasku. Nancy itu anak pindahan sekolah luar kota ya?" tanya David lagi.
"Iya, coba dari SD sudah di sini. Kamu pasti naksir padanya."
"Non, fokus, katamu mau tanya siapa yang namanya Luka. Kok malah ngobrol ga jelas gitu?" bisik Nana.
"Oiya, aku lupa. Keenakan ngobrol." bisikku.
"Sejujurnya ya, aku itu pengen ketawa aja tiap ingat. Kok ada ya yang namanya aneh. Luka AA. Tanyain dong ke temanmu tuh, apanya yang luka?" kulanjutkan pertanyaan pada David sambil tertawa-tawa puas.
Kemudian David, Dion dan seorang lainnya ikutan tertawa sambil menunjuk Alex. Aku tak paham maksudnya dan tetap kulanjutkan, "Apaan? Kak Alex tahu apanya yang luka?" aku tertawa kembali. Tak sanggup menghabiskan baksoku.
"Itu aku, kenapa?" jawab Alex datar. Sontak aku terbatuk-batuk, tersedak kuah bakso pedas. Kedua temanku malah tertawa bersama. Tak ada yang menawarkan minuman untukku. Duh, ditelan bumi aja kali aku ya. Acara makanku siang itu benar-benar tak tenang, dihadapan orang yang kuhina-hina.
"Maaf, maaf, aku ga tahu." kataku setelah jalan nafasku terbuka.
"Hmm." Alex bergumam tak menjawab dengan jelas.
"Tapi aku masih kepengen ketawa eh ini. Aneh namanya soalnya." lanjutku. Nana sudah menginjak kakiku, Evi menyenggolku, aku masih tak sadar.
Ketiga teman Alex pun tak henti tertawa melihat kepolosanku menghina temannya. Muka Alex memerah, mungkin marah bercampur malu.
"Lha aku baca, Luka A.A. Ga ada bayangan kalo itu dirimu, Kak. Seharusnya itu Lukas kali ya, bukan beneran Luka kan?" lanjutku.
"Terserah kamu deh. Apa aja boleh." jawab Alex atau Luka.
"Tapi unik kok, lucu banget!" aku kembali tertawa.
"Lucu banget ya? Senang ya kamu? Awas kamu kucari hal-hal memalukan dari dirimu." ancamnya sambil pergi.
Tiba-tiba aku mulai panik, "Eh, pemarah gitu ya orangnya?" tanyaku pada temannya yang tertinggal di sana.
"Ga kok, biasa, dia udah kena bully dari dulu." kata Dion.
"Tapi kamu memang ngawur, ga kenal bisa sesantai itu menertawakan dia." kata David.
"Iya, tapi kayaknya tadi dia beneran marah." kata seorang lagi.
"Oya, ini Romy, kalian belum kenal kan?" kata David.
Akhirnya kami berkenalan dengan cowok-cowok SMA. Seumur-umur baru kali ini aku berkenalan dengan kakak kelas.
Aku berkonsultasi dengan Nana setelah peristiwa tadi, "Na, apakah aku perlu meminta maaf ya padanya? Aku kan tadi cuma asal bicara. Ga mempertimbangkan perasaannya."
"Iya harusnya kamu minta maaf deh. Nanti lho pas pulang." saran Nana.